Pengantar redaksi:
- Tulisan ini adalah bagian dari ringkasan disertasi Puji Retno Hardiningtyas untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Studi Linguistik Program Doktor, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Bali
- Ringkasan disertasi itu disampaikan dalam ujian terbuka (promosi doktor) di Universitas Udayana, Selasa, 26 Januari 2021
______
PERKEMBANGAN PUISI INDONESIA MODERN DI BALI
Perkembangan puisi Indonesia modern di Bali dibagi dalam tiga periode, yaitu (1) periode awal, (2) peralihan, dan (3) mutakhir. Uraian tentang karakter per periode ini disajikan sebagai dasar untuk menganalisis tema dan ekspresi tentang keindahan dan kehancuran lingkungan alam di Bali.
Periode Awal Perkembangan Puisi 1960-an—1970-an
Karya sastra jenis puisi sudah muncul dalam media massa di Indonesia secara insidental sejak tahun 1950-an, seperti tampak dalam majalah Bhakti dan majalah Damai. Namun, hal itu berlangsung sebentar saja. Perkembangan yang berlanjut puisi di Bali terjadi mulai 1960-an sehingga dianggap dekade ini sebagai periode awal.
Karakteristik puisi-puisi periode 1960-an—1970-an ini diketahui memiliki ciri-ciri intrinsik sebagai berikut. Pertama, tema individualisme cukup menonjol dalam dua puluh tahun. Ada unsur lirik dan menggunakan narator aku sebagai fokalisasi dalam puisinya. Kedua, puisi-puisi periode 1970-an adalah masa-masa penyair yang masih banyak menulis tentang keindahan alam, peristiwa yang dialami wisatawan, dan masa investor asing mulai masuk di Bali
(akhir-akhir tahun 1970-an). Ketiga, tema humanisme universal atau masalah kemanusiaan secara umum, seperti cinta kasih kepada sesama, kepada lingkungan, dan berfalsafah Pancasila muncul pada puisi periode 1970-an. Keempat, puisi-puisi periode 1960-an—1970- an merupakan bagian dari periodisasi 1955—1970-an. Pada dekade ini muncul puisi-puisi perjuangan sebagai akibat peristiwa pemberontakan G30S/PKI yang gagal. Puisi perjuangan sering ditulis oleh para penyair tahun 1966. Penyair yang dianggap sebagai pelopor tema-tema perjuangan dan kepahlawanan di Bali tahun 1960-an.
Periode Peralihan Perkembangan Puisi 1980-an—1990-an
Ciri-ciri intrinsik puisi-puisi periode 1980-an—1990-an dapat dikategorikan sebagai berikut. Pertama, puisi-puisi periode ini lebih mengangkat budaya daerah, lebih tepatnya mempergunakan diksi daerah secara mencolok untuk memberikan warna lokal dan sifat ekspresivitas. Kedua, puisi-puisi lebih menggunakan asonansi bunyi untuk mendapatkan makna baru. Ketiga, khusus puisi imajinasi, penyair menggunakan teknik pengucapan tidak langsung, berupa lukisan, gambaran angan (imaji), atau juga cerita kisahan, seperti parabel atau alegori. Keempat, pada periode ini, puisi-puisi banyak yang disajikan dengan gaya penulisan prosais dengan menghubungkan dengan gaya imajinasi. Kelima, puisi bergaya naratif juga sudah mulai digunakan penyair pada periode ini. Keenam, puisi lugu ditemukan juga dalam periodisasi 1980-an—1990-an.
Ciri-ciri ekstrinsik puisi periode 1980-an—1980-an adalah sebagai berikut. Pertama, puisi mengemukakan kehidupan batin, tradisi, religiositas cenderung sufistik. Kedua, puisi yang bersifat cerita atau naratif diungkapkan dengan gaya alegoris dan parabel lebih banyak. Ketiga, puisi-puisi yang mengungkapkan hak asasi manusia, hidup bebas dari penindasan, menuntut kehidupan yang merata dan
layak, bebas dari rongrongan budaya luar, dan bebas dari pencemaran teknologi modern. Keempat, puisi-puisi yang menyuarakan kecemasan tanah dan alih fungsi lahan pertanian berubah menjadi lahan pariwisata. Kelima, puisi-puisi yang mengemukakan kritik sosial, kritik kesewenangan terhadap perubahan pariwisata, dan kebijakan pemerintah atas tata ruang kota. Keenam, puisi yang menggambarkan pesona alam Bali dengan daya tarik wisata dan tempat ibadah.
