Oleh: Ni Kadek Juliantari
Sastra merupakan suatu kegiatan mengekspresikan diri yang diwujudkan dalam bentuk karya, sehingga disebut karya sastra. Sastra bisa juga disebut karya seni karena di dalamnya mengandung keindahan atau estetika. Unsur-unsur keindahan atau estetika hadir menjiwai karya sastra sehingga kehadirannya mampu memikat perhatian dan memberikan daya tarik bagi sang penikmat karya sastra tersebut.
Pelibatan pembaca sebagai penilai karya sastra erat kaitannya dengan pendekatan pragmatik. Pendekatan pragmatik memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan pragmatiklah yang berhubungan dengan salah satu teori modern yang mengalami perkembangan yang sangat pesat, yaitu teori resepsi sastra. Resepsi sastra termasuk ke dalam orientasi pragmatik.
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca sebagai pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial. Karya sastra sangat berhubungan erat dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan untuk kepentingan pembaca sebagai penikmat karya sastra tersebut.
Selain itu, pembaca juga yang menentukan makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang memberikan nilai. Tanpa adanya pembaca, karya sastra tersebut hanya akan menjadi artefak. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra berupa buku puisi Bali modern yang berjudul Kamerad Léningrad patut mendapat sambutan hangat dari para pembaca dan penikmat sastra.
Kamerad Léningrad merupakan sebuah buku puisi Bali modern yang di dalamnya hanya terdapat dua buah puisi. Yang pertama berjudul Méi Hwa dan yang kedua berjudul Kamerad Léningrad yang sekaligus digunakan sebagai judul buku ini. Buku puisi Kamerad Léningrad mengungkap sejarah tentang tragedi 1965 dan reformasi tahun 1998.
Selama ini beberapa ahli mendefinisikan karya sastra sebagai karya rekaan yang imajinatif, ternyata hal itu tidaklah selamanya benar. Karya sastra Kamerad Léningrad ini membuktikan bahwa karya sastra tidak tercipta dari ruang kosong atau ruang hampa. Karya sastra lahir dan berkembang dalam masyarakat sehingga di dalamnya ada muatan-muatan realitas atau merepresentasikan kenyataan yang ada di masyarakat.
Puisi Méi Hwa dan Kamerad Léningrad yang terdapat dalam buku ini menampilkan realita tragedi 1965 dan reformasi tahun 1998 yang dikemas secara apik oleh sang sastrawan, IDK Raka Kusuma. Dengan membaca setiap baris dalam puisi tersebut, pembaca seolah-olah dihadapkan kembali pada situasi tragedi 1965 dan reformasi 1998 yang menegangkan, menakutkan, dan mengerikan.
Puisi tersebut mengisahkan pembantaian yang terjadi pada 1965. Pembantaian di Indonesia pada 1965 merupakan peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah kegagalan kudeta Gerakan 30 September. Dalam puisi Kamerad Léningrad tersebut sangat jelas diungkapkan tentang keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang meresahkan rakyat.
Selama ini kita disuguhi pelajaran sejarah dari sumber-sumber sejarah formal yang tertuang dalam buku-buku sejarah. Namun, kehadiran buku puisi Kamerad Léningrad ini memberikan penyadaran bagi kita bahwa belajar sejarah bukan hanya dari buku-buku sejarah, melainkan juga dari karya sastra-karya sastra yang mengungkap sejarah, seperti dalam buku puisi ini.
Selama ini kemungkinan yang ada di benak para pelajar bahwa para pahlawan adalah mereka yang nama-namanya tercatat pada buku-buku sejarah, seperti Diponegoro, Jendral Sudirman, I Gusti Ngurah Rai, dan pahlawan nasional lainnya. Namun, buku puisi Kamerad Léningrad ini mengetuk hati kita bahwa ternyata banyak pahlawan yang gugur (pahlawan lokal/setempat) yang tidak tercatat dalam buku sejarah.
Berbeda dari buku-buku puisi pada umumnya yang dalam satu buku terdapat 30 sampai dengan 40 judul puisi, buku puisi Kamerad Léningrad hanya terdiri atas 2 (dua) judul puisi, yakni Méi Hwa dan Kamerad Léningrad. Walaupun hanya terdapat 2 (dua) judul dalam buku puisi Bali Modern ini, jumlah halaman dalam buku ini mencapai 100 halaman.
Hal itu disebabkan oleh tiap puisi ditulis dengan sangat panjang hingga mencapai berpuluh-puluh halaman. Cara penyajian puisi yang seperti ini memberikan daya tarik kepada pembaca karena tidak mesti memulai dengan judul yang baru. Akan tetapi, dalam satu judul puisi, pembaca memperoleh pemaknaan yang komprehensif dan utuh dalam sebuah puisi. Apalagi kedua puisi dalam buku ini disajikan dengan gaya penceritaan yang luar biasa. Walaupun dibangun atas baris-baris yang singkat atau pendek-pendek, tetapi dari baris satu dan baris berikutnya memiliki keterkaitan dan kepaduan. Demikian pula dari bait ke bait yang membangun puisi ini saling terkait melahirkan sebuah makna yang luar biasa menyentuh hati.
