Kulidan Kitchen yang berlokasi di desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar merupakan tempat publik yang sering digunakan untuk membedah karya seni, buku, dan film selain menikmati kudapan sore hari. Memasuki areal Kulidan Kitchen dari pintu gerbang di selatan, ada ruang terbuka yang dinaungi atap dan lantainya dilapisi kerikil.
Sisi sampingnya terdapat sebuah lukisan dinding yang menampilkan perempuan bermahkota dengan latar berwarna merah jambu, krim, kayu, dan tanah. Di samping kirinya terdapat dedaunan hijau tua, nanas dan burung merak. Di sisi kanan lukisan dihiasi dengan gambar bunga pukul empat yang berwarna merah, gajah dan bungan kembang sepatu dengan mahkota bunga berwarna kuning. Semua objek ini dilukis dengan cat dinding. Di bawah muka gambar seorang wanita terdapat tulisan berjudul Mencoba Bangkit.
Lukisan itu dibuat pada bulan Juli 2020 untuk persiapan pameran seni yang diadakan pada tanggal 2 Agustus 2020. Seperti pernyataan umum bahwa sebuah lukisan mampu menceritakan ribuan kata, akan banyak tafsiran mengenai hal tersebut. Karya ini diperkirakan akan terus terpampang secara permanen di dinding Kulidan Kitchen.
Dalam lukisan tersebut terdapat suatu hubungan antara perempuan , pangan yang disimbolkan dengan nanas, lingkungan hidup yang direpresentasikan dengan burung merak, gajah dan bunga serta slogan yang menyerukan untuk bangun supaya bergerak. Karya seni tersebut akan selalu relevan saat hari lingkungan hidup, hari perempuan dan hari satwa liar.
Ekofeminisme
Karya seni itu dapat dianggap menggambarkan suatu gagasan bernama ekofeminisme yang mana mengkaji hubungan perempuan dan alam. Istilah ekofeminisme dicetuskan oleh seorang tokoh feminis Perancis bernama Francoise d’Eaubonne di tahun 1974. Ekofeminisme berbasis pada kesetaraan gender dan pandangan dunia yang menghargai proses organic, koneksi yang bersifat menyeluruh, dan kecenderungan pada intuisi dan kerja sama. Penganut ekofeminisme mengadvokasi pandangan alternatif yang menganggap bumi sebagai sacral, dan mengakui ketergantungan manusia dengan alam dan merangkul semua organisme sebagai sesuatu yang berharga. Ekofeminisme menggugat pandangan yang berlaku di masa itu bahwa manusia lebih tinggi dari alam sehingga punya hak untuk mendominasinya. Penganut paham ini berpandangan bahwa mewujudkan kesetaraan gender dan pelestarian alam serta pemulihan lingkungan yang terdegradasi adalah satu kesatuan.
Ekofeminisme bertitik tolak pada dampak yang dirasakan oleh perempuan akibat kerusakan lingkungan akibat sistem sosial ekonomi patriarki yang eksploitatif dimana sistem tersebut berasal dari anggapan bahwa laki laki itu rasional dan terartur sementara perempuan dan alam itu irasional dan tidak teratur sehingga mengharuskan laki laki mengatur keduanya. Ini yang memicu eksploitasi besar besaran terhadap perempuan dan lingkungan(1).
Ekofeminis membuat hubungan sejarah antara neoliberal kapitalisme, keterasingan pekerja, limbah beracun industri, perampasan lahan dan air, perusakan hutan, perubahan iklim dan neokolonialisme. Mereka menyerukan kehidupan yang menginginkan ketercukupan kebutuhan hidup yang berlandaskan pada kedaulatan pangan komunitas, demokrasi partisipatif dan saling memberi dengan lingkungan hidup. Kemampuan dan partisipasi perempuan vital untuk mewujudkan tiga hal ini. Ekofeminisme juga timbul sebagai reaksi dari dampak lingkungan dan kesehatan akibat konversi teknologi perang dunia kedua menjadi produk konsumen seperti pembangkit listrik berernergi nuklir dan pertanian kimia(2).
Salah seorang penganut pemikiran ini ,Vandana Shiva menyoroti bahwa ekonomi saat ini menjadikan peran perempuan seolah olah tak terlihat dalam pertumbuhan ekonomi. Padahal merekalah yang merawat anak dan mengurus rumah tangga bagi laki laki yang bekerja di tempat korporasi supaya tenaganya tersedia lancar untuk digunakan dalam proses produksi. Anak anak ini berikutnya akan menjadi tenaga kerja industri juga.