Periode Mutakhir Perkembangan Puisi 2000-an—2010-an
Sebagai dasar pengklasifikasian tema puisi-puisi periode 2000- an-2010-an sebagai berikut. Pertama, dapat ditelusuri bahwa puisi- puisi bertema ritus, ritual/upacara, keagamaan, tradisi, warna/kasta, dan pencarian jati diri individu kepada Tuhan menjadi topik yang banyak dijumpai kurun waktu 2000-an—2010-an. Kedua, puisi bertema percintaan dan kerinduan banyak muncul pada 1970-an. Ketiga, puisi bertema tentang ruang spasial Bali, sangat banyak ditemukan dalam puisi-puisi 2000-an—2010-an. Keempat, tema yang menonjol pada puisi-puisi 2000-an—2010-an ini adalah kerusakan alam sekaligus lukisan keindahan alam juga masih banyak ditemukan. Ciri-ciri yang menonjol dalam periode ini adalah melimpahnya puisi- puisi yang melukiskan suasana atau keadaan yang dialami penyair dalam perjalanan dari kota ke kota; dari desa ke desa; dan dari tempat wisata satu ke tempat wisata lainnya di Bali.
WACANA KEINDAHAN BALI DALAM PUISI INDONESIA MODERN KARYA PENYAIR DI BALI PERIODE 1970-AN—2010-AN
Sebelumnya telah dikemukakan mengenai perkembangan puisi Indonesia modern di Bali periode 1970-an—2010-an, baik sebagai sejarah sastra Indonesia di Bali maupun ciri intrinsik dan ekstrinsiknya. Untuk menganalisis wacana keindahan Bali dalam puisi karya penyair di Bali periode 1970-an—2010-an dibedakan menjadi tiga pembahasan. Pertama, keindahan Bali berdasarkan pada alam Bali dalam puisi Indonesia modern karya penyair di Bali periode 1970-an—2010-an. Kedua, keindahan Bali berdasarkan budaya dalam puisi Indonesia modern karya penyair di Bali periode 1970- an—2010-an. Ketiga, keindahan Bali berdasarkan pada spiritual dalam puisi Indonesia modern karya penyair di Bali periode 1970- an—2010-an menjadi pokok pembahasaan subbab ini.
Berdasarkan paparan tersebut, dapat diungkapkan bahwa puisi- puisi tahun 1970-an—2010-an memiliki kesamaan tema lokal Bali, baik tradisi atau ritual untuk manusia secara individu, dengan sesama, alam, dan dengan Tuhan. Ritual yang dimaksudkan oleh pensyairnya, secara umum mengandung budaya dan kosmologi Hindu. Kosmologi yang menyangkut dalam konsep ritual dan ritus yang diungkapkan oleh penyair di Bali merupakan aktivitas spiritual yang mengutamakan panca yadnya. Contoh kutipan dalam puisi “Ritus Tanah Bali” karya G.M.Sukawidana berikut ini.
angsa putih saraswati dewi, nyanyi suci puja tri sandya kesetiaan nenek moyang, menembang hidup, sepanjang waktu, maka, marilah ni nyoman bajang, marilah made tetuna, letakkan sesegeh putih kuning, di gerbang gerbang pura, sanggah cucuk bara api caru jagat manca warna, racikan arak berem, tabuh rah di pelataran pura… (Sukawidana, 2015: 59—63).
Dari kutipan tersebut, unsur menjaga kearifan lokal budaya, tradisi, spiritual, ketuhanan, dan alam dilukiskan lengkap oleh penyairnya. Metafora yang ditulis penyair dalam puisi lengkapnya, seperti rerajah tetua, petuah lontar, bale gedong, keris pusaka, pratima, ratu gede, aksara, Besakih, trimurti, siwa pralina, delapan arah mata angin, api, matahari, pucuk meru, tepis tenung hitam, sihir hitam, saraswati dewi, nyanyi suci, puja tri sandya, sesegeh putih kuning, gerbang pura, sanggah cucuk, caru jagat manca warna, arak berem, tabuh rah, pelataran pura merupakan simbol budaya dan ritus persembahan masyarakat Bali kepada Tuhan yang dilakukan dengan tulus ikhlas. Bentuk upacara yang dilakukan umat Hindu untuk menyelaraskan kehidupan di bumi ini, yaitu dengan upacara pancayadnya. Persembahan sesaji caru yang umumnya digunakan untuk penyucian diri dan bumi di Bali. Puisi “Ritus Tanah Bali” menggambarkan seluruh komponen alam, baik tumbuhan, binatang, matahari, tanah, gemuruh, langit, api, dan makhluk lainnya yang menunjukkan adanya hubungan masyarakat Bali dengan Tuhan, hubungan manusia dengan budaya, dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Seperti pendapat Triadnyani (2000: 111) bahwa penggunaan diksi caru menggambarkan suatu kegiatan ritual dalam tradisi Hindu, secara eksplisit menggunakan acuan keagamaan tentang buta yadnya yang merupakan bagian pelaksanaan upacara panca yadnya.