Dari larik-larik yang disajikan, tampak sang penulis sangat piawai merangkai kata memadukan makna sehingga seolah-olah pembaca disuguhkan pada sebuah cerita yang utuh dengan alur yang mudah diikuti oleh pembaca. Dari larik-larik puisi tersebut, tampak kegetiran hati sang penulis membangkitkan kembali kenangannya 1965 silam yang saat itu kemungkinan belum berusia belasan tahun. Namun, dari baris-baris yang disajikan tampak bahwa kenangan 1965 tersebut sangat lekat di benak sang penulis sehingga penulis mampu mengantarkan pemahaman pembaca pada suasana yang terjadi saat itu.
Buku puisi Kamerad Léningrad ini menggunakan bahasa Bali sehingga melalui buku sastra ini pembaca tidak hanya belajar tentang sastra, sejarah, tetapi juga belajar tentang bahasa, khususnya bahasa Bali. Sangat jarang memang dijumpai buku-buku sastra Bali Modern yang mengungkap tragedi 1965.
Secara umum, karya-karya sastra terutama yang baru-baru cenderung mengungkap kisah percintaan. Oleh karena itu, kehadiran buku puisi Kamerad Léningrad yang diterbitkan oleh Pustaka Ekspresi pada Juni 2019 ini menjadikan kita kembali mengenang dan melek sejarah. Orang-orang menyebut JAS MERAH, yang artinya jangan sekali melupakan sejarah. Kehadiran buku puisi ini membantu kita untuk kembali mengingat sejarah puluhan tahun silam.
Kekhasan penggunaan bahasa yang tampak dalam buku puisi ini adalah gaya bahasa repetisi. Bahkan hampir dalam tiap halaman terdapat penggunaan gaya repetisi. Penggunaan gaya repetisi ini mampu memberikan kesan yang berbeda yang menguatkan dan menegaskan makna. Beberapa contoh repetisi yang terdapat dalam puisi Méi Hwa di antaranya adalah ”nadaksara inget tekén idéwa, dugas di Jakarta, Méi Hwa, dugas di Jakarta”, ”ada mageluran: sang kuasa durjana, ané adigang adigung adiguna, suudang! suudang! tuunang! tuunang! ka bui, ka bui kisidang!”, ”cadang polisi, liu, liu gati”, ”uus, uus marasa kopingé”, ”ngrawatang idéwa, paling, paling tiang malaib”, ”sing tawang, sing tawang palaibé kija”, dan masih banyak lagi bentuk repetisi-repetisi yang lainnya yang memukau pembaca dan memberikan kesan yang berbeda.
Sementara itu, repetisi-repetisi yang terdapat dalam puisi Kamerad Léningrad beberapa di antaranya adalah ”komunis sujati saling dundunin, komunis sujati saling dandanin”, ”komunis sujati sing saling tuludang, komunis sujati sing saling ulungang”, ”apa buin nuludang sakéng silib, apa buin ngulungang sakéng silib”, ”lan jani dadi komunis sujati, lan jani dadi prolétar sujati, lan jani dadi komunis lan prolétar sujati, lan jani dadi prolétar lan komunis sujati”, ”sing ada munyi dingeh tiang makrisikan, sing ada munyi dingeh tiang makrésékan”, ”sing ada munyi dingeh tiang makrosokan, sing ada munyi dingeh tiang maklesegan”, dan repetisi-repetisi yang lainnya. Berbeda dari repetisi-repetisi pada puisi Méi Hwa, repetisi dalam puisi Kamerad Léningrad ini tampak lebih panjang karena yang direpetisi atau diulang adalah kelompok kata dan bahkan pengulangan baris secara parsial. Dengan adanya beragam repitisi dalam puisi ini, hal ini menjadi kekhasan bahasa yang digunakan oleh sang penulis dalam merangkaikan jalan cerita dalam buku puisi Kamerad Léningrad.
Selain kepiawaian sang penulis dalam menggunakan repetisi, melalui karya ini juga tampak kepiawaian sang penulis dalam memainkan kata untuk mempertegas makna. Melalui permainan fonem yang dilakukan, walaupun tampak sederhana, tetapi mampu memberikan kesan yang berbeda kepada pembaca dari makna yang ditimbulkannya. Contohnya sebagai berikut: dundunin, dandanin; makrisikan, makrésékan, makrosokan. Demikian pula halnya pada rima akhir puisi yang diatur dan ditata sedemikian rupa sehingga menambah keindahan atau nilai estetika puisi dalam buku ini.