Dia menguak bagaimana pertumbuhan ekonomi bersandar pada asumsi bahwa jika komunitas desa memproduksi apa yang mereka konsumi mereka tidak menggerakan roda pertumbuhan itu(3). Berarti para perempuan desa di Indonesia misalnya yang memproduksi untuk anak anak, keluarga, komunitas dan masyarakat pedesaan dianggap rendah produktivitas dan rendah aktivitas ekonomi sedangkan jika mereka memproduksi massal segelintir komoditas untuk dijual ke kota hingga diekspor dengan konsekuensi rawan pangan karena lahan diperuntukan untuk hal itu, dianggap berperan dalam pertumbuhan ekonomi. Privatisasi sumber daya alam tanah, dan air yang dianggap sebagai penggerak karena menghasilkan uang dalam sistem pasar bebas merupakan bentuk kekerasan pada perempuan karena menghilangkan hak akses atas dua hal tersebut untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan komunitasnya.
Contoh lain hubungan eksploitasi perempuan dan lingkungan oleh sistem patriarki kapitalisme adalah mayoritas yang dipekerjakan dalam bentuk tenaga kerja pabrik upah murah (sweatshop) adalah perempuan dan permukaan bumi ditambang dan ditanami secara monokultur untuk mendapatkan bahan baku produksi untuk sweatshop yang labanya dinikmati oleh pemilik pabrik yang kebanyakan adalah laki laki. Sweatshop juga membuang limbah dan polusi ke luar, berdampak pada warga sekitar yang sama sekali tidak berpartisipasi di pabrik. Ini salah satu bentuk ketidakadilan sementara pemilik sweatshop tinggal jauh di tempat yang mewah dan relative kecil polusinya. Jika dia juga tinggal di situ, mungkin akan berusaha meminimalisir efek samping yang ditimbulkannya. Dari sweatshop, menghasilkan transaksi senilai miliaran rupiah per minggu di kota dan sampai ke luar negeri dengan keringat dan rasa sakit yang dialami oleh pekerja ini serta efek samping yang ditimbulkannya.
Perempuan selalu menjadi pihak yang paling menderita ketika terjadi kerusakan lingkungan karena terlibat langsung dalam urusan dapur dan kesehatan anak. Saat terjadi pencemaran air dan udara, aktivitas utamanya sebagai produsen makanan dan perawatan anak terganggu. Kesehatan anak menurun. Biasanya karena intuisi yang lebih kuat, perempuan lebih mampu mendeteksi perubahan lingkungan beserta dampak yang akan menimpa dirinya dan anak anaknya ,konsultasi dengan perempuan itu penting ketika pembangunan infrastruktur, pendirian pariwisata dan produksi pangan direncanakan oleh pemerintah daerah, pusat, yayasan dan korporasi. Intuisinya punya peran dalam menentukan kelayakan proyek.
Basis Ekofeminisme
Proses organic di bumi sudah berlangsung selama berjuta tahun. Mahluk hidup yang lahir, memperoleh nutrisi lalu kembali ke lagi ke tanah saat mati merupakan proses organic. Sejak era industri di abad ke 19 proses organic dalam memperoleh makanan mulai terganggu. Saat ini proses organic sudah rusak parah. Buktinya dapat kita saksikan dengan maraknya penggunaan zat zat yang meracuni lingkungan dan membunuh biota tanah dan serangga penyerbuk hingga harus mengeluarkan sumber daya ekonomi untuk memupuki tanah. Kemudian ada yang buat mesin untuk menyerbuki tanaman karena langkanya serangga dan burung di tempat tersebut(4). Dianggapnya mesin ini merupakan kemajuan teknologi yang patut dibanggakan ,padahal itu menunjukkan manusia terpisah dari proses organic dimana dia hidup bersamanya selama ratusan ribu tahun evolusinya di bumi.
Dua hal tersebut menimbulkan efek samping yang selalu luput. Pupuk buatan menyebabkan penyuburan lingkungan air yang mengakibatkan ledakan ganggang yang membunuh sebagian besar biota di situ karena menghisap oksigen. Bahan baku mesin penyerbuk buatan diambil dari perut bumi yang mana mengharuskan penambangan logam dengan menimbulkan efek samping sosial ekologi yang sering ditanggung oleh penduduk sekitar tambang.
