Luka bukan hanya bagian kehidupan yang mesti dilupakan. Luka juga punya sesuatu yang layak untuk dirayakan. Dalam konteks ini, tari boleh jadi merupakan suatu ekspresi pertemuan tubuh manusia untuk merayakan luka. Sebagaimana yang hadir pada pagelaran Gandrung yang dipentaskan oleh Sekaa Padma Sandhi serangkaian Pesta Kesenian Bali, Selasa 22 Juni 2021.
Pada hentak rindik gegandrangan, para pengibing gandrung datang silih berganti. Alih-alih saling beradu goyang, penari gandrung dan pengibing justru seperti tengah mengadu luka. Mereka menari. Senyum penari baur pada masing-masing wajah yang tertutup faceshield. Tak ada colak-colek menggoda, silat tangkis menghindari sentuhan atau serangkaian gerak improvisasi lain yang kerap muncul, manakala kotekan tabuh kian panas menyulut pentas.
Di atas panggung Ksirarnawa Art Centre Denpasar itu, penari gandrung dan pengibing melenggak-lenggokan tubuh mereka dengan sukacita, dengan sederhana, dengan hati-hati. Gandrung yang notabene begitu lekat dengan pola interaksi langsung antarpemain dan penontonnya, tampak mengalami penyesuaian dengan segala protokol kesehatan yang cukup ketat membayangi pertunjukan.
Pada kostum putih Gandrung Petak, narasi kesucian dan ketulusan tumbuh liat gemulai. Sementara pada kostum merah Gandrung Bang, narasi keberanian menguar dalam tangkas gerak penari. Kelindan merah-putih, keberanian-kesucian yang tertuang dalam pertunjukan seolah ingin mengingatkan masyarakat perihal semangat kebangsaan yang mesti diperkuat di tengah situasi pandemi yang melanda. Sebab luka pandemi tak hanya milik perorangan, sebaliknya, pandemi adalah luka bangsa, luka kita semua.
Demikianlah Sekaa Padma Sandhi mengungkap narasi pertunjukan mereka dalam merespon ‘Jiwa Paripurna Napas Pohon dan Kehidupan’ sebagai tema besar PKB 2021.
Pemuliaan manusia kepada alam tertaut melalui bingkai tarian Gandrung. Tari ini sendiri sebenarnya mempunyai sejarah yang cukup panjang berkenaan dengan alam, luka dan hubungan dengan semangat kebangsaan. Gandrung adalah tari penghubung antara kebudayaan Banyuwangi, Bali dan Lombok.
Di Lombok, Gandrung mengalami proses adaptasi melalui pakem-pakem Gandrung Bali yang banyak menirukan gerak alam seperti binatang dan pepohonan. Di Banyuwangi tempat asalnya, narasi Gandrung tersusun atas serangkaian luka mulai dari perang Blambangan, penjajahan Belanda, tragedi 65 hingga stigma yang dilekatkan pada laki-laki penari Gandrung oleh sejumlah pihak yang membuat posisi tari ini kerap termarjinalkan.
Meski tak sepopuler di Banyuwangi, Gandrung Bali pun sesungguhnya juga begitu lekat dengan luka. Beberapa kisah perihal Gandrung kerap menghadirkan narasi kematian warga seperti yang terjadi di Banjar Suwung Batan Kendal Denpasar atau di Desa Batu Kandik Nusa Penida. Uniknya, semua cerita dilatari oleh wabah penyakit. Pada situasi tersebut, Gandrung memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat pengemponnya. Melalui mediasi penari laki-laki yang belum menginjak dewasa, Gandrung dipercaya sebagai tarian sakral menetralisir serangan wabah penyakit yang melanda masyarakat.
Begitu kuatnya narasi Gandrung dalam konteks wabah, sayangnya, dalam pargelaran yang berlangsung hampir 1,5 jam ini, narasi atas Gandrung tak benar-benar didedah secara lebih mendalam. Ketimbang mengeksplorasi kemungkinan sejarah sosial di balik Gandrung dan menautkannya dalam konteks hari ini, fokus pertunjukan justru diperlebar dengan menampilkan tari Pendet sebagai tari pembuka, dilanjutkan dengan Jauk Keras dan Condong, kemudian puncaknya adalah penampilan Gandrung Petak dan Gandrung Bang.
Hal ini membuat Gandrung tergelincir pada pertunjukan kebanyakan, dimana tari mengalami komodifikasi bentuk dari sakral menjadi profan. Konsekuensi yang terjadi kerapkali membuat tari kehilangan biografi asalinya. Sebagaimana pendet misalnya, dalam beberapa kesempatan didefinisikan dan difungsikan sama seperti tari Puspanjali atau Sekar Jagat sebagai tari pembuka acara. Pun demikian dengan tari Jauk Keras dan Condong. Bukan tidak mungkin, Gandrungpun akan mengalami nasib yang serupa. Disejajarkan sebagai tari penghibur layaknya Joged Bumbung atau Janger.
Sebagai tari kreasi, Gandrung Petak dan Gandrung Bang sesungguhnya mempunyai potensi cukup besar untuk dieksplorasi lebih lanjut terutama dari sisi sejarah, sosial serta struktur pertunjukannya. Tari adalah sekumpulan arsip yang memuat pengalaman tubuh manusia dengan Tuhan, alam dan sesama. Ia menyimpan berbagai ingatan tubuh dari masa ke masa. Gagasan ini memungkinan tari menjadi medium dialog antarzaman.
Pun dengan Gandrung Bali. Kehadiran Gandrung Petak dan Gandrung Bang penting untuk ditimbang sebagai medium untuk melacak eksistensi wabah di masa lalu sekaligus berfungsi sebagai wadah refleksi manusia Bali menghadapi situasi pandemi. Boleh jadi, pada situasi pandemi inilah Gandrung Bali menemukan konteks zamannya. Bukan hanya sebagai hiburan semata. Gandrung Bali adalah ruang ruwat masyakarakat untuk merayakan luka, memuliakan kehidupan.
Demikianlah, Gandrung Petak dan Gandrung Bang sedikit banyak telah membuka jalan bagi tumbuh dan berkembangnya narasi Gandrung di Bali. Semoga saja keberlanjutan eksistensi tak hanya tertambat di panggung PKB. [T]
Denpasar, 2021