Sebagai sebuah karya sastra, puisi-puisi karya penyair Bali memberi sumbangan penting bagi khazanah sastra Indonesia. Di samping itu, puisi-puisi tersebut memberikan kontribusi untuk kajian sosiologi-antropologi berbasis tradisi dan budaya Bali-Hindu sebagai bentuk kearifan lingkungan Bali. Tampak puisi-puisi penyair Bali pun menyuarakan fenomena keindahan Bali yang muncul pada tahun
1970-an—2010-an yang banyak dituliskan dengan metafora dan memanfaatkan simbol kosmologi dan menjaga keseimbangan lingkungan di Bali. Dalam puisi Indonesia modern periode 1970-an— 2010-an terlukis citra yang memperlihatkan latar keagamaan Hindu yang dikemas dalam keindahan Tuhan, berupa kekaguman keindahan alam dan keindahan anugerah Tuhan. Puisi yang mengutamakan aspek penyatuan manusia dan lingkungan alam, terungkap unsur sikap cinta kasih, pemujaan, menjaga, dan memelihara lingkungan alam Bali dengan memegang teguh Tri Hita Karana.
Selain itu, puisi-puisi periode 1970-an—2010-an mengemukakan pandangan hidup penyair yang lahir dari desa, mengenal seluk-beluk sawah, hasil panen, proses pertanian, hal penting soal tanah kelahiran sebagai gambaran manusia Bali yang menjalani kehidupan di pedesaan, di perkotaan, dan kenangan/nostalgia alam perdesaan sekaligus perkotaan. Berikut kutipan puisi “Rumah” karya Putu Fajar Arcana yang menjelaskan konsep acardia.
Musim terus berubah dalam rumah-rumah ibu
Tanpa angin, tanpa pepohonan
Hanya aku mesti percaya
Untuk mulai menghancurkan keindahan masa lalu (Arcana, 2000: 53).
Dari kutipan puisi karya Putu Fajar Arcana dapat dijelaskan tiga hal unsur kondisi perdesaan dan perkotaan yang terkadung dalam pendekatan ekokritik pastoral. Pertama, wacana pada kutipan puisi lebih dikenal dengan unsur acardia yang di dalamnya ada tiga unsur, yaitu idylls, nostalgia, dan georgig. Kedua, Estetika pastoral dalam puisi-puisi penyair Bali periode 1970-an—2010-an adalah simbolisasi lanskap alam sebagai latar/lokasi pelarian manusia dengan menggunakan metafor ibu sebagai tanah pertiwi dan ibu sebagai orang tua. Ketiga, wacana retreat dan return dalam puisi tersebut digambarkan melalui gagasan penyair tentang perantauan yang akhrinya kembali ke kampung halaman dan ingin merasakan kenangan pesona alam pendesaan. Dengan demikian, teks puisi-puisi periode 1970-an—2010-an merupakan teks pastoral tentang keindahan Bali dan lingkungan alam pedesaan di Bali. Pesan ekologis yang kuat dalam puisi Indonesia modern periode 1970-an—2010-an menunjukkan suatu hal yang mengarahkan kepada perilaku preventif masyarakat Bali agar bersikap hormat menjaga keseimbangan dan memuliakan lingkungan alam.
WACANA KEHANCURAN BALI DALAM PUISI INDONESIA MODERN KARYA PENYAIR DI BALI PERIODE 1970-AN—2010-AN
Pada bab ini berisi analisis wacana kehancuran Bali yang tersurat dan tersirat dalam puisi-puisi penyair Bali periode 1970-an—2010-an dengan menerapkan teori ekokritik. Analisis lingkungan alam dimulai dengan mengklasifikasikan puisi berdasarkan tematiknya. Kemudian, melakukan identifikasi puisi dengan melihat batasan konsep kehancuran adalah kerusakan lingkungan akibat bencana, abarasi, intrusi, erosi, pencemaran, dan turunnya kualitas lingkungan (Kubontubuh, 2009: 57). Untuk melihat kehancuran lingkungan perlu disandingkan dengan keindahan Bali yang sudah ada bersaing hebat dengan kehancuran alam yang mengikuti berbagai masalah lingkungan yang dihadapi masyarakat Bali.
Dalam pandangan aposentrisme, tindakan manusia tidak dibenarkan jika membiarkan tanah kering di suatu tempat. Beberapa puisi yang ditulis penyair Bali periode 1970-an—2010-an menunjukkan tema kekeringan, sampah, bahkan kerusakan lingkungan di Bali. Sebagai contoh perhatikan puisi “Sukawati” karya I Wayan Windia berikut.
desaku, kering, berserak, kapuk beterbangan
bocah-bocah menangis, minta uang, minta berhenti sekolah
dan ibu-ibu tersedu, kadang-kadang matanya memerah, dan ayah mendengus (Windia, 1974: 9).
