Bentuk buahnya mirip alpukat. Permukaan kulitnya seperti buah delima, tetapi teksturnya lebih keras (mirip cangkang). Jika dibelah menjadi dua bagian, maka akan terlihat biji-biji buah berjejer di sela-sela dagingnya. Bentuk dan ukurannya menyerupai biji jeruk. Namun, bijinya berserat dan dilapisi cairan lengket. Cairan lengket inilah yang digunakan sebagai lem.
Penduduk di kampung saya menyebut buah lem ini dengan nama buah bila. Tahun 80-an, ketika saya masih kecil, anak-anak biasa memanfaatkan buah bila sebagai lem kertas. Umumnya, digunakan untuk perekat kertas ketika membuat layang-layangan, membungkus kulit buku dan kerajinan yang memanfaatkan bahan dasar kertas.
Pemanfaatannya sangat mudah. Buah bila yang sudah terbelah dua, dicongkel bijinya menggunakan sebatang lidi. Lapisan lengket (dalam biji) ini dioles-oleskan secara merata pada permukaan pinggir kertas. Kemudian, kertas dilipat menggunakan ujung jari—maka sim salabim kertas melekat sangat kuat.
Namun, perlu diingat bahwa buah bila memiliki daya lengket yang bervariasi. Buah yang masih terlalu muda (warna kulitnya hijau, bijinya belum keras) memiliki daya lengket yang kurang baik. Begitu juga dengan yang sudah matang, ditandai dengan warna kuning kecoklatan, memiliki daya lengket yang kurang optimal.
Berbeda dengan buah bila yang setengah matang. Permukaan kulit buahnya berwarna hijau agak keperak-perakan atau ada variasi warna agak keputih-putihan. Dalam kondisi seperti ini, daya lengketnya tidak perlu diragukan lagi. Kuat menyamai lem kertas pabrikan pada umumnya.
Faktor daya lengket buah bila juga dipengaruhi oleh masa pemakaian. Apabila buah bila yang sudah terbelah, langsung digunakan hari itu juga, maka daya rekatnya menjadi kuat. Akan tetapi, jika dibiarkan terbuka hingga keesokan harinya, daya lengketnya menjadi berkurang (kadaluarsa). Bahkan, bisa hilang alias tidak lengket.
Untuk mendapatkan buah bila di kampung saya, gampang-gampang sulit. Pohon bila memiliki duri-duri yang tajam dan panjang (mirip duri jeruk nipis) pada seluruh permukaan cabang ranting-rantingnya. Panjang durinya bisa mencapai 3-5 cm. Hal ini menyebabkan kita mengalami kesulitan dalam memetik buahnya.
Karena itu, orang biasanya melempari buah bila dengan bongkahan batu kapur. Lemparan ini harus kuat dan bertenaga. Sebab, ujung tangkai buah melekat kuat di sela-sela ranting pohon. Alternatif lainnya, dapat menggunakan bambu galah (joan). Pantat buah bila ditonjok berulang-ulang menggunakan ujung galah.
Selain dimanfaatkan sebagai lem kertas, daging buah bila juga dapat dimakan. Khusus daging buah bila yang sudah matang. Untuk mengidentifikasikannya sangat mudah. Permukaan kulit buahnya berwarna kuning kecoklatan.
Zaman masih SD (antara tahun 80-an dan 90-an), buah bila menjadi incaran konsumsi saya dan teman-teman. Sepulang dari sekolah, kami langsung menyeruak dan berhamburan di jalanan. Berlarian seolah-olah adu kecepatan, sambil tangan kami memungut bongkahan batu kapur yang tergeletak di sekitar jalanan.
Ketika berada di bawah pohon bila, terjadinya hujan batu. Kami beradu lemparan batu. Namun, bukan sekadar lemparan yang sembarangan. Sebelum batu kami ayun tinggi-tinggi, kami harus ambil ancang-ancang mirip atlet lempar cakram/ lembing. Sementara itu, pikiran dan mata kami berkonsentrasi (penuh) pada satu titik buah yang matang.
