Perkampungan mulai bergerak memenuhi waktu. Para ibu sejak pagi telah disibukan kandang babi, para bapak pergi ke tegalan dan mengurus sapi-sapi, sementara anak-anak berangkat sekolah menggarap lapangan lain untuk bermain. Pagi berlalu. Mereka berpulang peluh. Menukar cerita seputar hama atau ulat yang menyerang tegalan, rumput yang disabit pencuri, kelahiran anakanak sapi, juga harga sebutir kelapa yang turun drastis dari tahun sebelumnya. Percakapan itu singgah di terasteras rumah tetangga. Tak berselang lama, anak-anak tiba melepas seragam dan berlarian ke tempat-tempat tak tercapai orang tua, sekadar menuntaskan janji untuk bermain.
Gadis kecil mengagumkan, mengharukan. Ia duduk pada tumpuan bata. Tubuhnya begitu lugu sampai-sampai tak menyadari mulut pintu pada teras rumah adalah celah bagi mata dunia untuk mengintip kehidupannya kini. Gadis itu, ia tak menawar senyum atau menggumpal muram pada raut wajah.
Ia benar-benar tak rapi, ada serpihan debu yang melekat pada pelipis dan lekat oleh keringat. Memandangnya saja, aku terasa mencium dan mengecap seluruh bagian tubuhnya. Aku sedang menduga, bagaimana bau tubuh yang ia kirim pada setiap hidung orang-orang? Adakah sama seperti yang sedang kupandang? Tahukah ia seseorang menyukai baunya atau tidak. Aku ingin sekali mendekat. Tapi musti lebih bersabar dulu.
Gadis itu Satriani. Putri tunggal tetangga seberang gang rumahku. Bapaknya seorang pekerja serabutan, dengan ibu yang selalu hilang tengah subuh hari lalu. Semua tahu ia selalu siap sendiri. Ia bukan tak punya siapapun selain ibu dan bapak. Bagi mereka yang hidup dalam satu kampung, seluruh tetangga dan seluruh kampung adalah saudara hidup. Menenteng piring dari dapur rumah sendiri, menuangkan nasi di dapur tetangga satu, sambil mengoceh dan melepas setiap obrolah bersahutan. Berpindah lagi. Menuang lauk ikan asin dari tetangga lainnya, sampai tandas kunyahan berakhir dan tenggak segelas air putih.
Semua orang melakukannya. Seolah-olah dapur pada setiap rumah adalah milik siapa saja. Begitulah perkampungan dan orang-orang yang hidup di dalamnya memaknai hidup mereka. Tetapi siapa selain aku yang pernah memandang kesendirian seseorang di sekitar kampung? Seperti memandangmu yang sendiri, Satriani.
Kini gadis itu mulai bergerak memalingkan wajahnya ke arah kanan dan kiri, seperti mencari atau memastikan. Aku mengikuti arah pandangnya dari tempatku. Tak ada seorangpun. Aku tak melihat siapapun dari kejauhan atau disekitarnya. Tapi ia tentu tak pula melihatku. Ah, gadis yang mencurigakan. Apa yang hendak ia lakukan? Duduk sendiri, tampak terus memastikan sesuatu. Aku akan mengintipmu dari seberang gang ini, dari mata jendela yang kau kira buta. Aku merasa menang dalam situasi ini, rasanya seperti tengah main petak umpet.
“Sial!” Aku sontak terkejut.
Dalam sepersekian detik aku dibuat berdosa seumur hidup dengan apa yang kuperbuat. Aku melihatnya dengan gerak cepat. Sedikit membungkuk, Satriani memungut sebutir permen yang tak lagi dengan kulit seperti sempat terhisap lalu dibuang pemiliknya. Ia kemudian memastikan lagi sekitarnya. Dengan tak sabar, pasir atau debukah itu, ia berusaha melepaskannya dari bagian permen lalu menghisapnya dengan mata penuh binar dan duduk kembali tak gelisah sedikitpun.
