— Catatan Harian Sugi Lanus, 3 Agustus 2022
[Gambar/slide penjelasan lengkap untuk tulisan ini bisa dilihat di instagram @sugilanus]
Ilmu gaib atau kebatinan di Bali dibagi menjadi 2 pokok: KAWISESAN dan KADYATMIKAN.
KAWISESAN
Ilmu gaib atau batin yang berhubungan dengan hidup keduniawian; dengan tujuan memupuk kekuatan diri demi menunjang tujuan-tujuan duniawi.
KADYATMIKAN
Ilmu tuntunan untuk melakukan renungan suci dan teknik meditasi untuk menyatukan badan, jiwa, dengan Atma, tidak bertujuan untuk keduniawian, tetapi kemanunggalan atau kesunyataan.
Kawisesan dibagi menjadi 2 pokok, yaitu:
KAWISESAN KIWA
Ilmu batin yang tujuannya semata-mata untuk menguatkan diri, mengubah diri, dan menambah kewibawaan duniawi. Kadang bertujuan untuk mempertahankan diri, sebagian untuk menyerang pihak lain, demi kejayaan atau keunggulan diri di depan orang lain atau masyrakat luas. Lebih pada tujuan penguasaan dan penaklukan.
KAWISESAN TENGEN
Ilmu batin yang tujuannya untuk membantu orang sakit, membantu orang agar tidak terserang Kawisesan Kiwa, memproteksi diri dan orang lain, yang menjadi korban. Lebih untuk tujuan defensif, namun juga kadang memperkerjakan roh atau mahkluk halus yang punya persyaratan dan sesaji untuk terus bisa melindungi. Kawisesan Tengen bertujuan untuk melepaskan diri dari penguasaan dan penaklukan oleh pihak penguasa Kawisesan Kiwa. AJI WEGIG (ILMU JAHIL) masuk dalam kelompok Kawisesan Kiwa.
Kawisesan Tengan dan Kiwa tidak disebut sebagai ILMU PUTIH dan ILMU HITAM – tetapi orang sering menyamakan dengan pembagian hitam-putih itu. Ilmu gaib di Bali tidak dibagi atas hitam-putih, tapi oleh motivasi dan prana atau energi yang dipergunakannya.
DARI MANA SUMBER ENERGI KIWA & TENGEN?
Pikiran dan ego yang menjadi pemain utamanya. Jika bekerjasama atau menggunakan PRANA LUAR (bhuta-prana) maka akumulasi energi yang muncul menjadi Kawisesan Kiwa.
Jika bekerjasama atau menggunakan PRANA DALAM (dewa-prana) maka akumulasi energi yang muncul menjadi Kawisesan Tengen.
Ego memainkan peran sangat signifikan.
Tanpa ego, baik prana luar dan prana dalam tidak akan bekerja.
Kawisesan Kiwa dan Tengen menjadi “permainan duniawi” tanpa kesudahan semasih manusia berulat dengan ahamkara-nya. Keakuan dan kegemaran mencari pengakuan orang lain, atau pengakuan dari luar diri, mendorong orang mempelajari kawisesan.
Jika manusia telah selesai dengan dirinya, tidak butuh pengakuan luar dirinya, tidak lagi peduli pengakuan orang lain, ia akan merindukan sesuatu yang bersumber “di dalam tengah diri sendiri” — SANGKAN PARANING DUMADI.
Manusia yang rindu dirinya, rindu kesejatiannya, rindu akan jagat dan kesemestaan diri yang ada di dalam dirinya, akan dengan sendirinya terhantar masuk ke AJI ADYATMIKA — Kadiatmikan.
Ādhyātmika mengacu pada “kesedihan batin”, “rindu batin”, “text batin”, “perih batin” — adalah jalan mengobati diri yang rindu akan jiwātama atau esensi dirinya.
Dari lontar-lontar Bali kita melihat warga dunia terbelah menjadi dua jenis manusia:
— Manusia Kawisesan: Manusia yang mengejar pengakuan dan kemenangan di depan orang lain atau duniawi.
— Manusia Ādhyātmika: Manusia yang telah selesai dengan urusan mencari kemenangan di depan manusia lain, tapi menenggok ke dalam dirinya, mengobati rindu perihnya diri pada esensi kehidupan yang paling hakiki — Tidak pamer menjalani hidup rohaninya, hidup diisi dengan upaya pencarian rohaniah ke dalam yang tidak perlu pengakuan dari luar.
Kitab-kitab utama di Bali mengajak pembacanya untuk tidak berhenti pada KIWA-TENGAN, tidak berhenti pada kalah dan menang urusan keduniawian. Jika masih terjebak kalah menang dan masih sebatas ingin membuktikan diri lebih hebat atau unggul dibandingkan manusia lain, manusia seperti ini DIKUTUK tidak akan pernah menemukan kedamaian hati. Ia dihantui kekalahan sekalipun telah menang. Kepuasannya sementara. Karena kepuasan diri dari pengakuan orang lain adalah nista dan sementara.
Kitab-kitab utama di Bali mengajak pembacanya mencari esensi diri, berhenti berebut pepesan kosong — BALUNG TANPA ISI. Kitab-kitab utama di Bali mengajak pembacanya tidak mengejar JAGAT-BHUTA, tapi JAGAT-HITA. Terus-menerus meningkatkan welas-asih ke semua makhluk dan mengupayakan diri untuk masuk kedalam diri sendiri, berjumpa JIWĀTMA dan manunggal dengan Hyang Tunggal — MOKSARTAM.