Kutipan puisi tersebut memberikan gambaran kondisi kering, kelaparan, dan kemiskinan di Desa Sukawati. Namun, tidak ada upaya manusia untuk melestarikan tanah di Desa Sukawati. Ada kepasrahan masyarakat menerima kondisi kering, tanah tandus, dan berada dalam kemiskinan.. Keberadaan ekokritik antroposentrisme ini yang harus dilakukan mengingat lingkungan yang rusak perlu dilakukan upaya penyelamatan oleh manusia sekitarnya. Kondisi krisis lingkungan yang diungkapkan penyair ini terjadi karena alam sendiri dan perilaku manusia yang dipengaruhi oleh cara pandang antropesentrisme. Cara pandang aposentrisme ini menyebabkan manusia mengeksploitasi dan menguras alam semesta untuk kepentingan dan kebutuhan hidupnya, tanpa memberi perhatian kepada pelestarian alam.
Puisi-puisi penyair Bali periode 1970-an—2010-an menujukkan dikotomi/dualisme pemaknaan. Di satu sisi, penyair menyuarakan alam yang indah, di sisi lain, sajak-sajak menyampaikan nada kecemasan, keprihatinan, dan keterasingan masyarakat Bali di wilayahnya sendiri. Dalam bab ini diuraikan analisis ekokritik puisi- puisi yang mengungkapkan lingkungan Bali dengan segala kerusakan lingkungannya dan krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh beberapa faktor pertumbuhan dan perubahan Bali. Di tengah-tengah modernisasi itu terdapat beberapa kelompok masyarakat pinggiran dan kelompok urban yang harus berjuang untuk dapat hidup di kota.
Perubahan kehidupan masyarakat sebagai pelaku kebudayaan di perkotaan bersaing dengan sistem ekonomi feodal dan kapitalis.
HUBUNGAN WACANA KEINDAHAN DAN KEHANCURAN DALAM PUISI PERIODE 1970-AN—2010-AN DIKAITKAN DENGAN REALITAS PEMBANGUNAN DI BALI
Bab ini memfokuskan analisis pada tiga hal permasalahan, yaitu hubungan antara wacana keindahan dan kehancuran yang terungkap dalam puisi Indonesia modern karya penyair di Bali periode 1970-an—2010-an yang dikaitkan dengan realitas pembangunan di Bali. Analisis dilakukan dengan pendekatan intertekstualitas yang bertujuan mengungkap sikap penyair, ruang persepsi manusia- penyair, dan masyarakat Bali terhadap wacana lingkungan alam. Objek kajian penelitian ini adalah teks puisi Indonesia modern bertema lingkungan alam, baik biotik maupun abiotik. Teks puisi yang berkaitan secara intertekstualitas dihubungkan dengan wacana publik tentang lingkungan di Bali. Analisis data ini ditentukan berdasarkan tema dan rumusan masalah berikut ini. Pertama, simbol persepsi ruang manusia/penyair Bali dalam menciptakan puisi bertema keindahan dan kehancuran Bali dalam puisi-puisi periode 1970-an—2010-an. Kedua, kondisi sosiokognitif penyair Bali terkait hubungan struktur sosial dan idologis masyarakat Bali dalam puisi- puisi periode 1970-an—2010-an. Ketiga, wacana publik dan posisi puisi dalam masyarakat Bali dan media massa terkait realitas pembangunan Bali.
Berdasarkan analisis dapat dilihat bahwa ungkapan metaforis yang dimaksudkan adalah untuk memperoleh efek etis dan estetis dalam puisi. Kosakata yang mengandung metafora berkaitan dengan persepsi penyair Bali terhadap ekologi dan lingkungan sosial budayanya sendiri. Sikap peduli dan menjaga keseimbangan lingkungan alam menjadi penentu gaya dan nada penulisan puisi-puisinya. Berikut ini contoh puisi “Oleh-Oleh dari Bali” karya Made Taro yang mengungkapkan metafora ruang persepsi manusia menurut Haley.
Tanah Lot
Gadis kecil. Nyanyi laut kandungannya
Gadis kecil. Terbelintang di pasir direngkam malam
Esoknya gugur embun di tanah lot
Sketsa
Bunda meratap hilang suami senja-senja
Bocah merengek berkantong peser di jalan raya
Bunda dan bocah naik gunung turun gunung
Dan ai, kenyir si bapa ayam disabung
Kepada Pelukis
Karena alam tidak bicara sendiri
Konser lagunya bertaut di hati dan di hati Menggisirlah tangan halus atas bumiku sayang Rasa senyum di warna padu
Esoknya bersua wajah alam bumiku sayang Rasa senyum di warna padu … (Taro, 1973: 4).