Aku tutup gorden jendela. Kemudian kugulingkan badanku sambil terngiang selalu gadis itu. Adakah yang melihat selain aku? Aku hampir tak yakin. Esok aku akan menemuinya. Kubayar rasa bersalahku dengan sebungkus permen. Tapi perasaan berdosaku, bisakah lunas sesederhana itu? Ah, apa yang harus dilakukan jika begini? Sial! Aku akan menemuinya besok. Siapa tahu ia akan duduk lagi di gang itu.
Esok datang lebih cepat. Tetapi Satriani tak pernah duduk di gang itu lagi. Aku menunggu saat-saat ia akan kembali. Tapi Satriani tidak juga pernah berhenti. Ia hanya lewat, kemudian pergi. Berlarian bersama sekawanan anak kecil lainnya. Aku seperti tak punya alasan menghentikannya, sekadar untuk memberinya sebungkus permen. Aku tidak pernah menyapa atau bersinggungan dengannya, meski kami seorang tetangga dalam kampung. Perlakuanku akan terasa aneh jika tibatiba kulakukan.
Jendela kubiarkan selalu setengah terbuka sebagai mata yang sewaktu-waktu menangkapkan untukku tubuh Satriani di gang itu lagi. Pada celah jendelaku pula, ia merawat baik mataku untuk membuka dan memejamkannya. Pada celah itu, waktu dan usiaku dihadiahi hal-hal menakjubkan setiap harinya.
***
“Sebelum pagi benar-benar membangunkan semua, pulanglah dengan cara biasa. Jangan kenakan sandal seperti yang biasa kau kulihat di gang itu!”
Satriani melihatku sekejap lalu menyiapkan tubuhnya, kemudian berlalu dengan sepasang sandal jepit di tangan kanannya. Ia lenyap di balik pintu. Entah sejak kapan kami menjadi begitu dekat dan akrab. Usia kami terpaut amat jauh untuk ngobrol hal yang sama. Tapi langit dari balik jendelaku selalu mengirimnya datang tepat waktu. Hanya kami, gang-gang, dan jalan perkampungan yang menjahitkan pertemuan ini.
Aku selalu lupa bertanya apa kami saling menyukai. Aroma tubuhnya yang kureka dulu, kini sampai di ujung hidung. Tubuhnya tidak lagi semungil dulu, ia menjelma gadis remaja yang anggun. Dua buah payudaramu yang rata Satriani, aku tak bisa melihat atau merasakan ia bergetar, sekalipun ketika kita berdekapan. Tubuhmu bahkan hanya kau ajarkan untuk telungkup. Aku dan kau seperti dua asing yang bertemu, tetapi kita selalu tiba pada tempat dan waktu yang sama untuk menyepakati sesuatu.
“Seorang teman mengetuk pintu kamarku dan aku mengabaikannya.”
Ah, Satriani.. Kau mulai lagi kali ini. Dalam kamar ini, kau hanya mengulang cerita sama setiap kali tubuh kita usai bercinta. Kemudian aku akan mengulang hal yang sama seperti apa yang telah kau ceritakan. Bagimu saat aku mengulangnya, kau merasa tidak sendiri menerima kisahmu. Bahwa ada orang lain sepertimu yang bercerita padamu.
Satriani mendiamkan seluruh gerakan tubuhnya, sekecil apapun itu yang bisa menghasilkan suara. Temannya nampak putus asa, meyakini bahwa si kecil Satriani tertidur. Satriani awas, menyadari temannya telah pergi, ia mulai memeriksa kembali. Dibangkitkan tubuhnya dari atas ranjang, memeriksa dari balik jendela. Lengang. Ia lega.
