Kasus kekerasan seksual terhadap anak (siswa) merupakan kasus yang menjadi sorotan akhir-akhir ini karena ada kecenderungan kasus kekerasan seksual mengalami peningkatan. Kasus terbaru yang terungkap terjadi di Jawa Barat dan Jawa Tengah yakni Bandung, Tasikmalaya, dan Cilacap.Pimpinan salah satu yayasan pesantren di Kota Bandung, diduga bertindak cabul terhadap belasan santri sejak 2016. Beberapa santri bahkan sampai melahirkan. Pimpinan pesantren tersebut diduga melakukan kekresan seksual terhadap 14 orang santri dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Dengan kejadian itu, rasa aman anak terancam meskipun perlindungan anak terhadap kekerasan seksual telah diatur dalam pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 76E tersebut dinyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Pelaku pencabulan terhadap anak dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 82 ayat (1) junto Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pelaku dipidana berupa pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
Kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak saja diselesaikan dari segi hukum tetapi dilakukan pengawasan terhadap anak baik di rumah, di masyararakat, dan di sekolah sehingga celah kemungkinan untuk terjadinya kekerasan seksual terhadap anak tidak ada.
Ketika anak berada di rumah, setiap anggota keluarga berperan melakukan pengawasan sehingga kekerasan seksual tidak terjadi. Komunikasi antar keluarga dibangun dengan harmoni apabila ada indikasi pelecehan seksual terhadap anggota keluarga, lebih awal diketahui. Dengan langkah itu, anak mendapat perlindungan dan rasa aman di lingkungan keluarga.
Rasa aman di sekolah juga harus terjamin. Warga sekolah berkewajiban memberikan jaminan keamanan kepada anak. Kepala sekolah sebagai pimpinan sekolah memberi tanggung jawab kepada setiap guru untuk mengawasi siswa sehingga kekerasan seksual terhadap siswa tidak terjadi. Peran guru bimbingan konseling (BK) dalam usaha antisipasi adanya kekerasan seksual sangat vital. Siswa dapat mengadukan setiap indikasi pelecehan seksual kepada guru BK. Guru BK hendaknya melaksanakan tugas dengan teknik jemput bola. Jangan hanya melakukan tugasnya setelah ada laporan dari siswa.
Disamping peran guru BK, warga sekolah seperti wali kelas, guru, dan pegawai turut serta melakukan pengawasan terhadap siswa sehingga kekerasan seksual terhadap siswa dapat terhindarkan. Komunikasi antar warga sekolah perlu ditingkatkan. Wali kelas atau guru apabila menemukan perubahan tingkah laku siswa, wali kelas dan guru diharapkan melakukan komunikasi secara personal kepada siswa tersebut sehingga siswa tersebut mau berterus terang menyampaikan permasalahannya.
Langkah antisipasi tentu merupakan langkah terbaik dilakukan. Apabila kasus kekerasan seksual telah terjadi tentu kejadian itu berdampak pada psikologis anak (siswa). Dampak psikologis, antara lain menurunnya harga diri, menurunnya kepercayaan diri, depresi, dan kecemasan. Awasi anak (siswa) di setiap lingkungannya. Jauhkan anak (siswa) dari predator seksual yang dapat menghancurkan masa depan anak (siswa). [T]