Dari kutipan puisi karya Made Taro tersebut ditemukan metafora alam yang menunjukkan ruang resepsi penyairnya. Kategori yang ditemukan dalam puisi “Oleh-Oleh dari Bali”, yaitu being (senja, malam, esok, hati, dan senyum), cosmis (matahari, bumi, dan alam), substance (embun), terrestrial (gunung, pasir, laut), animate (ayam), dan human (bunda, bocah, bapa, suami, dan gadis kecil). Perhatikan pada penggunaan kata senja, dalam konsep Haley masuk dalam kategori being (ke-ada-an)—konsep atau pengalaman manusia yang abstrak. Ciri khas kategori being ini adalah perdiksi ada walaupun tidak dapat dihayati dan dilihat langsung oleh pancaindra manusia.
Senja adalah konsep abstrak untuk menandai “tenggelamnya” matahari, tetapi konsep senja itu ada. Dalam puisi tersebut, konsep senja adalah ungkapan kias untuk konsep usia lanjut manusia. Dengan demikian, ungkapan metaforis ini menjadi hal unik/khas bagi penyair ketika kepedulian mengangkat masalah ekologi dalam sastra. Selain itu, proses kognitif penyair dibentuk karena lingkungan, di tengah fenomena alam yang dieksploitasi, puisi pun menjadi saksi sejarah perubahan suatu kota atau wilayah. Berdasarkan puisi-puisi yang dihasilkan penyair di Bali, dapat disimpulkan bahwa peristiwa yang terjadi dalam masyarakat memengaruhi pengetahuan sosiokultural yang mengikuti pada pikiran penyair untuk menulis puisi-puisi sesuai konteks yang terjadi pada saat itu.
Puisi periode 1970-an—2010-an merupakan kelahiran puisi protes sosial akibat perubahan Bali, baik yang terjadi karena bencana alam, ulah manusia, kebijakan pemerintah daerah, pariwisata, maupun dari Tuhan. Wacana sosial yang ditulis penyair dapat diklasifikasikan menjadi enam wacana yang lahir dari peristiwa di masyarakat Bali, yaitu (1) konflik pembangunan waduk di Desa Palasari, (2) perubahan kota akibat pariwisata dan pendatang, (3) alih fungsi lahan sawah menjadi lahan perhotelan, dan (4) kondisi alam yang kering, (5) keindahan alam Bali, terutama pantainya, dan (6) perekonomian masyarakat Bali. Ditinjau dari perspektif wacana kritis, puisi-puisi penyair Bali periode 1970-an—2010-an menunjukkan adanya realisasi diri manusia berlangsung dalam komunitas ekologis dan teks serta kognisi sosial penyairnya. Kedua, puisi-puisi penyair Bali dapat dimaknai sebagai diskursus praksis sosial, yaitu suatu wacana kritis yang berfungsi sebagai panduan masyarakat dalam menentang upaya- upaya penyelewengan ideologi kaum penguasa dan kebijakan pemerintah yang bersikap tidak peduli terhadap lingkungan. Adanya realisasi manusia yang seharusnya memperhatikan dirinya sebagai ecological self. Adapun penciptaan puisi-puisi tersebut dilatarbelakangi oleh sejumlah pengalaman serta kegiatan yang pernah dijalani oleh penyair-penyair Bali dalam kesatuan asasi dengan alam atau interaksi positif manusia dengan manusia lain dan bagian lain dari alam di Bali.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan analisis semiotika, ekokritik, dan wacana kritis puisi-puisi Indonesia modern di Bali periode 1970-an—2010-an dapat disimpulkan tiga hal sebagai berikut.
Pertama, puisi Indonesia modern penyair Bali ini memang menggemakan persoalan Bali sebagai wacana yang tidak kunjung usai untuk dibicarakan dalam berbagai hal. Berpijak dari persoalan di Bali yang tertuang dalam puisi-puisi Indonesia modern karya penyair di Bali dapat disebutkan alasan sebagai berikut (1) perdebatan perubahan Bali, salah satunya akibat pertumbuhan pariwisata yang akhirnya menuntun penyair Bali menulis puisi bertema warna lokal lingkungan Bali; (2) krisis kerusakan Bali yang dikemas sedemikian rupa dalam puisi sebagai upaya pemberontakan/kritik sosial terhadap perubahan; (3) hadirnya kesadaran memelihara keindahan Bali dengan mendokumentasikan melalui puisi-puisi penyair di Bali.
Kedua, ekosentris memandang manusia bukan semata-mata sebagai makhluk sosial melainkan pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Manusia dapat hidup dan berkembang secara utuh tidak hanya dalam komunitas sosial, tetapi juga dalam komunitas ekologis. Dalam komunitas ekologis, tidak ada pemisahan ontologis antara manusia dan bukan manusia (alam), antara diri yang universal (alam) dengan diri yang partikular (manusia). Realisasi diri yang partikular berlangsung dalam kesatuan harmoni dengan diri universal (kesatuan makrokosmos— mikrokosmos). Oleh karena itu, manusia dituntut untuk mengembangkan kehidupan dan memilih penghidupan sejalan dan sesuai dengan ketentuan, tuntutan, dan kehendak alam. Manusia dibentuk oleh dan merealisasikan dirinya dalam alam. Alam yang dimaksudkan adalah alam yang ideal dan nyaman. Idealisasi dan kenyamanan alam direpresentasikan oleh alam pedesaan. Selain itu, hubungan alam biotik dan abiotik dan manusia dilukiskan sebagai gambaran yang harmonis dengan habitatnya.