Kesan yang berbeda sebagai akibat penataan bahasa yang dilakukan dalam puisi ini tampak pula dengan adanya larik-larik aktif dan pasif yang senantiasa disandingkan dengan fokus subjek tetap pada idéwa (Méi Hwa). Contohnya sebagai berikut: ”idéwa ngenyemin tiang, idéwa kenyemin tiang”, idéwa nyigit tiang, idéwa sigit tiang”, ”idéwa dandan tiang, idéwa nandan tiang”.
Bentuk aktif dan pasif yang disandingkan seperti itu memberikan unsur estetika yang mendalam dan penguatan makna kepada pembaca tentang penggambaran perilaku resiprokal (timbal balik), yakni saling senyum, saling cubit, dan saling berpegangan tangan. Hal ini semakin menguatkan kita bahwa belajar sastra bukan hanya belajar tentang unsur-unsur kesastraan, tetapi juga belajar bahasa. Dengan demikian, sesungguhnya buku-buku sastra yang seperti ini berpotensi besar digunakan dalam pembelajaran bahasa yang mestinya disandingkan dengan pembelajaran sastra. Bahasa yang dipelajari akan lebih hidup dan kontekstual.
Kekuatan puisi ini juga terletak pada gaya pencitraan yang ditampilkan dalam tiap larik-larik puisi ini. Citraan dalam puisi merupakan kesan-kesan yang dimunculkan dari tiap-tiap baris dalam puisi yang bisa dirasakan oleh panca indera. Beragam citraan yang terdapat dalam buku puisi Kamerad Léningrad di antaranya adalah citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan penciuman, dan citraan perabaan.
Melalui beragam citraan tersebut pembaca seolah-olah secara langsung dapat melihat/menyaksikan kegetiran pembantaian yang terjadi, mendengar kegaduhan dan keriuhan yang mewarnai hari-hari rakyat, mencium aroma-aroma darah yang menetes, dan perasaan-perasaan lainnya. Dengan kekuatan citraan yang ditampilkan oleh sang penulis buku puisi Kamerad Léningrad ini seolah-olah semuanya tampak nyata, imajinasi pembaca menjadi semakin hidup dengan irama jantung yang berdetak kencang sambil sesekali menghela nafas panjang ketika mengikuti alur bait demi bait puisi ini.
Buku puisi Kamerad Léningrad ini mengandung unsur feminisme. Dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita. Kritik sastra feminis bukan berarti pengkritik wanita atau kritik tentang wanita atau kritik tentang pengarang wanita; tetapi arti sederhana yang dikandung adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan.
Membaca sebagai wanita berarti membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patrialkal, yang sampai sekarang masih menguasai penulisan dan pembacaan sastra. Perbedaan jenis kelamin pada diri penyair, pembaca, unsur karya dan faktor luar itulah yang memengaruhi situasi sistem komunikasi sastra.
Feminisme sastra jelas tampak pada puisi yang berjudul Méi Hwa. Méi Hwa dan tokoh-tokoh wanita lainnya yang menjadi sentral dalam puisi tersebut diceritakan mengalami penindasan, pembantaian, dan bahkan pemerkosaan. Méi Hwa memberikan kesan ketidakberdayaan seorang wanita. Demi mempertahankan kehormatan dan harga dirinya sebagai seorang wanita, dia (wanita) rela mengorbankan nyawanya atau mengakhiri hidupnya. Hal ini diungkapkan pada baris berikut: ”buin maninné Méi Hwa, buin maninné, dingeh tiang gatra, idéwa némbak raga dibi sanjané, satondén kaparikosa”.
Karya sastra-karya sastra yang mengungkap tentang sejarah tidak hanya ada di dalam negeri, tetapi hal serupa juga ada di luar negeri, seperti pada novel Arab yang berjudul Memory in the Flesh. Youssef (2018) yang mengkaji novel tersebut dalam artikelnya yang berjudul The Embodiment of Algerian Trauma as Injury in Literature and Film: Two Female Voices from Memory in the Flesh and Rachida mengungkapkan bahwa tubuh sebagai situs/catatan trauma dan pengasingan merupakan sebuah kerugian secara nasional dan individual.
Melalui tubuh pria dan wanita yang rusak atau luka yang membekas di tubuh mereka, karya-karya ini menunjukkan efek disintegrasi perang sipil Aljazair. Hal itu semakin membuktikan bahwa tema-tema sejarah masih menjadi daya tarik tersendiri sebagai tema sentral dalam penciptaan karya sastra. Hal itu serupa dengan buku puisi Kamerad Léningrad ini yang mengisahkan tentang tragedi dan reformasi yang dirajut ke dalam sebuah puisi.[T]