Ada beberapa arti kata pemangku menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang masuk dalam kelas kata nomina (kata benda)
- Orang yang memangku
- Orang yang mewakili (Raja dan sebagainya)
- Pengelola
- Penyelengara (pemerintahan)
Saya tidak akan menulis tentang kamus, tapi cerita bagaimana seseorang menjadi pemangku adat di Desa Les.
Senin, 16 Agustus 2021, tepat satu hari sebelum Hari Kemerdekaan RI, saya berkunjung ke satu-satunya Jro Mangku paling senior di Desa Les, yakni Jro Mangku Pura Puseh Desa Adat Les -Penuktukan. Dengan nama walaka (nama di sebelum menjadi pemangku adat) yaitu Ketut Sentana.
Jro Mangku 78 tahun ini dengan semangat bercerita bagaimana awal menjadi pemangku. Kalau menilik ke empat arti pemangku di atas, rasanya sangat cocok diartikan Jro mangku adalah orang yang memangku tugas adat dalam proses upacara sesuai dengan kesepakatan bersama dalam sebuah tempat atau desa adat.
Masa Remaja jadi Kleder alias Kernet Truk
Sebelum menjadi Jro Mangku, ia bekerja menjadi kleder alias kernet, semacam asistan sopir truk, untuk pengiriman jeruk keprok tejakula yang tersohor itu sekitar tahun 60-an.
Ia sudah menjadi kleder sejak usia 15 tahun. Ia setia mendampingi sang sopir truk mengirim jeruk keprok tejakula ke Surabaya sampai Jakarta. Saat itu, ia jarang berada di rumah. Waktunya seakan habis di jalanan Bali-Jawa dan betapa banyak pengalaman masa remajanya.
Suatu kali truknya kecelakaan di Gilimanuk. Bertabrakan dengan mobil lain saat mengirim jeruk ke Jawa. Saking kerasnya tabrakan itu, ia dikira sudah meninggal. Tapi ia selamat, tak ada satu pun luka maupun luka gores di tubuhnya.
Namun, ketika sedang jaya-jayanya jeruk keprok tejakula, ia sempat mengalami sakit yang teramat sakit, sampai tidak bisa mengenali wajah, dan ingatan yang sangat menurun selama lima bulan. Ia dibawa dibawa ke mantra, petugas kesehatan saat itu, dan tak kunjung bisa sembuh. Akhirnya ia diajak berobat ke “orang pintar”, dan sembuh.
“Ngiring” Menjadi Jro Mangku
Pada tahun 1966, ia ngiring menjadi Jro Mangku melalui beberapa prosesi upacara kepemangkuan. Di awali dengan proses mewinten, yakni rangkaian upacara pembersihan diri untuk menjadi pemangku, di sanggah kemulan di rumahnya, di sanggah rerod di areal pura keluarga kecil, di sanggah kawitan di Pura Ibu atau pura asal, dan terakhir di pura di mana ia akan memangku tugas upacara yaitu di Pura Puseh.
Jro mangku menuturkan, proses awal dikenal dengan sebutan mepejati, yakni memberitahukan tujuan, termasuk ke seluruh pura -pura di Desa Les. Selanjutnya ia makemit dan berpuasa di sanggah kemulan selama 3 hari.
Saat upacara piodalan di Pura Puseh kembali ia makemit selama tiga hari. Sisi yang menarik dalam rangkaian tiga hari makemit adalah terjadinya proses alami pengetahuan tentang banten, sesapaan (sesontengan). Tak disadari ia tidak pernah meninggalkan area pura. Dan pengetahuan itu seakan menyusup dengan sendirinya dalam dirinya.
Itulah tapa brata alami, tanpa ada keinginan untuk buang air kecil ataupun air besar sekali pun. Di hari terakhir disebut macan karma (ngelebarang pekemitan), yakni rangkaian terakhir dari proses pengesahan sebagai Jro Mangku. Upacara terakhir itu dilaksanakan di Pura Segara.
Piranti Pemangku di Desa Les Beda dengan Desa Lain
Piranti pemangku itu adalah alat yang biasa dibgunakan saat memimpin ritual atau kelengkapan yang digunakan untuk menjalankan upacara.
Jika di desa-desa adat lain biasanya pemangku menggunakan genta sebagai salah satu sarana untuk memimpin dan mengantarkan upacara, di Desa Les tampaknya berbeda.
Pemangku di Desa Les menggunakan sarana yang disebut penyungsung dan pebuat. Penyungsung adalah sebuah wdah yang berisi banyak unsur (pedagingan). Untuk penyungsung yang ukuran besar berisi alas berupa daun pisang, benang banten, beras secukupnya, nyuh puh (kelapa ukuran kecil), pis bolong (uang kepeng cina) yang berjumlah (sepee satus) atau 1800 keping atau satak pang sia yang berarti 200 dikalikan sembilan. Ada juga perak (satu ringgit), dan kalau tidak perak bisa diganti dengan uang kepeng (pis bolong) setara siu (satak pang lima) atau 1000 keping.
Dan bagian yang tak terpisahkan dari penyungsung, yaitu dikenal dengan nama pebuat, adalah sebuah wadah suci berisi 225 (satak selae) keping uang kepeng.
Saat memimpin upacara, Jro Mangku akan membawa penyungsung dan pebuat itu. Penyungsung diletakkan paling depan di antara banten dan sarana lainnya, dan pebuat dipegang saat mengujarkan mantera, seperti memegang genta sebagaimana dilakukan pemangku di daerah lain.
Menurut Jro Mangku, tata cara di Desa Les memang berbeda dengan di daerah lain. Tiap desa mempunyai dresta yang akan membuat alang (pakem). Mantera yang digunakan di Desa Les adalah sesontengan, yakni pengantar mantra dengan bahasa Bali lokal) atau biasa disebut mesehe.
Mengabdi Sampai Tua
Jro Mangku mengabdikan hidupnya sebagai pemangku sampai tua. Ia berpasangan hidup dengan istrinya, Ketut Sihana (75 tahun) yang biasa dipanggil Wa Mangku, mempunyai 5 orang anak.
Baginya, menjalani kehidupan sebagai pemangku adalah keharusan tapi bukan keterpaksaan. Dengan keterbatasan ekonomi, dan usia yang telah senja, ia tetap menjalani takdirnya menjadi pelayan masayatakat adat.
Jikalau ada warga yang meminta untuk memimpin upacara, Jro Mangku Puseh dibonceng oleh putra lelakinya ke tempat upacara. Dan berkah yang diberikan berupa sesari (beruapa uang) dan praekayuan, yakni materi yang digunakan dalam banten seperti macam-macam buah. Dan itu menjadi berkah yang dijadikan konsumsi pribadi oleh pasangan Jro dan Wa Mangku. [T[