Dengan segera seperti ketika memungut permen di gang itu, Satriani naik ke ranjang, menunggangi bantal guling yang ia peluk setiap tidur. Ia tak berekspresi. Hanya menggoyangkan badannya, menggosok selangkangan dan mengapit erat bantal guling lusuh itu. Aku seperti tengah melihat langsung dari apa yang diceritakannya. Tapi kenapa nikmatnya sampai padaku. Rasa nyeri lalu masuk di antara selangkangan dan tanganku. Begitu setiap kali cara kita sampai pada pertemuan dan telanjang ini. Kesendiriannya dan juga kesendirianku tidak pernah dapat dibaca siapapun.
Di hari hilangmu dari gang itu Satriani, seorangpun tiada pernah bertanya kenapa kau tidak lagi memilih duduk di sana, menunggu bapak dan ibumu kembali. Satriani, kau selalu melarikan diri bersama langkah temanmu melupakan waktu berlalu. Bahkan setelah usiamu menginjak remaja, setelah kedua orang tuamu memilihkan kembali hidupmu yang lebih sendiri dengan perceraian mereka.
Kau mulai tahu bahwa kepergian ibumu selalu berakhir pada tubuh laki-laki selain bapakmu dan kembali dengan beberapa puluh ribu uang yang ia tenteng jadi beras juga setengah potongan daging ayam, yang kau jadikan sarapan setiap harinya. Lalu bapakmu menikah lagi. Ia memberimu adik laki-laki yang sekalipun tidak ingin kau tahu siapa ia dan ibunya. Sementara kini, kau dan ibumu berdiam dalam satu rumah tanpa sekalipun bertatap wajah.
“Apa di antara kita akan ada yang pergi seperti bapak dan ibuku?” tanyamu gamang.
“Kalau aku tentu tidak. Bagaimana dengamu?”
Aku tidak punya alasan meninggalkan siapapun lagi. Sebab aku memang telah sendiri, jauh sebelum Satriani seperti saat ini. Nenek dan kakek yang merawat aku sejak kecil karena perpisahan orangtuaku telah meninggal. Mereka mati lantaran sakit hati pada bapak dan pamanku. Bagaimana tidak? Bapak yang tidak terima atas kelahiranku menyeret ibu, lalu menebarnya jadi potongan kecil umpan ikan di lautan. Ikan-ikan yang kenyang oleh daging ibu itu lantas ditangkap bapak. Ia jual di kerumunan pasar pagi di tengah kampung. Tak lama setelahnya, bapak meninggal. Entah karena kutuk ibu atau luka oleh sesalnya sendiri.
Sementara pamanku? Ia seorang waria, meyakini dan memilih kehidupannya sebagai seorang perempuan dan meninggalkan rumah sejak lama. Sekarang tinggal aku, Satriani. Tapi apa yang bisa nenek dan kakek harapkan dari seorang aku untuk meneruskan garis keluarga. Tidak ada yang bisa diharapkan dariku. Maka yang mereka berikan padaku adalah umpatan juga ludahan.
“Bagaimana kau tak cemas pada kesendirianmu?”
Pertanyaan macam apa lagikah itu, Satriani. Aku sedikit ragu untuk menjawab. Sebab sepertinya pertanyaan ini bukan hanya kau tujukan buatku, melainkan juga untukmu sendiri.
“Kau hanya takut pada pertanyaan Satriani, bukan kesendirian itu.”
***
Masa kanakmu dulu Satriani, ia membuatku cemas. Memaksa diriku untuk pertama kalinya menemuimu dengan satu bungkus penuh permen di tanganku. Aku mengetuk pintu rumahmu, seperti yang temanmu pernah lakukan dulu. Tapi aku tahu hari itu kau memang sedang tidak di rumah. Aku berpikir kau mungkin menginap di tetangga sebelah. Sebab seperti biasa, orangtuamu jarang kembali dari perginya. Kau sedang menginap dan tengah terlelap. Sekadar memastikan kau di sana, aku menemukan sepasang sendal jepitmu yang sekelebat pernah kulihat kau memakainya. Kupikir itu milikmu.