Ketiga, puisi Indonesia modern karya penyair di Bali periode 1970-an—2010-an merupakan kelahiran puisi protes sosial akibat perubahan Bali, baik yang terjadi karena bencana alam, ulah manusia, kebijakan pemerintah daerah, pariwisata, maupun dari Tuhan. Meskipun mencapai lebih dari 90 tahun, persoalan perubahan Bali masih dikemukakan oleh penyair di Bali dalam puisi-puisinya. Metafora tidak dapat dilepaskan dalam penciptaan puisi oleh penyair yang teramati pada larik-larik yang menjadi bagian dari puisi. Metafora tersebut dapat ditemukan dalam bentuk simbol-simbol yang mengandung makna metaforis yang dapat mewakili ruang persepsi manusia. Sehubungan dengan itu, penelitian ini merupakan bentuk kajian terhadap ungkapan-ungkapan metaforis dalam puisi-puisi karya penyair Bali yang mewakili ruang persepsi manusia. Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa dalam puisi- puisi karya penyair Bali terdapat simbol-simbol ungkapan metaforis yang mewakili ruang persepsi manusia. Ungkapan metaforis tersebut dimaksudkan untuk memperoleh efek etis dan estetis dalam puisi.
Temuan
Dari kajian ini dapat dirumuskan empat temuan sebagai berikut. Pertama, wacana keindahan Bali dalam puisi-puisi penyair Bali periode 1970-an—2010-an dipengaruhi pandangan hidup masyarakat Bali yang memegang teguh Tri Hita Karana. Dari konsep tersebut, penyair merepresentasikan wajah Bali dalam hubungannya dengan Tuhan, masyarakat, dan lingkungan sekitar di Bali. Pandangan hidup bentukan alam dan budaya Bali menjadi kehidupan yang keras dan sulit ini secara intensif dan dominan memengaruhi proses kreatif penyair di Bali. Kaidah-kaidah estetika pastoral dalam puisi-puisi kaitannya dengan wacana keindahan Bali, meliputi alam, budaya, dan spiritual.
Kedua, wacana kehancuran Bali dalam puisi Indonesia modern karya penyair di Bali periode 1970-an—2010-an mendorong kewajiban manusia untuk menahan diri tidak melakukan suatu negatif dan destruktif merugikan dan merusak alam semesta serta segala isinya.
Ketiga, adanya kecenderungan penyair Bali bahwa dalam menciptakan metafora memanfaatkan simbol-simbol yang mengacu pada kategori human dan kategori being yang terkait dengan isu lingkungan di Bali.
Keempat, temuan tambahan tentang konsep resepsi manusia dan paradigma pendekatan ekokritik. Selain sembilan ruang persepsi manusia Haley, penyair Bali dalam puisinya banyak mengungkapkan kategori ketuhanan dan kategori budaya. Pendekatan wacana dalam penelitian ekokritik membuka keterkaitan antarwacana, sedangkan pendekatan realitas membuka ranah ekososial, ekobudaya, dan ekoteologi.
Saran
Penelitian ini menyarankan dua hal, yaitu saran teoretis dan empiris. Karena penelitian ini terbatas pada puisi Indonesia modern karya penyair di Bali bertema lingkungan alam, saran teoretis adalah perlunya melakukan penelitian yang bersumber dari puisi-puisi Indonesia modern dengan tema lain dan pendekatan lain, misalnya pendekatan historis, poskolonial, grafologi, gastro kritik, feminisme, resepsi sastra, eksistensialisme, dan ginokritik sehingga isi puisi dapat dimaknai lebih maksimal, kreatif, inovatif, dan kritis. Hasil kajian atas puisi Indonesia modern karya penyair di Bali diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu bidang sastra dan menyumbangkan pengetahuan baru kepada masyarakat Bali dan Indonesia.
