Rangkaian bencana datang silih berganti di negeri ini. Di negeri yang berada di wilayah cincin api, gempa sering terjadi yang diikuti letusan gunung berapi. Demikian pula bencana hidrologi: banjir, longsor dan aneka rupa bencana hidrologi lainnya. Tsunami, rob dan sejenisnya di negeri maritim yang panjang garis pantainya membujur dari Barat ke Timur berjarak ribuan kilometer
Manajemen mitigasi gempa terus diperbarui: proyeksi terjadi potensi bencana alam, Badan Penanggulangan Bencana Pusat dan Daerah yang terus berbenah dalam menangani potensi krisis dan krisis, penyediaan sumber daya yang memadai dalam mengelola potensi krisis dan krisis.
Pada sisinya yang lain, ke depan diperlukan upaya bersama berbenah diri, untuk mengurangi risiko bencana (sebatas dalam kendali prilaku manusia), menyebut beberapa di antaranya, pertama, kita tidak bisa lagi semena-mena pada alam, tanah tidak bisa lagi dianggap sebagai komoditas ekonomi yang begitu mudah diperjual-belikan dengan mengabaikan fungsi sosialnya.
Kedua, kepemimpinan publik, terlebih-lebih yang menyangkut SDA, menyangkut hajat hidup orang banyak, yang diatur secara tegas dalam konstitusi, lebih rendah hati dalam merumuskan kebijakan publik, tidak mentang-mentang berkuasa, adigung adi kuasa, yang merusak alam, dan mewariskan kerusakan alam bagi generasi berikutnya.
Ketiga, krisis kehidupan yang dibawakan oleh krisis perubahan iklim, begitu nyata di hadapan kita: bencana hidrologi dan sejenisnya, naiknya permukaan air laut yang berdampak pada kehidupan masyarakat pesisir yang umumnya kaum nelayan miskin, produktivitas pertanian yang merosot, memerlukan kebijakan yang sangat serius dalam mengendalikan perubahan iklim dengan perspektif jangka panjang, tidak sebatas kebijakan lips service, yang sebetulnya banyak memberikan konsesi, kemudahan bagi segelintir elite oligarki ekonomi.
Keempat, dalam sejarah kepemimpinan bumi Nusantara, terutama di Jawa dan Bali, sebut saja era kepemimpinan Raja Sindok yang bergelar Cri Isyana Wikrama Dama Tungga Dewa , yang memindahkan kerajaannya Mataram Satu Hindu, akibat meletusnya Gunung Merapi dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, ke seputar Lumajang – Singhasari Malang, raja besar Bali Cri Aji Jaya Pangus di Era Bali Mula, raja besar Prabu Erlangga di Jawa Timur, rangkaian bencana, direspons dengan laku Tapa – Brata, pengendalian diri ketat mendekatkan diri dengan Tuhan, menjadi Jagra, Tercerahkan, melakukan upakara besar merujuk Asta Dasa Parwa, yang bermakna pengendalian krisis dan menyongsong era baru menuju kemakmuran.
Waktu yang dimiliki untuk berbenah diri tidak terlalu banyak, mengingat begitu besarnya potensi bencana alam, tetapi rintisan merubah prilaku, way of life terhadap alam, tetap penting, lebih baik terlambat dari pada tidak berbuat sama sekali. Di sini arti penting kepemimpinan yang mensejarah, laku kepemimpinan dengan perbuatan dan kemudian prestasi besar yang mampu mengatasi tantangan zamannya. [T]