Manusia dengan segala budaya dan akal budinya harus dikembangkan seoptimal mungkin karena akan semakin mengkokohkan kedudukannya di muka bumi sebagai makhluk Tuhan yang sempurna dibandingkan dengan ciptaan lainnya.
Saat ini manusia beralih menuju rentang waktu yang kontradiksional dengan fase-fase sebelumnya, yaitu fase globalisasi. Di satu sisi manusia memang dituntut untuk berkembang menuju kearah yang lebih modern, baik aspek teknologi, hukum, sosial/kesejahteraan sosial, politik, demokrasi, dan semua sistem lainnya harus disempurnakan.
Teknologi bidang informatika, kedokteran, bioteknologi, dan transportasi mengalami perkembangan yang begitu dahsyat mengatasi batas-batas ruang dan waktu. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa hasil perkembangan manusia bersifat relatif dan ambivalen. Pengaruh negatif dari globalisasi adalah euforia budaya pop, perdagangan bebas, marginalisasi kaum lemah, dan timbulnya gap relation antara si kaya dan si miskin. Hasil tersebut telah membentuk suatu budaya baru bagi masyarakat, khususnya kaum muda remaja menjadi manusia yang terjebak dalam arus budaya pop (Bujang, 2009).
Kemunculan budaya pop yang dipengaruhi oleh budaya luar (budaya Barat) seakan tidak dapat dibendung. Budaya ini memengaruhi gaya hidup kalangan remaja tanpa disadari seiring dengan perkembangan zaman yang begitu cepat berubah dan mengarah pada modernisasi.
Perubahan gaya hidup remaja yang mengarah kepada gaya hidup yang glamour semakin digandrungi oleh para remaja. Ada image di kalangan remaja apabila tidak mengikuti kehidupan yang glamour, hal itu berarti remaja tersebut tidak mengikuti perkembangan zaman. Istilah populernya “ga style itu ga zaman ” Inilah merupakan wujud dari hedonisme. Kalangan remaja menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam kehidupan.
Para remaja terjebak dalam pola hidup yang konsumtif. Mereka mengejar kepuasan materi dan mereka menganggap hal itu sebagai sebuah prestise. Kenikmatan materi sebagai tujuan hidup diagung-agungkan oleh remaja. Mereka yang terjebak dalam budaya hedonisme akan melakukan apa saja untuk memenuhi keinginannya seperti perburuan akan fashion terbaru, jam tangan merek ternama, sepatu, dan bahkan dari ujung rambut sampai ujung kaki pun tak luput menjadi saksi bisu budaya ini.
Mereka menginginkan eksistensi mereka dihargai. Mereka meyakini dengan memakai barang bermerek, menjadi anggota geng motor, dugem, clubbing, ngedrugs, orang lain akan mengakui eksistensinya. Mereka tidak menyadari kegandrungan terhadap budaya hedonisme dapat membuat remaja tercerabut pada akar budaya ketimurannya. Jika pendangkalan ini terus dibiarkan dikalangan remaja maka remaja kita akan kehilangan arah dan pijakan untuk menapaki masa remajanya.
Soedibyo (tt.:156) menyatakan masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri karena pada masa ini merupakan masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa. Selanjutnya ditegaskan bahwa remaja berada pada perkembangan yang mana sikap nilai-nilainya sedang pada tahap pembentukan dalam mengambil ideologi-ideologi tertentu. Masa transisi dari anak-anak yang tergantung menuju masa dewasa otonom, biasanya hadir fase bersifat memberontak. Untuk dapat melewati masa trasisi ini para remaja membutuhkan batuna berupa nasehat dan dukungan dari orang –orang yang berada disekelilingnya.
Hal ini perlu disadari tidak hanya oleh para remaja tetapi juga orang tua. Peran orang tua dalam hal ini sangat penting. Orang tua paling bertanggung jawab terhadap perkembangan anaknya. Orang tua dalam membesarkan anaknya hendakknya mendidik dengan baik dan tidak memanjakan anaknya dengan memenuhi kebutuhan materi meskipun orang tua tersebut memang sanggup memenuhi seluruh kebutuhan lahiriah anaknya.