Ada dua saran empiris, yaitu untuk penelitian lebih lanjut dan revitalisasi. Untuk penelitian lebih lanjut, disarankan penelitian intertekstualitas antara puisi Indonesia modern karya penyair Bali dan penyair luar Bali yang memiliki tema keindahan dan kehancuran alam di Indonesia. Selanjutnya, disarankan untuk menerbitkan kembali antologi puisi penyair Bali bertema khusus lingkungan alam Bali sehingga diperoleh berbagai perspekstif tentang masalah dan solusi dalam melestarikan alam di Bali. Selain itu, diperlukan upaya lain, seperti digitalisasi dan alihwahana untuk memudahkan distribusi karya sastra kepada masyarakat di Bali dan di luar Bali, baik di dunia pendidikan maupun non-pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
- Alaini, Nining Nur. 2015. “Representasi Alam dalam Puisi Dinullah Rayes: “Bulan di Pucuk Embun”. Dalam prosiding Seminar Ecology of Language and Literarture (Ekologi Bahasa dan Sastra), hlm. 203—212. Banjarmasin: Scripta Cendekia bekerja sama dengan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat.
- Alfarisi, Tsalis Abdul Aziz. 2015. “Ekspresi Metaforis dalam Puisi- Puisi Mardi Luhung. Bebasan, Volume 2, No, 2, edisi Desember 2015, hlm. 124—145.
- Alfianti, Dewi. 2015. “Kerusakan Hutan sebagai Pengetahuan Bersama dalam Perspektif Sosiokognitif Teun A. van Dijk (Analisis Wacana Kritis Kumpulan Puisi Konser Kecemasan Karya Penyair Kalimantan Selatan”. Dalam prosiding Seminar Ecology of Language and Literarture (Ekologi Bahasa dan Sastra), hlm. 203—212. Banjarmasin: Scripta Cendekia bekerja sama dengan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat.
- Arcana, Putu Fajar. 2000. “Rumah”. Dalam Bali The Morning After. Darlongton, Australia: Darma Printing.
- Bredin, Hugh. 1984. “Sign and Value in Saussure”. Philosophy, 59(227), 67—77.
- Buell, Lawrence. 1995. The Environmental Imagination. Cambridge: Harvard University Press.
- Deledalle. Gerard. 2000. Charles S. Peirce’s Philosophy of Sign. Bloomington: Indiana University Press.
- Dewi, Novita. (2015). “Manusia dan Lingkungan dalam Cerpen Indonesia Kontemporer: Analisis Ekokritik Cerpen Pilihan Kompas”. Litera: Jurnal Penelitian, Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 14 (2), hlm. 376—391.
- Dewi, Novita. 2014. “Sastra Lingkungan Hidup sebagai Gerakan Sosial”. Dalam Prosiding Seminar Bahasa dan Sastra dalam Perspektif ekologi dan Multikulturalisme, hlm. 301—310. Yogyakarta: Jurusan Bahasa dan Sastra, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
- Endraswara, Suwardi. 2016. Metodologi Penelitian Ekologi Sastra: Konsep, Langkah, dan Penerapannya. Yogyakarta: Layar Kata.
- Eriyanto. 2008. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.
- Fauzi, Ammar Akbar. 2014. “Kritik Ekologi dalam Kumpulan Cerpen Kayu Naga Karya Korrie Layun Rampan Melalui Pendekatan Ekokritik”. Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Universtitas Negeri Yogyakarta.
- Garrard, Greg. 2004. Ecocriticism. New York: Routledge.
- Gie, The Liang. 1983. Garis Besar Estetik: Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Penerbit Supersukses.
- Gifford, Terry. 1999. Pastoral. New York and London: Routhledge. Glothfelty, C dan H. Froom (Eds.). 1996. The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology. London: University of Goergia Press.
- Haley, Michael C. 1980. “Concrete Abstraction: The Linguistic Universe of Metaphors”. In Marvin K.L. Ching, Michael C. Haley, & Ronald F. Lonsford (Eds.). Linguistic Persfective on Literature. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.
- Hadiansah, Ogi Noor. 2013. “Pemikiran Wiji Thukul Tentang Orde Baru (Analisis Wacana Kritis Teun A. van Dijk Mengenai Pemikiran Wiji Thukul Tentang Orde Baru Pada Puisi)”. Doctoral dissertation. Jakarta: Universitas Komputer Indonesia.
- Hardiningtyas, Puji Retno, Putra, I Nyoman Darma, I Nyoman Weda Kusuma, and I. Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani. 2018. “The Features of Bali between its Beauty and Destruction in 1960—2014 Poetry”. International Conference on Media and Communication Studies (ICOMACS 2018). Atlantis Press, 2018.
- Hardiningtyas, Puji Retno. 2015. “Ekokritik: Ritual dan Kosmis Alam Bali dalam Puisi Saiban Karya Oka Rusmini”. Dalam Prosiding Ecology of Language and Literature: Seminar Proceedings, hlm. 125—136. Banjarbaru: Universitas Lambung Mangkurat bekerja sama dengan Scripta Cendekia.
- Hardiningtyas, Puji Retno. 2016. “Masalah Tanah dan Krisis Lingkungan di Bali dalam Antologi Puisi Dongeng dari Utara Karya Made Adnyana Ole.” Atavisme 19.1 (2016): 45-59.