Pertanian yang bersifat memperbaharui seperti permakultur merupakan upaya memulihkan proses organic tersebut dengan memanfaatkan komponen alam dan integrasi dengannya. Pertanian model ini berperan dalam menyediakan habitat konservasi sehingga dapat dijadikan model yang bersifat integrative antara pertanian dan pelestarian lingkungan.
Mengenai koneksi yang menyeluruh (holistic), saat ini ilmu pengetahuan dan diskusi public bersifat reduksionis karena: mereduksi kapasitas manusia untuk memahami alam dengan menyingkirkan para non spesialis dan cara lain untuk memahami alam selain daripada metode ilmiah modern yang diajarkan di lembaga resmi . Kedua, menganggap alam dan komponen yang ada di situ sebagai benda mati dan terpisah pisah. Ilmu ini menganggap proses di alam bersifat mekanistik seperti mesin yang mampu dimanipulasi dan dipisah pisah. Sifat terpisah pisah dari ilmu pengetahuan reduksionis memunculkan pengetahuan yang terlepas dari konteks dimana ia dibangun, dan menciptakan persyaratan berdasarkan pada pengasingan khalayak banyak karena hanya “pakar “ yang punya hak ekslusif atas ilmu pengetahuan itu dan bersifat menyingkirkan partisipasi orang banyak yang diproyeksikan sebagai objektivitas. “Pakar” dan “spesialis” dianggap satu satunya produsen pengetahuan yang sah(5).
Misalnya pengajaran di lembaga formal mengenai pangan jarang menghubungkan dengan peran perempuan yang esensial dalam produksi itu, lingkungan dengan tanah yang berhumus dan air jernih serta peran pertanian dalam pelestarian hewan dan tanaman liar di sekitar areal tersebut. Hampir tidak terdengar pejabat bidang pertanian membahas hubungan amat penting lingkungan hidup dan makanan berkualitas. Yang ada adalah meningkatkan buah atau biji sebanyak N ton per tahun sebagai produktifnya pertanian. Mereka tidak memperhatikan keragaman biota pada tanah, kualitas air dan partisipasi perempuan yang memproduksi lebih dari 50% pangan di Indonesia bahkan di seluruh dunia secara langsung di lapangan yang harus dihargai usahanya. Perempuan yang paling banyak berperan dalam mengolah pupuk organic.
Lembaga yang dominan sekarang ini, selain bersifat reduksionis, juga amat menekankan kalkulasi yang dingin seperti mesin sehingga menyingkirkan intuisi dan perasaan yang mana keduanya berperan dalam pembentukan hal berkualitas dan menilai kondisi lingkungan untuk menyusun keputusan yang harus diambil. Tidak semuanya dapat disempitkan (direduksi) dengan angka saja. Akibatnya ilmu pengetahuan cenderung bersifat kaku dan keras.
Hal ini menyebabkan ilmu pengetahuan sering digunakan untuk hal hal yang bersifat merusak. Tatanan yang ada mengutamakan fakta dan data saja, tidak mau mengakui bahwa intuisi dan perasaan itu untuk memahami alam dan mahluk hidup yang ada di dalamnya sehingga membuat manusia lebih terkoneksi. Lalu akan timbul rasa mencintai dan berusaha untuk melestarikan dan memulihkannya. Intuisi itu penting dalam menyelidiki masalah lingkungan dan menyerukan kepada khalayak umum untuk peka dengannya.
Kemudian, persaingan yang menjadi narasi ekonomi hari ini dengan tujuan mendapatkan keuntungan sebesar besarnya untuk akumulasi kekayaan yang dijadikan modal untuk ekspansi menimbulkan kerusakan pada iklim seperti pemanasan global, polusi lautan seperti plastik dan tumpahan minyak mentah, pembalakan hutan, pengerukan gunung dan bukit yang mengeringkan mata air , dan membuat beragam mahluk hidup akan tinggal sejarah saja untuk generasi berikutnya. Persaingan yang dipandang baik untuk kemajuan lebih banyak kerusakannya dan bahkan menjadi pangkal dari kekerasan dalam bentuk perang dan produksi senjata di abad ke 21.
