Kisah para Asura dengan kekuatan tapanya, selalu ingin “mengubah hukum keabadian” dengan logika kecerdasannya, ingin menguasai dunia dengan keaserakahannya. Kekuatan dan kekerasan tapa dijadikan sadhana memainkan hukum karma untuk memperoleh anugrah kekuasaan “duniawi”, lalu perlahan ingin menguasai Surgawi atau kedamaian semesta, menundukkan para dewa.
Itu artinya Asura ingin menguasai dunia. Walaupun hal itu tidak akan pernah terjadi, karena itu bertentangan dengan hukum semesta Ilahi. Tetapi Asura selalu menginginkan dan terus berjuang ingin mengubah hakekat semesta itu.
Disitulah barangkali ketegasan hukum keadilan semesta yang ditetapkan dan diputuskan oleh yang “Maha Adil” Pencipta, Pemelihara dan Pelebur Alam Semesta ini. Hingga dapat dikatakan “anugerah bisa berubah menjadi kutukan”.
Bukankah ribuan kasus yang terjadi serupa itu, walaupun juga belum membuat manawa asura semakin jera. Barangkali hukum penciptaan juga harus bergulir terus di balik realitas, menguji dan mencerdaskan sifat-sifat keilahian manusia.
Rahwana memperoleh berkat kekuatan dari Dewa Brahma menjadi penguasa tiga dunia, tidak bisa dibunuh oleh raksasa, manusia dan dewa. Kemudian menjadi pemuja Dewa Shiva yang amat kuat dan taat. Karena memperoleh restu kasih kedekatan pada Dewa Shiva, dengan keserakahannya dia ingin menstanakan Lingga Yoni di Ayodya. Itu artinya Dewa Shiva ingin dikuasai hanya untuk kesejahteraan kerajaannya saja. Akibat kemurahan-Nya permohonan Rahwana diberkati. Dewa Shiva memberi syarat pada saat mengusung Lingga itu tidak boleh menyentuh tanah di perjalanan.
Kesempatan inilah dimanfaatkan oleh Dewa Ganesha untuk memainkan perannya. Dewa Ganesha berubah menjadi petani menghadang Rahwana yang sedang semangat mengusung Lingga. Saat itu Rahwana mau buang air kecil, kesemptan inilah dimanfaatkan oleh Ganesha mengolok-olok Rahwana bahwa saat buang air tidak boleh mengusung Lingga yang amat suci.
Lalu dengan berat hati Lingga itu ditaruh di tanah, ditunggu Ganesha. Saat Rahwana datang Lingga Yoni sudah hilang menjadi dengan alam semesta. Itu artinya kecerdasan pengetahuan Ilahi mampu mengatasi aneka kesulitan untuk mencapai kedamaian semesta.
Kisah ini memberikan makna bahwa betapa pentingnya seorang pemuja atau seorang abdi cerdas melihat signal-signal kebenaran, yang direfleksikan oleh alam semesta dalam wujud Sat dan Sad Guru. Lalu siap memposisikan diri dalam pelayanan. Itu artinya mampu melihat kebenaran dan melaksanakan kebenaran.
Demikian pula Rahwana tidak menyadari bahwa realitas semesta yang tercipta, tidak dapat dijangkau oleh kecerdasan intelektual yang dilandasi keserakahan hawa napsu. Tuhan tidak disangka menghadirkan Diri-Nya dalam wujud setengah Dewa dan setengah manusia dalam wujud Sri Rama.
Wujud Sri Rama (Ram berarti pelindung) dalam sifat pengetahuan dan kuasanya mencerahkan, meresapi jiwa-jiwa abdi-abdinya, menata dharma kembali di bumi, nampak benar-benar terjadi di bumi secara esensial dan menglir. Merupakan kebahagiaan bagi setiap insan pendamba kedamaian semesta ini. Realitas itu kini telah semakin terang menempatkan pada posisinya masing-masing sesuai hukumnya, yaitu mana asura dan mana yang benar manusia-abdi kebenaran menegakkan keadilan sebagai transformasi nilai-nilai keadilan dari yang Maha Adil.
Barangkali Cahaya Semesta telah memperjelas realitas semua itu, melalui anaka kasus-kasus yang terjadi, agar umat manusia di bumi semakin menyadari tujuan kelahirannya di bumi. Apakah akan menjadi pengikut asura ataukah menjadi abdi-abdi kebenaran?. Cahaya semesta selalu memperjelas dualitas realitas itu dengan kualitas dan keunggulan masing-masing.
Pada akhirnya hidup adalah “pilihan”, “memilih dan dipilih”. Disitulah ruang kecerdasan spiritual yang terkondisi dalam diri sendiri dan menempatkan perannya masing-masing.
Semoga menjadi renungan dan refleksi. [T]