Kali pertama saya datang ke Festival Seni Bali Jani III (FSBJ III) yang diadakan di Art Centre, Taman Budaya Denpasar, saya langsung menuju lokasi Bursa Buku. Tempatnya cukup jauh dari lokasi utama FSBJ III di Gedung Ksirarnawa. Dalam acara seperti ini, pasti buku-buku yang bertemakan Bali sangat mudah didapatkan. Terbukti, saya langsung memboyong empat buku yang erat kaitannya dengan Bali. Salah satunya adalah novel yang berjudul “Luh”.
“Luh” merupakan novel karya Ktut Sugiartha—seseorang yang sudah aktif menulis sejak tahun 1978, banyak karya yang sudah ia lahirkan beragam penghargaan pula sudah ia rengkuh. Salah satunya adalah anugerah sastra “Gerip Maurip” pada tahun 2017 dari Pustaka Ekspresi untuk naskah Surat Uli Amsterdam.
Novel “Luh” merupakan terbitan dari Pustaka Ekspresi pada April 2019. Buku setebal xii + 108 halaman ini mengangkat tema yang lekat dengan Bali. Seperti budaya dan adat istiadatnya. Hal yang membuat novel ini berbeda adalah penulis mengangkat kisah peralihan kehidupan tokoh dari dunia satu ke dunia yang jauh berbeda. Hal yang juga kerap dialami beberapa orang Bali yang “dipilih” oleh leluhurnya.
Dalam novel ini, penulis juga ingin menyampaikan bahwa seorang penulis laki-laki bisa menuliskan sebuah cerita dengan menggunakan tokoh utama seorang perempuan—tidak hanya seorang perempuan, tetapi cerita ini diwarnai dengan banyak tokoh perempuan, sekaligus tokoh yang dapat menentukan konflik selanjutnya.
Perempuan Adalah Mahluk yang Tangguh
Kerap kali perempuan diidentikkan dengan mahluk yang lemah. Tidak bisa berbuat apa-apa jika tanpa laki-laki. Hal ini bisa dilacak di berbagai karya sastra—baik sastra Bali maupun sastra Indonesia. Peran laki-laki juga sering kali mensubordinasi peran seorang perempuan, sehingga tidak heran laki-laki selalu mendominasi jalannya cerita. Hal serupa juga bisa kita jumpai dalam novel ini, seperti kutipan tersebut :
“Wanita itu mahluk yang lemah, Luh. Tak mungkin Luh ingkari itu. Jauh dari rumah sangat riskan buatmu.” (hal. 29)
Meski demikian, penulis mampu membalikkan narasi tersebut dengan menggambarkan berbagai ketangguhan dari tokoh-tokoh perempuannya. Hal ini bisa kita lihat dalam beberapa kutipan berikut :
“Dengan sepotong kalimat itu saja pasti ia sudah tahu apa yang harus kulakukan sesampainya di rumah, yakni membuat ratusan canang sari, sesaji kecil berbentuk bulat yang kami buat dari janur, pelbagai jenis kembang dan lain-lain. Dari hasil penjualan sesaji inilah kami sekeluarga menopang hidup sejak Ayah meninggal.” (hal. 3)
“Mereka adalah anak-anak perempuan umur belasan tahun yang tahu sedikit bahasa Inggris pasaran tetapi begitu agresif menawarkan jasa untuk memandu para wisman berbelanja.” (hal. 11
“Dalam kelompok diskusi, tak usah diragukan, ia pasti menjadi bintang. Ia begitu piawai memainkan kata-kata dan selalu punya gagasan yang segar sehingga anggota kelompok diskusi sangat menaruh minat.” (hal. 23)
Tiga kutipan di atas menunjukkan bahwa peran perempuan dalam cerita ini sangatlah dominan. Bagaimana seorang Luh dan Ibunya mampu bertahan hidup dengan mengandalkan kemampuan mereka dalam membuat segala sarana upakara umat Hindu Bali. Tidak hanya berhenti di sana, perempuan-perempuan Bali pun oleh Ktut Sugiartha ditunjukkan sangat gigih dalam menghidupi diri dan keluarganya. Memiliki ambisi untuk mencapai tujuan hidupnya, itu bisa kita lihat dari tokoh Luh dan sahabatnya Reni.