Meskipun perut dalam kondisi kosong, lemparan harus jitu dan sekaligus penuh tenaga. Pasalnya, buah bila memiliki tangkai tebal dan kuat. Seringkali, sudah terkena hantaman batu sekali atau dua kali, tidak jua lepas dari tangkainya. Hal ini sudah biasa. Kami harus sabar untuk melemparinya lagi.
Sebelum jatuh, pantang bagi kami untuk berhenti melempar. Karena itu, kami harus menjaga power dan konsentrasi. Entah pada lemparan keberapa. Kami tidak peduli. Yang penting target kami, buah bila lepas dari tangkainya.
Jika kami berhasil menjatuhkan buah bila yang matang, maka ada senyum dan semangat kepuasan terpancar di wajah-wajah kami. Apalagi dapat menjatuhkan buah yang posisinya tinggi. “Yess…Aku berhasil menjatuhkan buah matang yang tinggi itu.” Kurang lebih begitulah kalimat yang biasa dilontarkan oleh teman yang dapat menjatuhkan buah paling tinggi.
Kalimat tersebut seperti hendak memohon apresiasi dan sekaligus hendak membusungkan dada (pamer) kepada teman-teman lain. Pada dasarnya, kami tetap memberikan apresisasi dan motivasi kepada teman yang berhasil menjatuhkan buah bila baik dalam posisi rendah, sedang atau tinggi.
Tentu kami memberikan sanjungan lebih kepada rekan yang dapat menjatuhkan buah dalam posisi paling tinggi. Bagi kami, pelemparan buah bila adalah sebuah proses permainan. Kemudian, keberhasilan menjatuhkan buah sasaran menjadi semacam poin/ skor proses edukatif. Saya pikir, skor ini lebih berharga dibandingkan dengan angka-angka raport yang teoritis.
Setelah proses pelemparan menghasilkan beberapa buah bila, kami menyantap dagingnya bersama-sama dalam suasana canda, ceria dan penuh semangat. Sebelum disantap, buah dibenturkan ke permukaan batu lempeh untuk menembus kulit bila. Di balik cangkang inilah tersembunyi tekstur daging mirip alpukat, tetapi berwarna kuning, dan rasanya manis (sedikit bercampur masam).
Daging buah bila lebih enak dimakan jika dibakar terlebih dahulu. Sambil nambus singkong, buah bila yang matang biasa dimasukkan ke dalam bara api. Tunggu beberapa menit, buah bila siap disantap dalam keadaan panas atau hangat. Sensasi manisnya terasa berbeda.
Buah bila tidak dapat dimakan oleh hewan secara mandiri. Hal ini disebabkan oleh permukaan kulitnya yang keras. Hewan dapat memakannya apabila buah matang dalam keadaan penyok/ rusak. Maksudnya, sisi permukaan kulitnya retak akibat jatuh (berbenturan) di atas batu. Dalam kondisi seperti ini, baru dapat dimakan oleh serangga, ulat dan ayam.
Buah bila juga digunakan sebagai eteh-eteh upakara (keagamaan Hindu Bali). Buahnyadijadikan pelengkap upacara tertentu di Bali. Jadi, bukan hanya bernilai skala, bila juga memiliki nilai niskala (sastra/ simbol) yang mungkin jarang diketahui oleh masyarakat NP.
Pohon bila termasuk tumbuhan liar. Kebanyakan tumbuh di bet-bet (semak-semak liar). Tumbuhan ini dapat hidup dalam segala kondisi. Tumbuhan yang tahan cuaca panas ini dapat hidup di atas tanah tebal, tipis hingga bebatuan—meskipun pada musim kemarau bila harus meranggaskan daun-daunnya.
Di samping buahnya, kayu pohon bila juga dapat digunakan terutama untuk segala macam patin (tangkai perabot). Misalnya, patin alat-alat pertanian seperti cangkul, sabit, taah, dan termasuk oga, tenggalan serta jongkrak. Bisa juga digunakan sebagai patin perabot rumah tangga antara lain: blakas, pisau, kapak dan lain sebagainya.
