Pagi ini saya bangun sedikit terlambat akibat sebelumnya tidur terlalu subuh. Jangan tanyakan apa yang dibicarakan saat begadang hingga subuh itu, karena tentu tidak akan penting bagi kalian. Tapi intinya, keterlambatan saya tidak mengurangi antusias saya untuk hadir di satu acara penting yang kali pertama saya ikuti.
Hari ini, Rabu 2 Maret 2022, umat Hindu melaksanakan upacara Tawur Agung Kesanga. Bagi saya yang lahir, tinggal, dan besar dengan agama Hindu dan budaya Bali tentu saja cukup akrab dengan ritual ini.
Kalau di Bali biasanya Tawur Agung akan disemarakkan dengan Pawai Ogoh-ogoh yang dibuat oleh pemuda-pemuda banjar. Ogoh-ogoh akan diarak keliling banjar dan ditarikan di Catus Pata (Simpang Empat) Desa masing-masing. Tawur Agung sendiri adalah upacara yang dilaksanakan sehari sebelum Hari Suci Nyepi yang ditujukan untuk kesejahteraan dan keselarasan alam semesta (Bhuana Agung).
Tapi Tawur Agung Kesanga tahun ini menjadi berbeda bagi saya, karena saya mengikuti upacara ini di Candi Prambanan—tempat suci yang dijadikan pusat persembahyangan bagi umat Hindu, tidak hanya di Indonesia tapi juga dunia. Tentu akan banyak perbedaan yang akan terlihat, meski sebagian juga akan sama.
Tat Twam Asi Sebagai Obat Kehidupan Bermasyarakat Hari Ini
Saya mendengar sambutan dari tokoh-tokoh Hindu dalam pembukaan Tawur Agung Kesanga hari ini. Kalimat-kalimat mereka lebih banyak menekankan pada nilai-nilai Tat Twam Asi sebagai pedoman umat dalam bermasyarakat. Dalam bahasa sederhananya, Tat Twam Asi “Aku adalah kamu, kamu adalah aku”—bagaimana kita sebagai umat manusia dapat berempati terhadap manusia lain sehingga mengutamakan kerukunan dan kebersamaan.
Kalau melihat konteks hari ini, nilai Tat Twam Asi sangatlah relevan. Coba lihat bagaimana di awal tahun 2021 umat kita diramaikan oleh pernyataan salah seorang dosen yang dulunya pernah menjadi umat Hindu. Ia mendiskreditkan agama lamanya dengan cara membandingkan dengan agama baru yang dianutnya. Padahal agama itu sendiri adalah jalan untuk menuju kepadaNya, jadi tidak perlu diributkan, cukup disiplin dengan ibadah masing-masing, maka keriuhan seperti itu tidak akan terjadi.
Lalu ada persoalan yang masih eksis hingga kini adalah dualisme yang terjadi di tubuh Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Dualisme kepengurusan hari ini mau tidak mau harus diakui juga membelah umat di daerah. Lalu siapa yang terkena dampaknya? Ya tentu umat Hindu di Indonesia.
Momen hari suci Nyepi kali ini tampak menjadi kesempatan penting bagi umat Hindu untuk kembali merekonsiliasi segala keributan yang belum selesai sebelumnya. Jadi, setelah ini kita bisa kembali fokus pada penyelesaian berbagai persoalan umat. Mulai akses pendidikan, penguatan ekonomi, hingga penguatan sradha bhakti.
Hindu dan Budaya yang Saling Menguatkan
Tidak hanya soal tema yang relevan, saya begitu bahagia melihat begitu beragamnya umat yang hadir di Candi Prambanan hari ini. Kalau biasanya saya hanya melihat umat yang menggunakan pakaian sembahyang khas Bali, kini saya melihat umat Hindu berbondong-bondong memanjatkan doa dengan pakaian khas daerahnya masing-masing. Hindu Jawa dengan blangkonnya, Hindu Kaharingan dengan ikat kepalanya yang khas, dll. Bukankah Hindu adalah agama yang menguatkan budaya tempat dirinya berpijak? Dan itulah sejatinya keindahan keberagaman.
Saya juga melihat berbagai perangkat penunjang, seperti: tari-tarian, tembang, gamelan, hingga pertunjukkan wayang yang khas dengan budaya Jawa. Hal itu tentu saja mengindikasikan bahwa akulturasi antara pengamalan ajaran-ajaran agama Hindu dengan budaya setempat berjalan dengan baik, sehingga melahirkan suatu hubungan yang harmonis.
Salah satu tarian yanh saya saksikan adalah Tari Gambyong; sebuah tarian yang diperuntukkan untuk menyambut tamu. Tarian ini berasal dari daerah Surakarta, dan lebih bahagianya saya dapat kesempatan untuk berfoto bersama dengan beberapa penari Gambyong tersebut (hahaha, hanya intermezo saja ya—mari lanjut ke topik pembahasan).
Kalau di Bali kita mengenal persembahan yang bernama Pajegan atau Gebogan, maka di Tawur Agung Kesanga yang diselenggarakan di Candi Prambanan, kita akan melihat persembahan serupa dengan nama yang berbeda. Namanya adalah Gunungan. Seperti halnya Pajegan atau Gebogan yang terdiri dari susunan buah-buahan, Gunungan pun demikian, hanya saja Gunungan berukuran lebih besar dan benar-benar disusun layaknya gunung—diameter bawah lebar lalu semakin kecil ke bagian puncaknya.
Serupa dengan Pajegan atau Gebogan yang boleh dimakan setelah dihaturkan, Gunungan pun demikian. Hanya saja ini lebih menarik dan membuat saya semakin bersemangat. Pada akhir upacara, Gunungan diarak keliling pelataran Candi Prambanan lalu di bawa ke titik tengah pelataran. Kemudian umat Hindu yang hadir dipersilakan untuk mengambil buah-buahan tersebut. Ingat, umat yang hadir itu ratusan orang, jadi saya harus berebut dengan umat yang lain agar dapat buah-buahan tersebut—naa, tradisi tersebut bernama Krebekan.
Memiliki kesempatan untuk merasakan bagaimana pelaksanaan upacara Tawur Agung Kesanga di luar Bali bukanlah hal yang bisa didapat oleh semua orang. Tapi ketika mendapatkan kesempatan tersebut, percayalah bahwa Hindu tidak hanya hidup di pulau yang bernama Bali saja, Hindu hidup di hampir seluruh wilayah Indonesia yang menguatkan budaya-budaya setempat.
Mungkin Hindu itu sangatlah menerapkan kata pepatah yang berbunyi “dimana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”. Memang penuh perbedaan, tapi bukankah di sanalah letak keindahannya? Bagaimana menurut kalian? [T]