Dalam novel “Luh”, penulis tidak memposisikan seorang perempuan hanya sebagai objek saja, melainkan perempuan menjadi pemeran utama—penentu jalannya cerita secara keseluruhan. Laki-laki seolah hanya sebagai pemanis cerita saja, meski dalam cerita ini laki-laki juga cukup memiliki peran dalam mengguncangkan hati Luh si tokoh utama. Hal ini bisa dilihat dari kutipan berikut :
“Aku merasa gamang. Kendati telah kusiapkan diri untuk menerima kenyataan yang paling buruk, toh aku terguncang juga mendengar ucapannya.” (hal. 30)
“Cepat aku mencegat taksi yang sedang meluncur di jalan raya. Tak kuasa lagi aku membendung air mataku. Hatiku begitu sakit, serasa ada sembilu yang menyayat. Aku tak habis pikir kenapa aku harus mengalami nasib seperti ini. Masih untung memang, karena tak sampai terjadi hal-hal yang tidak kuinginkan. Tetapi, kenapa aku mesti mengalami kepedihan seperti ini? Adakah ini isyarat bahwa aku pernah berbuat kesalahan di masa lalu dalam hidupku ini, atau bahkan dalam kehidupanku terdahulu sebelum aku terlahir sebagai Luh?” (hal. 55)
Adat Istiadat Bali dari Kaca Mata Seorang Luh
Bali terkenal seantero negeri lewat keindahan dan keunikan budaya, adat, dan tradisinya. Jika pandemi Covid-19 tidak menyerang, saya jamin Bali masih menjadi destinasi utama bagi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Melalui novel ini, penulis ingin menyuguhkan sedikit sisi gelap dari kehidupan warganya. Bagaimana warganya bertahan hidup di tengah hingar bingar pulau Dewata. Penulis mencoba menyampaikan kegundahannya tentang budaya, adat, dan tradisi yang berjalan di Bali. Argumen-argumen tersebut bisa dilihat dalam kutipan berikut :
“Zaman telah berubah. Kaum Wanita kini tak lagi puas hanya menjadi ibu rumah tangga. Bekerja di luar rumah telah menjadi kebutuhan karena semakin tingginya tuntutan hidup. Tuntutan untuk menyekolahkan anak-anak sampai tuntas, biar kelak bisa tampil sebagai sumber daya manusia yang siap bersaing di zaman globalisasi. Tuntutan untuk bersosialisasi yang makin beragam bentuk kegiatannya. Akibatnya, ada sebagian kegiatan yang tak lagi dapat ditangani. Ya seperti membuat canang sari, misalnya. Sehingga tak dapat dibendung, benda sakral ini kini menjadi barang dagangan, diperjual-belikan seperti yang kulakukan saat ini.” (hal. 9-10)
“Kubayangkan bagaimana nanti kalau ia meninggal. Sebagai istri orang seperti Ngurah aku pasti tak boleh ikut memandikan mayatnya apalagi menyembayanginya. Aku tahu ini suatu kekeliruan besar. Penyimpangan dari ajaran agama, tetapi adat terkadang terlampau kuat untuk dapat dikoreksi, karena banyak orang yang tidak dapat membedakan tradisi dengan agama. Apa yang sudah mapan dianggap sebagai ajaran yang patut diikuti, padahal itu hanyalah nilai yang diwarisi turun-menurun, yang mungkin dicetuskan oleh orang yang berkuasa saat itu.” (hal. 94)
Sejak individu lahir sebagai seorang Hindu di Bali, maka individu tersebut akan terikat dengan adat istiadat. Adat menjadi sebuah aturan main bagi masyarakat Bali. Aturan yang sangat dihindari untuk dilanggar, bahkan sekali saja. Adat seolah-olah menjadi sebuah aturan yang maha benar, hal ini bisa dilihat hari ini dengan berbagai penguatan yang dilakukan oleh pemerintah guna menguatkan posisi adat di mata masyarakat Bali. Bahkan ada celetukan “masyarakat Bali lebih takut akan hukum adat tinimbang hukum positif”. Hal ini tentu dikarenakan hukum adat memiliki konsekuensi yang lebih dalam dampaknya bagi masyarakat Bali—hal ini bisa banyak dilihat pada esai-esai dari Gde Aryantha Soethama.
Sebagai seorang pembaca, saya sendiri melihat ada beberapa bagian yang sekiranya harus disoroti dalam buku ini. Misalnya kesalahan ketik yang cukup banyak ditemui dalam novel ini. Meski kesannya sederhana, hanya saja kesalahan ketik cukup mengganggu “kenyamanan” membaca. Selain itu, penulis sepertinya sengaja mempersingkat cerita di beberapa bagian. Hal itu bisa kita lihat pada scene saat Luh dan Reni akan melakoni tes wawancara menjadi pramugari (hal. 23). Loncatan tersebut membuat cerita terlihat tidak utuh atau hanya sekadar tempelan saja. Hal tersebut juga bisa kita lihat di beberapa bagian dalam cerita ini.
Tidak berhenti sampai di sana. Cerita ini menggunakan sudut pandang orang pertama dengan Luh sebagai tokoh utamanya. Kelebihan sudut pandang orang pertama adalah memberikan keleluasaan bagi penulis untuk menggali lebih dalam suasana hati si tokoh utama. Namun di balik kelebihan tersebut tentu ada kekurangannya. Pandangannya tentu tidak leluasa dan cenderung terbatas, hal tersebut nampaknya menjadi kurang diperhatikan dalam cerita ini. Hal tersebut bisa dilihat dari kutipan tersebut :
“Dua ekor kelelawar tiba-tiba melintas di dekat pohon mangga di halaman. Mereka berkejar-kejaran. Suara kepak sayap mereka memecah keheningan malam.” (hal. 77)
Ungkapan tersebut terasa cukup janggal. Seorang manusia memiliki keterbatasan dalam hal jangkauan pandangan. Dalam situasi tersebut, adalah hal sulit bagi Luh yang sedang berada di ruangan bersama Ibu Suciani untuk bisa melihat dua ekor kelelawar yang melintas di pohon mangga yang berada di halaman. Sehingga ungkapan tersebut cukup sulit untuk dibayangkan bisa dilakukan oleh seseorang. Berangkat dari itu, penting bagi penulis untuk menakar logika dalam alur cerita yang dibuat. [T]