Akhir Desember 1971, saya pindah dari Singaraja ke Jakarta. Beberapa bulan di Jakarta, saya kemudian menjadi mahasiswa kedinasan Akademi Dinas Perdagangan, Departemen Perdagangan, Jakarta.
Di tengah kegugupan dalam melakukan adaptasi di Ibu Kota, terus-terang saya mengalami semacam gegar budaya,, atau cultural shock (meminjam istilah penulis ternama Alvin Tofler dalam bukunya Cultural Shock).
Saya berkenalan dengan mahasiswa seangkatan yang tampilannya keren, tampaknya datang dari kalangan “the have Jakarta”, bernama Rudi, putra Aceh. Dalam perkenalan awal, Rudi cerita kakeknya Tengku Daud Sjah, pernah menjadi Gubernur Sunda Kecil di awal tahun 1950-an dan tinggal menetap di Singaraja.
Rudi dipesani oleh kakeknya. Dalam bahasa Rudi: “Luangkan waktu untuk datang ke Singaraja, kota yang nyaman untuk disinggahi, dan orang-orangnya bercirikan terbuka, cerdas dan punya kemauan keras untuk terus belajar”.
Sebagai orang Singaraja yang sedang mengalami cultural shock dan juga home sick ke Singaraja, pernyataan rekan ini begitu membekas, dan memendam rasa ingin tahu yang mendalam untuk mencari tahu jawabannya.
Sayup-sayup rasa ingin tahu ini menghilang, setelah mampu melakukan adaptasi terhadap kehidupan Ibu Kota, yang merupakan melting pot budaya dari insan-insan manusia Indonesia.
Satu dasa warsa setelah itu, sekitar awal tahun 1980-an saya berkenalan dengan Bapak Ida Bagus Oka Puniatmadja, anggota DPR RI yang sekaligus Wakil Ketua Umum PHDI dan kemudian menjadi Ketua World Hindu Parisad.
Dalam berbagai kesempatan, tidak pernah ditanya, secara spontan beliau cerita tentang keunikan dan keunggulan budaya yang dimiliki oleh orang-orang Den Bukit, sebutan lain untuk Buleleng.
Pada awalnya saya tidak menanggapi, karena saya anggap beliau sedang bernostalgia tentang kehidupan di masa remaja ketika menjadi siswa SMA Negeri Singaraja di awal tahun 1950-an.
Pernyataannya yang konsisten tentang keunggulan dari manusia Den Bukit oleh agamawan ini, saya menjadi teringat kembali dengan pernyataan rekan Rudi saat awal-awal berada di Jakarta.
Dua warsa kemudian, di awal tahun 1990-an, saya berkenalan dan kemudian bersahabat dengan ahli linguistik dan antropolog ternama Bali, Prof.I Gst. Ngurah Bagus, yang menurut pengakuan beliau banyak meneliti aspek bahasa, budaya dan mencermati sejarah Den Bukit.
Rekan senior Prof. Bagus tanpa diminta dan dalam berbagai kesempatan bercerita tentang keunggulan budaya manusia Den Bukit. Banyak orang mengetahui ilmuwan sosial ternama ini bukanlah sosok manusia yang suka basa-basi dan mudah memberikan pujian.
Dari testimoni Tengku Daud Sjah, rangkaian pernyataan Pak IB Oka Puniatmadja (nama beliau semasih walaka), uraian komprehensif dari Prof. Bagus, serta informasi dari sejumlah sumber lainnya, pernyataan Tengku Daud Sjah kepada cucunya Rudi, tentang ciri umum kepribadian orang-orang Singaraja yang berupa: terbuka, cerdas dan punya kemampuan kuat untuk belajar, bisa disebabkan oleh (tentatif) beberapa factor.
Pertama, manusia yang menghuni Den Bukit (kurang lebih 30 persen dari luas pulau Bali), adalah orang-orang yang secara sengaja menjauhi pusat kekuasaan, terutama sejak pusat pemerintahan pindah dari Gelgel ke Semarapura, orang-orang bebas, yang punya kemerdekaan dalam mengembangkan kepribadian, komunitas dan kebudayaannya.
Kalau boleh mengambil analogi (yang tidak seluruhnya pas),eksodus ini seperti sejarah eksodus orang Eropa yang pindah ke sebuah benua yang di kemudian hari menjadi negara AS.
Kedua, penyebutan nama Den Bukit (di seberang bukit, yang membentang dari Bantiran sampai Tejakula), secara kosmologi ruang Bali sudah memberikan penjelasan dengan sendirinya, self explanation, terhadap kekhasadan kultur manusia penghuninya.
Ketiga, kehidupan yang relatif lebih egaliter, melahirkan sebut saja “kenyamanan ” sosial bagi warganya untuk mengambil keputusan, keberanian mengambil risiko, berani trials and errors, mencoba dan salah, membentuk kepribadian insan-insan manusianya dan pembentukan sistem nilainya.
Kemudian timbul pertanyaan reflektif: dengan keunggulan budaya ini, termasuk di dalamnya adaptasi merespons perubahan, kenapa keunggulan budaya ini belum berkonribusi maksimal terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi dan sosial kultural warganya?
Pertanyaan itu semestinya segera dijawab oleh kalangan intelektual Den Bukit, Kabupaten Buleleng yang masih punya kepedulian. [T]