Ketika rumput laut mengalami kejayaan di NP, kayu bila juga dimanfaatkan sebagai patok dasar. Kayunya tidak mudah remuk jika dipukul dengan palu. Kayu bila juga cukup kuat melawan air laut. Tidak mudah lapuk seperti kayu kebanyakan.
Daunnya juga dipercaya ampuh untuk mengobati luka borok hewan ternak. Ketika sapi mengalami luka borok, maka daun bila ditumbuk halus lalu dicampur dengan pamor bubuk. Kemudian, olesi secara merata pada luka borok sapi sehari 2 kali. Luka sapi akan cepat mengering dan sembuh.
Nasib Bila
Karena kompleksitas manfaatnya, wajar saja jika pohon bila mendapatkan apresiasi oleh sekelompok masyarakat NP pada zaman dulu. Bila dijadikan nama suatu tempat. Ada tempat di NP dinamai dengan “desa” Bila. Desa dalam bahasa Bali berarti tempat.
Imajinasi saya langsung melayang ketika mendengar atau menyebut nama “desa” Bila. Saya membayangkan bahwa dulu ada banyak pohon bila di tempat itu. Atau setidaknya, pohon bila di tempat tersebut memiliki histori yang tak boleh diremehkan.
Tidak hanya nama tempat, pohon bila juga dijadikan titik penanda tempat hingga sekarang. Dulu, di Manteb, samping jalan raya utama, ujung cabang jalan perkampungan kamel menuju jumah desa Sebunibus, ada semak belukar yang didominasi oleh pohon bila.
Penduduk setempat menganggap tempat ini angker. Konon, beberapa orang pernah melihat hantu dalam beragam wujud pada malam hari. Cerita ini diceritakan berantai sehingga menimbulkan ketakutan berkelanjutan.
Ketika menyebut frasa “Sik bila to”, pikiran orang langsung tertuju pada area kerumunan pohon bila tersebut dan sekaligus terkoneksi dengan bayang-bayang ketakutan.
Lama-lamaan, titik kerumunan bila itu menjadi penanda arah tempat. Jika orang mengatakan dari Manteb, maka pasti ditanya,”Dari bila itu dekat?” Atau “Dari bila kemana?”
Begitulah. Pohon bila di Manteb itu dijadikan tonggak arah hingga sekarang. Padahal, sudah dibumihanguskan beberapa tahun yang lalu untuk keperluan pelebaran jalan. Lalu, bagaimana nasib pohon bila di NP sekarang?
Jika menyinggung soal pohon bila, apalagi berkaitan dengan memakan daging buahnya sudah tidak populer lagi sekarang. Bagi generasi muda, bila adalah cerita milik generasi lalu. Generasi gumi arig, yang menjadikan bila untuk survive.
Kini, Bila tidak menarik diperbincangkan untuk anak remaja (milenial). Pohon bila sudah kehilangan nilainya sekarang. Jangankan memakan buahnya, sekadar mengetahui pohonnya saja, orang sudah enggan.
Di tengah serbuan lem pabrikan dan meningkatnya ekonomi masyarakat NP, cairan lengketnya sudah tak menarik perhatian orang. Karena itulah mungkin, keberadaan flora ini tampak semakin minim di NP sekarang.
Faktor tak laku dan ditambah serbuan ruang pariwisata, menyebabkan pohon ini lebih banyak ditumbangkan dari permukaan tanah leluhurnya. Flora bila dibabat untuk kepentingan akses jalan, akomodasi penginapan, dan tempat makan.
Karena itu, sulit bagi pohon bila untuk merebut masa lalunya. Modal lem tak menjamin dapat merekatkan kejayaan masa lalunya dengan masa kini dan masa yang akan datang. Bila akan kehilangan lem estafet survive-nya. Ia akan menunggu bayang-bayang “ketakutan” uzur, mirip perasaan sang Lubdaka ketika memetik daunnya di malam Siwa.