Hari itu aku segera berbalik arah memutuskan pulang. Tetapi pintu pemilik rumah terbuka dan reflek tubuhku bersembunyi pada tembok pembatas rumahnya. Aku mengintip seperti sedang mencuri sesuatu. Seseorang sedang keluar di tengah kegelapan dari dalam pintu rumah. Seorang lelaki yang membopong tubuh perempuan kecil, membawanya masuk ke dalam rumah lain. Entah hari itu aku ingin mengikutinya, Aku kemudian mencari celah di samping rumahnya. Kutemukan jendela rumah yang setengah terbuka. Lelaki itu menyalakan lampu dan menggeletakan tubuh kecil gadis yang dibopongnya.
“Gadis itu kau Satriani. Aku melihatnya jelas bagaimana kau berpura-pura tertidur, saat kau telah sadar tubuhmu telah berada di tempat berbeda.”
Satriani kemudian meringkuk lebih keras membawa tubuhnya pada sedu dan isakan tangis. Aku hanya memerhatikannya. Sebab yang ia butuhkan bukan pelukan siapapun saat ingatan itu kembali muncul. Aku melihatnya Satriani, lelaki paruh baya itu melumat tubuhmu seperti daging segar untuk makan malam. Bahkan setelah kau membuka matamu, saat kau berpurapura tak sadar tubuhmu telah ia habisi, ia hendak meninabobokanmu kembali. Aku melihatmu bergegas pergi, sambil berpura-pura mengigau.
“Kau mengingatku dengan baik Satriani, meski aku tidak menyapa dan menegurmu malam itu, kau mengingat rasa permen yang kuberikan padamu.”
Satriani mulai menangis lebih sedu, kemudian kupeluk ia seeratnya. Beberapa tahun beralu setelah kejadiannya malam itu, aku berpapasan dengannya dan menyuguhkan permen yang sama. Sejak itu kau akrab pada pertemuan kita. Entah kita jatuh cinta atau tidak, Satriani. Tapi suguhan permenku adalah undangan yang telah lama aku ingin katakan, sambil menunggumu tumbuh lebih siap dari seorang bocah yang ketakutan.
Kedatanganmu Satriani adalah rumah aman dari segala macam pertanyaan yang kau takutkan. Aku tidak pernah menuntutmu untuk jatuh cinta pula padaku. Sebab kita sama-sama memiliki cemas dan ketakutan masingmasing. Tapi pertanyaanmu Satriani, tentang akankah ada di antara kita yang saling meninggalkan. Pertanyaan itu kemudian kau jawab beberapa bulan kemudian.
***
Kita benar-benar jatuh cinta ataukah sungguh benci pada tubuh sendiri, Satriani? Siapa yang kiranya mampu menjelaskan itu? Satriani, Tuhan sedang sibuk dengan dirinya sendiri. Jangan percaya ia sedang menjaga kita dan memilihkan nasib baik sehingga kita terlalu pasrah dan berserah. Seolah-olah semua jawaban akan datang seperti ketika lapar yang puas dengan makan.
Di hari pemakamanmu, Satriani, orang-orang masih menggunjingkan perihal sakit yang kau derita di kelaminmu. Mereka menyebut nama ibumu berulang dan menyamakannya dengamu. Mereka masih tidak pernah tahu perihal luka dalam hatimu dan pertemuan kita Satriani. Tak perlu cemas, Satriani. Aku akan tetap membuka jendela sambil membayangkanmu tetap duduk di gang kecil itu.
Aku tidak akan menulis garis keturunan siapapun Satriani. Sebagaimana sebab kakek dan nenekku selalu menghadiahiku dengan ludahan, seorang perempuan tidak akan mampu menulis garis pada keturunan keluarganya.
Denpasar, 2019
Catatan: Cerpen “Satriani” ini termuat dalam buku kumpulan cerpen “Manisan Gula Merah Setengah Gigit” (Mahima Institute Indonesia, 2020). Miliki buku itu untuk baca cerpen-cerpen karya Kadek Desi Nurani yang lain