Teater Mini……Drama Klasik……Teater Mini……. Drama Klasik….. (dibaca dengan berjeda). Begitulah kiranya saya mengorek informasi yang mengendap di kepala,. Berulang kali saya ucapkan, berulang kali pula saya kebingungan. Sebab saya lahir jauh setelah masa jaya Teater Mini lewat Drama Klasiknya. Saat itu Drama Klasik menjadi tontonan wajib di masa muda ayah dan paman saya, sekitar tahun 1980an.
Makanya saat nonton Pementasan Teater Mini – Drama Klasik berjudul Korban pada Rabu, 3 November 2021, di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya, Provinsi .Bali, saya menyiapkan diri sesadar-sadarnya. seutuh-utuhnya, dengan kesadaran bahwa kelompok teater tersebut, ialah para tetua-tetua yang dulunya berjuang atas nama kesenian modern, pada zamannya.
Beberapa kali nama Teater Mini, sempat terlintas pada obrolan pertemuan dengan penggiat teater. Juga nama ini saya jumpai pada pagelaran PKB, tapi saya tidak menaruh perhatian terlalu serius waktu itu.
Namun saat Paman saya, seorang koki di sebuah hotel di Sanur menyinggung nama Teater Mini dan sejumlah nomor Drama Klasiknya pada satu pertemuan kami di Banjar. Saya mulai curiga, biasanya wacana teater itu jarang menyentuh orang awam, nah ini Paman saya yang notabene bukan orang seni, kok mengetahui nama teater Mini.
“Saat itu masih TV hitam putih, pada jam dan hari yang sama, Paman dan keluarga pasti menonton Drama Klasik yang mereka mainkan. Itu jadi hiburan utama, dan semua orang menanti kisah kelanjutannya setiap minggu” ujar paman saya.
Ia melanjutkan kisah, yang ia selalu ingat ialah nomor Layon Sari dan Jaya Prana. Semua orang membicarakan kisahnya, di warung kopi, di pasar, di kantor, di banjar dan jadi trending topik jika ia berjumpa teman-temannya. Dengan bekal mitos itulah saya menilik pertunjukan Teater Mini sebagai saksi narasi besar teater modern di Bali.
Pertunjukan Teater Mini Di Bali Jani Festival, mengisahkan tentang marahnya seorang Penghuni Pohon besar, Karena Raja Chandraloka dan istrinya bersenggama di hutan. Raja Chandraloka yang hendak kembali ke istana dari perjalanan Anjangsana, terpaksa harus bermalam di sebuah hutan. Nah saat bermalam itulah raja dan permaisurinya bercinta di tengah gelapnya hutan.
Kemarahan sang penghuni pohon, meminta nyawa sang raja sebagai gantinya. Namun para patih dan permaisuri keberatan atas kehendak itu. Akhirnya penghuni hutan meminta ganti nyawa, seorang anak muda dari kaum Brahmana yang ketika dipenggal nanti disaksikan oleh kedua orang tuanya. Yang memenggalpun haruslah tangan sang Raja.
Bingunglah para patih dan raja mencari jalan keluar, hingga mereka menemukan suatu solusi, yaitu mengadakan sayembara. Siapa anak muda yang tulus ikhlas menyerahkan nyawa dan telah mendapat restu dari kedua orangtuanya. Ia akan mendapatkan hadiah berupa patung emas berbentuk manusia dewasa, serta tanah yang luasnya 10 desa.
Di sinilah terjadi konflik keluarga dari pemuda bernama Suarnabawa, ketika ia hendak mendaftarkan diri namun juga harus mendapat restu kedua orang tuanya. Awalnya orang tua tidak mengizinkan, namun setelah mendapatkan penjelasan dari sang anak, bahwa perbuatannya ialah untuk negara serta rasa baktinya kepada kedua orang tua. Alhasil orang tua Suarnabawa pun menyetujui keinginan sang anak.
Usai menonton pertunjukan, saya rindu memainkan naskah-naskah teater realis, dengan takaran emosi serta intonasi khasnya. Sebab pementasan tersebut hampr penuh menggunakan bahasa, dialog, serta paparan-paparan yang panjang dalam menyampaikan gagasan adegan. Metafor yang digunakan juga khas Bali, tidak jauh dari konteks zamannya.
Namun mungkin saja karena terbiasa dengan logika film, perpanjangan teks tersebut belum mampu menyokong logika panggung secara klop dalam waktu 60 menit. Semisal, saya selalu bertanya orang tua yang seperti apa yang mampu melepaskan nyawa anak kandungannya bahkan kejadiannya ia saksikan di depan mata kepalanya sendiri?. Konflik sebenarnya terjadi pada keluarga kecil tersebut pertimbangan antara keberuntungan dan kebuntungan. Justru silau karena adegan percakapan yang panjang di dalam puri sendiri.
Membicarakan kejanian pementasan Teater Mini, mereka juga menyampaikan visual melalui tubuh, kostum, serta tata lampu yang mumpuni. Visual tubuh ini, saya cermati pada pemain-pemain latar yang bertugas menjadi pohon dan orang-orang desa yang gembira. Jika berkenan mungkin saja penari latar yang berperan sebagai pohon itu dihadirkan melalui hologram, atau video mapping yang mutakhir. Pasti, rasa Jani itu lebih kental hadir di panggung, seperti pementasan Teater Koma beberapa tahun terakhir yang betul-betul seluruh menggunakan teknologi mapping untuk latar suasana adegannya. Dari sisi kostum, saya melihat “Bali Kini”, yang sering hadir pada pementasan-pementasan drama kolosal waktu PKB dan saat parade ogoh-ogoh pada upacara pengerupukan.
Tapi terlepas dari pernak-pernik “kini” yang saya bicarakan, Teater Mini hadir sebagai ruang nostalgia para penikmatnya. Kalau saya yang sebagai penonton hari ini, justru harus menilik jauh ke belakang waktu untuk mencapai kemungkinan pembacaan berbeda.
Satu pembacaan itu berupa teks pohon besar yang hadir di atas panggung. Jika dikaitkan dengan hari ini, pohon-pohon besar takut ditebang karena memiliki ritus kultus masyarakat tertentu. Bahkan jika ada proyek pembangunan pun, beberapa pohon tidak diberani ditebang karena takut kena bahaya dari penguhinya.
Dulu pohon besar mudah dijumpai, sebut saja di Jalan Veteran dan Gajah Mada – Denpasar , katanya di sana ada banyak pohon asem, besar-besar. Namun buahnya jatuh seringkali membuat pengendara terpeselet – akhirnya ditebang. Karena banyaknya warga Denpasar yang memiliki sepeda motor.
Sekarang beberapa pohon asem dapat dijumpai, terutama yang bersaput poleng. Begitu pula di setra Badung banyak pohon-pohon besar yang tetap tumbuh, gagah, menancap di tanah. Siapa berani menebang pohon di kuburan, yang dianggap sebagai rumah sementara arwah-arwah yang masih menepi di bumi ini.
Naaaah, pertanyaan dari pembacaan itu, apakah semua pohon harus memiliki penghuni terlebih dahulu, agar kita semua sadar untuk menjaganya ?
Siapa yang harus dikorbankan atau berkorban. Kepentingan siapa yang hendak didahului? [T]