Namanya Ni Made Devi Jayanthi. Ia dosen di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Denpasar.
Di tengah banyak Lembaga Perkreditan Desa (LPD) berkasus hukum, ia meneliti LPD untuk disertasinya yang berjudul “Penerapan Asas Hukum Sekala Niskala Dalam Perjanjian Kredit Guna Mewujudkan Good Corporate Governance Berbasis Kearifan Lokal (Studi Kasus Pada Lembaga Perkreditan Desa Adat Di Provinsi Bali)”.
Disertasi itu dipertahakan Ni Made Devi Jayanthi di hadapan sidang ujian terbuka di Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, secara daring, Senin, 25 Juli 2022. Dan Devi dinyatakan lulus dengan predikat dengan pujian. Ia pun meraih gelar Doktor Ilmu Hukum di Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya.
Penelitian Devi dilatarbelakangi belum sempurnanya tatakelola LPD di Bali, khususnya dalam hal perjanjian kredit. Model perjanjian kredit di LPD saat ini, menimbulkan polemik di kalangan pengelola LPD karena masih konvensional, layaknya lembaga keuangan semacam bank perkreditan rakyat (BPR) atau koperasi.
Padahal, sesuai dengan amanat pasal 39 (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM), LPD diakui dan dinyatakan sebagai lembaga keuangan khusus komunitas adat yang tidak tunduk kepada UU LKM dan diatur berdasarkan hukum adat. Pasal tersebut menegaskan LPD sebagai lembaga yang menjalankan fungsi intermediasi sekaligus misi budaya.
Atas dasar itu, Devi menggali dan menemukan bahwa asas hukum sekala-niskala sebagai nilai kearifan lokal yang tepat karena konsep sekala-niskala telah dikenal masyarakat Bali sebagai kepercayaan terhadap hukum dua dunia. Sifatnya esensial dalam kehidupan mereka, karena termuat pada hampir seluruh awig-awig tertulis di desa adat, setidak-tidaknya di empat lokasi penelitiannya.
“Asas hukum sekala niskala juga dapat diharmonisasikan dengan pengaturan hukum perjanjian nasional,” kata Devi.
Menurut Devi, pemerintah harus mengakomodasi harmonisasi hukum agama dan hukum negara dalam lingkungan sosial adat Bali, sebagai bukti adanya pluralisme hukum, agar terbentuk perjanjian hukum sekala-niskala yang berani diterapkan oleh LPD Desa Adat di Bali.
Bersama para pengelola LPD di sejumlah desa adat yang menjadi lokasi penelitiannya, yakni LPD Desa Adat Kedonganan di LPD Desa Adat Kedonganan, LPD Desa Adat Pecatu, LPD Desa Adat Kapal (Badung), dan LPD Desa Adat Dukuh Penaban (Karangasem), Devi telah merumuskan suatu model surat perjanjian kredit sekala-niskala yang sekaligus menjadi temuan penelitiannya.
Model surat perjanjian kredit itu memuat tiga aspek, yaitu implikasi hukum sekala, implikasi hukum niskala, dan implikasi hukum sekala-niskala.
Implikasi hukum sekala yaitu teknis perjanjian kredit harus diatur dahulu dalam pararem sebagai bukti legalitas formal hukum adat. Implikasi asas hukum niskala terletak dalam bagian awal surat perjanjian yang berisi mantram dewa saksi.
Sementara implikasi asas hukum sekala-niskala terdapat dalam bagian-bagian komparisi yakni debitur haruslah merupakan krama desa adat, larangan waktu tertentu pembuatan perjanjian pada hari-hari raya tertentu berdasarkan kearifan lokal Bali, jaminan kredit yang bersifat materiel (benda tetap maupun bergerak) dan imateriel (kompensasi pembayaran melalui ngayah/pengabdian untuk desa adat), hak dan kewajiban debitur dan LPD serta penyelesaian sengketa harus dilakukan melalui paruman.
Penetrasi implikasi hukum tersebut ke dalam model surat perjanjian kredit diharapkan mampu menjadi risk control system di LPD. Dalam tatakelolanya, LPD juga ditopang modal sosial berupa partisipasi desa adat.
“Saya optimistis, ditunjang dengan penanaman nilai religi yang kuat lewat ritual Madewa Saksi atau apapun istilahnya di masing-masing desa adat, yang mengiringi proses penandatangan kredit, kegagalan kredit dapat diminimalisasi,” kata ibu muda berusia 31 tahun ini.
Lebih jauh Devi menegaskan perjanjian kredit sekala-niskala sesungguhnya merupakan upaya mewujudkan good corporate governance (GCG) berbasis kearifan lokal sehingga bermanfaat dalam penyesuaian tata kelola LPD berdasarkan hukum adat. Agar ini terwujud, seluruh pemangku kepentingan LPD harus memahami betul asas dan implikasi hukum tersebut sebagai sebuah langkah early warning system atau deteksi dini dalam upaya memperbaiki tatakelola LPD secara keseluruhan.
Dalam bidang perkreditan, terutama berkenaan dengan bidang penyaluran kredit, penelitian di LPD Kedonganan dan Pecatu menunjukkan bahwa idealnya setiap LPD wajib memiliki tahapan dalam proses penilaian 5C, yaitu character (karakter), capacity/cashflow (kapasitas/keuangan), capital (modal), conditions (kondisi), collateral (agunan), constraint (hambatan).
“Penting untuk menguatkan sisi-sisi kearifan lokal dalam tata kelola LPD sebagai bentuk penyempurnaan mekanisme check and balances, agar semakin maksimal dalam menjalankan fungsinya sebagai agent untuk membantu pemerintah menuju kesejahteraan di desa adatnya masing-masing,” tandas putri kedua Ketua LPD Desa Adat Kedonganan, I Ketut Madra dengan pasangan Ni Wayan Mustari ini.
Tim promotor yang terdiri atas Prof. Dr. Prof. Dr. Suhariningsih, S.H., S.U, Prof. Dr. Rachmat Safa’at, S.H., M.Si, dan Dr. Siti Hamidah, S.H., M.M., menyatakan salut atas kerja keras Devi hingga menghasilkan penelitian dengan temuan baru sebagai sumbangan bagi tatakelola LPD di Bali. Menurut Prof. Rachmat Safa’at, Devi telah hadir mengangkat kekuatan hukum adat Bali dalam konteks hukum nasional dan hukum internasional.
“Disertasi ini cukup representatif di tengah pergulatan antara hukum adat, hukum nasional, dan hukum internasional,” kata Prof. Rachmat saat memberi sambutan usai ujian.
Selain tim promotor, alumni S2 Kenotariatan Unud dan Sarjana Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) itu juga diuji oleh sejumlah guru besar dan doktor ilmu hukum dan dari sejumlah universitas di Indonesia, yakni Prof. Dr. I Wayan P. Windia, S.H.,M.Si., Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H.,M.S, Dr. Iwan Permadi, S.H.,M.Hum., Dan Dr. Budi Santoso, S.H.,LL.M. Devi merupakan lulusan ke-523 di Prodi S3 Ilmu Hukum FIB Unibraw. [T][Ole/*]