Di alam itu kerja sama lebih banyak daripada persaingan. Sebagai contoh manusia itu hidup karena semua organnya bekerja sama , tidak bersaing satu sama lain dan semuanya penting. Di alam juga serupa seperti ribuan cacing tanah yang bersama sama menggemburkan tanah yang kemudian mejadi kaya unsur hara untuk dapat ditanami nanas. Tanaman ini, bekerja sama dengan air yang berfungsi melarutkan nutrisi agar dicerna dan berfotosinesis, iklim yang hangat juga penyerbuk seperti serangga dan burung untuk dapat menghasilkan buah yang kita makan atau diolah jadi minuman dan manisan serta daunnya jadi bahan kerajinan.
Dari sini terlihat bagaimana kooperasi itu yang amat penting dalam menghasilkan buah nanas di alam daripada persaingan. Persepsi bahwa persaingan itu yang membuat manusia berkembang harus diganti dengan mengutamakan kerja sama antar dengan elemen biotik dan abiotic yang menjadikan manusia mampu mempertahankan eksistensinya di alam ini. Kerja samalah yang memelihara sumber air dan makanan serta kejernihan udara.
Tanah sebagai Dasar Kehidupan
Gagasan ekofeminisme Vandana Shiva dipengaruhi oleh budaya di negeri asalnya yang menganggap bahwa tanah itu sebagai ibu yang mana kehidupan muncul darinya. Apa yang kita makan, pakai, dirikan untuk tinggal dan minum berasal dari tanah dan menopang kehidupan kita. Karena itu di berbagai budaya, tanah dianggap ibu bumi yang sakral.
Tanah adalah dasar dari ekosistem. Kualitas tanah menentukan kualitas tanaman yang tumbuh dan ketersediaan air karena merupakan jadi penampungnya. Dua hal ini yang menghidupi hewan dan manusia. Tanah dianggap sebagai bagian dari jiwa komunitas bukan sekedar faktor produksi untuk dieksploitasi. Maka tanah adalah kondisi untuk kehidupan regenerasi alam dan masyrakat. Mempertahankan integritas masyarakat melibatkan pelestarian kesehatan tanah.
Bumi bukan punya manusia, tapi manusia kepunyaannya bumi. Semua kehidupan di bumi ini terkoneksi. Manusia tidak merancang jaring-jaring kehidupan bumi. Dia adalah bagian dari jaring jaring tersebut. Manusia adalah tamu di bumi sehingga harus berlaku baik padanya(6).
Saat ini pembangunan di negara berkembang seringkali memisahkan masyarakat dengan tanah. Ditujukan untuk pertumbuhan ekonomi dan laba oleh korporasi, mereka tersingkir dari situ. Hal ironis dari fenomena ini adalah penghuni asli yang menetap selama lebih dari tiga generasi dianggap sebagai pendatang gelap semetara korporasi yang baru saja masuk ke wilayah itu mengklaim dirinya pemilik lahan yang sah.
Ketika ikatan antara tanah dan masyarakat ini tercerabut, muncul berbagai masalah sosial. Masyarakat petani yang tergusur dari tanahnya menuju ke kota karena desakan bertahan hidup. Muncullah kawasan kumuh karena penghasilannya begitu rendah dan nyaris tidak memiliki kemampuan untuk bekerja di sector formal. Oleh karenanya, pemerintah harus mendorong kembali penghuni kawasan kumuh itu kepada pertanian skala kecil di desanya dengan infrastruktur dasar air, listrik dan pengolahan limbah supaya hidup layak di situ.
Sumber:
- https://www.britannica.com/topic/ecofeminism Diakses tanggal 8 Maret 2021
- Mies, Maria and Shiva, Vandana. Ecofeminism. 2014. New York. Zed Books. Foreword.
- Mies, Maria and Shiva, Vandana. Ecofeminism. 2014. New York. Zed Books. Preface.
- https://www.fastcompany.com/90463417/in-our-dystopian-future-farmers-will-use-these-artificial-pollination-machines-to-replace-bees.. Diakses Tanggal 8 Maret 2021
- Mies, Maria and Shiva, Vandana. Ecofeminism. 2014. New York. Zed Books. Chapter 2 Reductionism and Regeneration: A Crisis In Science
- Mies, Maria and Shiva, Vandana. Ecofeminism. 2014. New York. Zed Books. Chapter 7 Homeless in Global Village