Hampir semua bendesa adat yang menjadi peserta lomba pidarta (pidato) serangkaian Bulan bahasa bali di Taman Budaya Denpasar, Bali, memiliki penguasaan bahasa Bali yang baik, lancar dan benar. Hanya, yang perlu ditingkatkan adalah pemberian karakter pada bahasa agar bahasa memiliki rasa yang bisa menyentuh perhatian pendengar.
Itu antara lain yang dikatakan dewan juri dalam lomba yang digelar Sabtu (19/2/2022).
Lomba Pidarta Bendesa Adat ini diikuti oleh seluruh Kabupaten/Kota se-Bali. Sayangnya, terdapat tiga wakil yang tak hadir. Karangasem dan Tabanan memang tak mengirim wakilnya. Sementara wakil dari Denpasar berhalangan hadir karena sakit. Alhasil, lomba Pidarta Bendesa Adat hanya diikuti oleh enam peserta.
Masing-masing peserta saling unjuk kemampuan dan gaya berbicara. Ada yang pembawaannya tenang, ada pula yang pembawaannya semangat dan sedikit berapi-api. Dari hasil keputusan dewan juri, wakil dari Badung menjadi Jayanti (Juara) Pidarta Bendesa Adat dalam Bulan Bahasa Bali IV Tahun 2022. Disusul kemudian oleh wakil dari Buleleng sebagai Jayanti II, dan wakil dari Gianyar menjadi Jayanti III.
Ketua Dewan Juri, Anak Agung Gede Putra Semadi menjelaskan, ada beberapa poin yang dinilai antara lain penampilan, penguasaan materi, kemampuan menyesuaikan materi dengan tema Danu Kerthi, kelembutan penggunaan Bahasa Bali sesuai dengan Sor Singgih Bahasa Bali, serta penyampaian amanat atau pesan dari materi. Dia menilai, secara umum penampilan peserta cukup bagus. Bahkan sulit bagi tim juri menentukan pemenangnya. Hanya saja, dirinya menyoroti pengkarakteran Bahasa Bali ke dalam pembawaan pidarta.
“Dari segi kebahasaan, para bendesa adat sudah menggunakan Bahasa Bali yang baik dan benar. Cuma bagaimana mengkarakterkan bahasa itu, sehingga rasa basa dari masing-masing peserta ini yang perlu ditingkatkan. Mana yang harus ditekankan, dilembutkan, dikeraskan, ini yang belum bisa begitu dirasakan. Sehingga terlihat juga ada yang karakternya datar,” ujarnya ditemui usai lomba.
Akademisi Universitas Dwijendra ini menambahkan, karakter yang dimaksud yakni penghayatan, merasakan bagaimana bahasa itu disampaikan. Termasuk juga ini berkaitan dengan intonasi. Misalnya ada beberapa kalimat yang memerlukan penekanan, maka suara agak ditinggikan. Selain menyoroti pengkarakteran bahasa, ada satu hal sederhana yang juga tak luput dari perhatian para juri, yakni senyum yang seharusnya di awal pidarta sebagai pengantar komunikasi bathin antara peserta dan pemirsa.
“Ada yang dilupakan. Setiap peserta dalam mengawali pidartanya harus diawali dengan sapaan dan senyuman. Tetapi kelihatan tadi peserta tidak ada satu pun yang tersenyum. Ini satu hal yang terlupakan barangkali. Tapi kita juga tidak bisa menyalahkan, mungkin saja karena dalam situasi lomba mereka jadi tegang,” terangnya sembari menyebut ada pidarta yang terkesan dharma wacana, namun tidak begitu menonjol dan tidak mempengaruhi inti pidarta.
Menurut akademisi asal Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar ini, antara Bahasa Bali dengan bendesa adat adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Bendesa adat sebagai piranti untuk mengembangkan dan melestarikan Bahasa Bali di masyarakat adat masing-masing. “Jadi kami berharap sekali supaya bendesa adat itu betul-betul bisa menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk melestarikan Bahasa Bali, terutama pada generasi muda,” harapnya.
Sementara itu, wakil Badung yang menjadi Jayanti Pidarta Bendesa Adat, I Gusti Agung Ketut Sudaratmaja mengaku pengalaman ikut lomba pidarta merupakan sesuatu yang baru baginya. Berlatar belakang di bidang pertanian, dirinya mencoba menyelaraskan materi Danu Kerthi dengan tema-tema yang berkaitan dengan pertanian siklus air. Adapun topik yang dibawakan yakni ‘Ageguron ring Toya’ yakni berguru pada air. “Jadi saya background nya orang pertanian, sehingga saya mencoba untuk mengaitkan tema air ini dengan pertanian. Sehingga saya buat materi yang ada logika, argumentatif, dan informatif,” terang Bendesa Adat Blahkiuh, Kecamatan Abiansemal, Badung ini.
Ditanya soal persiapan, Sudaratmaja mengaku tidak terlalu lama. Menurutnya, dalam menyiapkan diri menghadapi lomba, dirinya membuat poin-poin penting yang harus ditekankan. Sehingga penyampaian materi dapat dipahami dengan mudah oleh pendengar. “Terus terang meski sudah buat naskah, saya tetap buat poin-poin penting sebagai catatan. Sehingga penyampaian pidarta dapat berjalan dengan baik,” tandas mantan Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung ini. [T][Ado/*]