Satu hal yang tidak dapat dilupakan adalah orang tua juga seyogyanya membekali anaknya dengan menanamkan nilai kehidupan sosial dan religius untuk memenuhi kebutuhan spiritual anaknya. Anak merupakan aset yang menentukan kelangsungan hidup, kualitas dan kejayaan suatu bangsa di masa mendatang. Oleh karena itu anak perlu dikondisikan agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan dididik sebaik mungkin agar di masa depan dapat menjadi generasi penerus yang berkarakter serta berkepribadian baik. Keluarga adalah lingkungan yang pertama dan utama yang dikenal anak.
Keluarga sering dikatakan sebagai primary group. Alasannya, institusi terkecil dalam masyarakat ini telah mempengaruhi perkembangan individu anggota-anggotanya, termasuk anak. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai bentuk kepribadiannya di masyarakat. Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja. Mengingat banyak hal-hal mengenai kepribadian seseorang yang dapat dirunut dari keluarga (Mardiya, 2000:10).
Akibat pengaruh globalisasi yang makin menguat di setiap aspek kehidupan, banyak bangsa-bangsa di dunia yang tidak berkarakter kehilangan jati dirinya. Tanpa disadari budaya telah mengalami pergeseran (akulturasi). Semula batas budaya barat dan timur terlihat jelas, namun sekarang ini yang terjadi budaya luar secara permisif berbaur dengan budaya lokal. Kondisi yang demikian menjadi berbahaya tatakala budaya buruk dari luar ditelan mentah-mentah oleh anak-anak dalam sebuah keluarga seperti budaya kekerasan, minum minuman keras,
Atas dasar itu orang tua yang bijaksana akan mengajak anak sejak dini untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Saat itulah pendidikan karakter diberikan. Memperkenalkan terhadap perebedaan yang ada disekelilingnya, merupakan sarana anak untuk belajar menghargai perbedaan di sekelilingnya dan mengembangkan karakter di tengah masyarakat. Pada tahap ini orang tua dapat mengajarkan niali-nilai universal seperti cara menghargai orang lain, berbuat adil pada diri sendiri dan orang lain,
Tidak kalah pentingya adalah peran sekolah. Sekolah sebagai tempat menimba pendidikan diharapkan dapat menginternalisasi nilai-nilai kehidupan kepada siswa (para remaja). Proses pembelajaran tidak hanya mentrasfer pengetahuan kepada siswa tetapi juga mentrasfer nilai-nilai sosial dan religius kepada siswa.Tidak dapat dipungkiri dan kita dapat menutup mata bahwa di sekolah-sekolah tertentu / pavorit justru sebagai tempat untuk kontestasi atau pamer kekayaan. Para siswa ingin menunjukkan jati dirinya bahwa mereka berasal dari golongan yang mapan dengan memakai perhiasan yang mahal, gonta-ganti smart phone, gonta-ganti lap top (laptop bermerek), berkendara mobil mewah. Hal itu untuk menunjukkan kepada temannya bahwa siswa tersebut adalah berasal dari masyarakat golongan ekonomi atas.
Gaya hidup hedonisme mereka tiru itu berasal dari tayangan televisi. Mereka terpengaruh oleh tayangan sinetron yang memang menyuguhkan kehidupan yang glamour. Tidak itu saja televisi juga menyuguhkan tontonan tentang kehidupan selebriti yang memang mempertontonkan kehidupannya yang bergelimang harta. Majalah-majalah remaja populer menyuguhkan informasi mengenai kehidupan para model dan bintang iklan. Semua informasi tersebut mempengaruhi pola hidup remaja dan mengarah pada pola hidup yang konsumtif.
Mengidam-idamakan kehidupan yang mapan boleh-boleh saja tetapi hal itu harus didasari oleh pemikiran yang rasional. Keinginan menjadi yang terbaik, be the best, memang hal yang bagus, akan tetapi jika selama masih diterima oleh logika. Terkait dengan budaya hedonis ini tidak kita pungkiri, mereka berlomba-lomba menjadi number one.
Hal tersebut sebenarnya dapat dikikis apabila remaja mau berpikir logis dan rasional terhadap gencarnya arus globalisasi zaman yang tidak terbendung. Remaja adalah masa dimana pemikiran logis, rasoinal dan juga realistis kadang belum begitu berkembang dengan maksimal.. Kesenangan dan kenikmatan hidup seperti yang dianut kaum hedonis memang menggiurkan. Perlawanan terhadap pola pikir publik menjadi kunci utama, sebab budaya ini (hedonisme) sudah memasyarakat. Langkah selanjutnya bagaimana kita dapat memilih dan memilah budaya tersebut sehingga para remaja tidak terjebak pada budaya hedonisme. [T]