Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna bersama seluruh unsur pimpinan dan anggota DPRD Buleleng mengucapkan Selamat hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka 1944 kepada masyarakat. Diharapkan warga Buleleng menjalankan Catur Brata Penyepian dengan lancar tanpa ada halangan yang berarti.
“Semoga dengan melaksanakan Catur Brata Penyepian seluruh kehidupan di dunia mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan,” kata Gede Supriatna.
Hari Raya Nyepi tahun ini bisa dijadikan momentum untuk melakukan perenungan diri, pembenahan diri, instrospeksi diri atau mulat sarira, di tengah pandemi yang hingga kini belum sepenuhnya berakhir.
“Serangkaian Hari Nyepi, kita melakukan pembersihan buana agung atau alam semesta, juga melakukan pembersihan untuk buana alit, di dalam diri kita sendiri,” kata Supriatna.
Seperti kita tahu, Catur Brata Penyepian teridri dari Amati Geni (tidak menyalakan api), Amati Karya (tidak bekerja), Amati Lelungaan (tidak berpergian) dan Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang). Dengan melakukan brata dalam diri sendiri, diharapkan persoalan diri dan persoalan-persoalan alam semesta bisa ditemukan jalan penyelesaiannya dengan baik.
Rangakaian Hari Raya Nyepi bagi Supriatna bisa dijadikan momentum untuk mendekatkan diri juga dengan keluarga, teman-teman dekat di kampung halaman, atau mendekatkan diri dengan masyarakat. Sebelum Nyepi dan setelah Nyepi terdapat rangkaian upacara dan acara yang bisa dijadikan media untuk melakukan kegiatan-kegiatan bersama sekaligus membicarakan ide-ide baru untuk memajukan kehidupan sosial dan pembangunan di desa.
“Saya sendiri lebih sering Nyepi di desa di Tejakula. Nyepi di desa bisa menciptakan kenangan-kenangan yang menarik untuk direnungkan kembali di masa-masa depan,” ujarnya.
Apalagi, di Desa Tejakula, dulu terdapat sebuah tradisi unik yang dilakukan menjelang Hari Nyapi. Yakni, tradisi entung-entungan api. Sabut dibakar, lalu baranya itu digunakan untuk saling lempar dengan sesama warga. Tradisi ini sesungguhnya bisa dijadikan media untuk saling memupuk rasa akrab di antara sesama warga desa. “Namun karena kadang disalahgunakan untuk membuat keributan, tradisi ini kemudian dihentikan,” kata Supriatna.
Supriatna berharap tradisi-tradisi semacam itu di masyarakat perlu untuk dihidupkan kembali. Agar tidak menimbulkan keributan, mungkin tradisi itu diatur dengan baik dan ketat. Misalnya, orang-orang yang melakukan tradisi itu dipilih dengan ketat oleh pihak desa adat, dan diselenggarakan dengan system yang teratur atau tidak dibiarkan berlangsungs secara liar.
“Selain tradisi entung-entungan api di Tejakula, terdapat banyak lagi tradisi lain di desa-desa lain yang diselenggarakan menjelang Nyepi atau setelah Nyepi. Tradisi-tradisi itu penting untuk dihidupkan kembali,” kata Supriatna.
Tentu saja, kata Supriatna, perayaan Nyepi saat pandemi berbeda dengan masa-masa sebelum pandemi. “Untuk itu, warga diharapkan tetap melaksana protocol kesehatan, agar acara bisa berlangsung lancar dan pandemi juga diharapkan segera berakhir,” katanya.[T][Ado/*]