Indonesia, khususnya Bali, memiliki ragam mitos yang mengandung kebijaksanaan, pengalaman, dan nilai budaya. Kisah-kisah ini diteruskan dari generasi ke generasi dan terkadang mengalami distorsi dalam penyampaiannya.
Sejauh ini, mitos telah menjadi perekat yang mampu menjelaskan realitas dan budaya yang ada, sekaligus memberi panduan mengenai apa yang nyata dan penting bagi kehidupan masyarakat. Di dalam mitos itu, simbol dan metafora memainkan peran kunci dalam transformasi, baik ditingkat individu, group, organisasi, atau sosial. Hal ini dikarenakan simbol dan metafora mempunyai ketertarikan dari sisi irasional dan emosional manusia, dan mempunyai dampak mendalam pada kesadaran manusia (Movva, 2004).
Dalam dunia literasi, mitos menjadi inspirasi untuk karya fiksi dan tidak jarang membentuk mitos baru sebagai perkembangan atau gabungan dari mitos-mitos lama. Seperti apa yang tercermin dalam film-film karya Kitapoleng, mitos menjadi bagian paling utama di dalam menjelajah berbagai kemungkinan. 2 (dua) film pendek karya Kitapoleng; Bhatari Sri dan Wong Gamang, yang diputar serangkaian Bali Digifest 2022, Minggu (10/4/2022) di Rama Sita Room Grand Inna Bali Beach berkisah tentang mitos Bali yang sarat makna dan memiliki relevansi kuat dalam kehidupan hari ini.
Wong Gamang; The Journey of Dewi Melanting (2021), diangkat berdasarkan kisah perjalanan Dang Hyang Nirartha beserta keluarganya ke Bali pada abad ke-15. Film yang diangkat berdasarkan lontar Dwijendra Tattwa ini berfokus pada Ida Ayu Swabawa, putri tertua Dang Hyang Nirartha yang hilang ketika mereka berjumpa dengan seekor naga di hutan belantara.
Swabawa yang hilang, akhirnya ditemukan di Desa Pegametan. Namun, di sana ia menemukan kemalangannya. Garis nasib membawa Swabawa pada kesedihan yang memuncak. Ia pun bertubuh maya atas persetujuan Sang Ayah. Ada namun tiada, ia terasa tapi tak berbentuk apa-apa. Swabawa menjelma Bhatari Mas Melating sebagai lambang kemakmuran bagi mereka yang memujanya tanpa keraguan.
Film Wong Gamang yang diganjar beberapa penghargaan sebagai Film Pendek Fiksi Terbaik, Penyunting Gambar Terbaik dan Penata Artistik Terbaik dalam Bali Makarya 2021, menjadi fragmen kecil perjalanan besar Dang Hyang Nirartha yang berupaya menghadirkan pemaknaan lebih mendalam akan dedikasi dan kerja keras. Bahwa, ketika kerja menjadi nama lain dari doa, disanalah Bhatari Mas Melanting akan hinggap dan menebarkan cahaya kemurahan hatinya yang begitu megah.
Sementara Film Bhatari Sri; Subak dan Jejak-Jejak Kemuliaan (2021), menghadirkan Bhatari Sri hadir sebagai spirit sekaligus karakter wayang yang mengikat dramatik film dengan latar beberapa lokasi di Bali yang tidak semata-mata indah secara visual, tetapi juga memiliki sejarah kuat yang mempengaruhi kultur masyarakatnya.
Kisah mengenai Bhatari Sri mencakup segala aspek Dewi Ibu sebagai pelindung kelahiran dan kehidupan. Mengendalikan bahan makanan di bumi terutama padi yang menjadi bahan makanan pokok masyarakat Indonesia, maka Beliau pun mengatur kehidupan, kekayaan, dan kemakmuran. Bhatari Sri juga mengendalikan segala kebalikannya; kemiskinan, bencana kelaparan, hama penyakit, dan hingga batas tertentu, memengaruhi kematian. Karena merupakan simbol bagi padi, Beliau juga dipandang sebagai ibu kehidupan. Seringkali ia dihubungkan dengan tanaman padi dan ular sawah.
Menurut Founder Kitapoleng sekaligus sutradara I Gusti Dibal Ranuh, kebanyakan kisah mengenai Bhatari Sri terkait dengan mitos asal mula terciptanya padi. Pemaknaan lebih mendalam dilakukan dengan menghadirkan sistem subak yang telah menjadi bagian dari sosio kultural masyarakat di Bali.
Tak hanya sekedar sistem pengairan semata, Subak mengandung konsep keadilan dan menjadi organisasi demokratis; para petani yang memanfaatkan sumber air yang sama, bertemu secara teratur untuk bermusyawarah dan mengkoordinasikan penanaman, mengontrol distribusi air irigasi, merencanakan pembangunan, pemeliharaan kanal dan bendungan, serta mengatur upacara persembahan dan perayaan di Pura Subak.
“Dalam Prasasti Raja Purana tahun 994 Saka atau 1072 Masehi terdapat kata kasuwakara yang diduga berasal dari kata suwak. Kata ini kemudian berkembang menjadi subak. Secara etimologi, kata suwak sendiri terdiri dari dua suku kata yaitu “su” yang berarti baik dan “wak” yang memiliki arti pembicaraan. Sehingga suwak atau subak sendiri bisa diartikan sebagai melakukan pembicaraan dengan niat baik untuk kepentingan bersama,” jelasnya.
Spirit yang dikandung dalam subak, tambahnya, tak lepas dari spirit Tri Hita Karana sebagai falsafah hidup mengenai harmonisasi dengan sesama manusia, lingkungan dan Tuhan. Berangkat dari subak pula, film Bhatari Sri menghadirkan ragam tradisi dan kebudayan Bali yang masih bisa disaksikan hingga hari ini; tentang penghormatan terhadap Bhatari Sri yang telah memberikan kelimpahan, tentang pakaian tradisional Bali yang hadir sebagai sebuah karakter atau identitas, juga mengenai Asta Kosala Kosali yang mengatur tata bangunan di Bali yang berkaitan dengan Dewata Nawa Sanga.
“Baik film Wong Gamang maupun Bhatari Sri, diramu dengan memadukan kekuatan visual, tari, musik, dan narasi untuk menciptakan kemasan yang tak hanya menarik, tetapi juga mengandung informasi dan pesan mendalam yang dikreasikan secara artistik dan direspon menggunakan media baru. Untuk tata gerak dan koreografi, dikreasikan oleh Jasmine Okubo,” demikian Dibal.
Menurut koreografer Jasmine Okubo, segala ekspresi yang hadir baik dalam film Wong Gamang maupun Bhatari Sri mengutamakan gestur tubuh serta pola gerak dan dasar tari Bali sebagai yang utama, kemudian dikembangkan menjadi kontemporer. “Kekuatan utama film bertumpu pada visual, ekspresi, koreografi juga narasi. Terima kasih kepada semua artis, seniman, kru, dan seluruh tim yang telah terlibat dalam proses kreatif ini,” pungkasnya. [T][*/Rls/Eka Pranita]