- Harsono, S. 2008. “Ekokritik: Kritik Sastra Berwawasan Lingkungan”. Kajian Sastra, 32(1), 31—50.
- Janik, Del Ivan. 1995. “Environmental Consciousness in Modern Literature: Four Representative Examples”. Dalam Deep Ecology for the Twenty-First Century: Reading on the Philosophy and Practice of the New Environmentalism. G. Sessions (Ed.). London: Shambhala.
- Keraf, Sonny A. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Keraf, Sonny A. 2014. Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan. Yogyakarta: Penerbut Kanisius.
- Kubontubuh, Tri Arys Dhyana. 2009. Bali di Mata Krama Bali. Denpasar: Panakom Publishing.
- Nahdi, Khirjan, Mohammad Irfan, & Titin Ernawati. 2020. “Penciptaan Metafora dalam Ruang Persepsi Siswa Sekolah Dasar”. Jurnal Didika: Wahana Ilmiah Pendidikan Dasar, VI (1), Januari—Juni 2020, hlm. 14—23.
- Nauman, Indra Jaya. 2002. Citra Lingkungan Hidup dan Kehati dalam Puisi-Puisi Indonesia Modern. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
- Putra, I Nyoman Darma. 2009. “Sastra Indonesia di Bali Sebelum dan Semasa Umbu Landu Paranggi”. Makalah tidak diterbitkan dalam Rangka Memeriahkan Reuni Apresiasi Sastra 30 Tahun Umbu Landu Paranggi Membina Sastra di Bali, 1979—2009, 16 Juni 2019 di Singaraja.
- Putra, I Nyoman Darma. 2011. A Literrary Mirror; Balinese Reflections on Modernity and Identity in the Twentieth Century. Leiden: KITLV Press.
- Putra, Nyoman Darma. 1998. “Puisi Protes Penyair Bali 1990-an”. Dalam Kumpulan Proses dan Protes Budaya Persembahan untuk Ngurah Bagus. Denpasar: Penerbit Bali Post.
- Santoso, Puji dkk. 2011. Manusia, Puisi, dan Kesadaran Lingkungan. Yoyakarta: Elmatera Publishing.
- Saussure, Ferdinand de.1966. A Course in General Linguistict. Terjemahan W. Baskin. New York: McGraw-Hill.
- Siswantoro. 2016. Metode Penelitian Sastra: Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
- Soelaeman, Munandar. 2007. Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama.
- Sudewa, I Ketut. 2016. “Antologi Puisi Merayakan Pohon di Kebun Puisi Karya I Nyoman Wirata Kajian Ekologi Sastra”. Dalam Prosiding Sastra Hijau dalam Berbagai Media. Yogyakarta: HISKI Komisariat UNY.
- Sudikan, Setya Yuwana. 2016. Ekologi Sastra.Lamongan: CV Pustaka Ilalang Group.
- Sudarti, Ni Wayan. 2015. “Wacana Lingkungan dalam Pupulan Puisi Bali Modern Denpasar lan Don Pasar”. Tesis. Denpasar: Universitas Udayana.
- Sukawidana, G.M. 2015. “Ritus Tanah Bali”. Dalam Upacara-Upacara. Yogyakarta: Akar Indonesia.
- Sunendar, Dadang dkk. (Eds.). Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Gramedia.
- Taro, I Made. 1973. “Oleh-Oleh dari Bali”. Dalam Seekor Burung Buat Tarmada. Denpasar: Seni Lembaga Seniman Indonesia Bali bekerja sama dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
- Titscher, Stefan, dkk. 2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. Terjemahan Gozali, dkk. Mthods of Text and Discourse Analysis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Triadnyani, I Gusti Ayu Agung Mas. 2000. “Acuan dalam Kumpulan Puisi-Puisi Penyair di Bali Periode 1980-an”. Tesis (Magister). Depok: Prodi Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
- Triadnyani, I Gusti Ayu Agung Mas. 2016. “Isotopi Lingkungan dalam Kumpulan Sajak Merayakan Pohon di Kebun Puisi Karya I Nyoman Wirata: Kajian Ekokritik”. Dalam Prosiding Sastra Hijau dan Ekofeminisme. Yogyakarta: HISKI Komisariat UNY.
- Tresnanda, W. 2013. “Makna Kritik Sosial pada Lirik Lagu Siang Sebrang Iwan Fals (Analisis Wacaa Kritis Teun A van Dijk)”. Disertasi. Banten: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
- Uniawati. 2014. ”Nelayan di Lautan Utara: Sebuah Kajian Ekokritik”.
- Kandai: Jurnal Bahasa dan Sastra, 10 (2), hlm. 246—257.
- van Dijck, T.A. 2014. Discourse and Knowledge: A Sociocognitive Approach. Cambridge: Cambridge University Press.
- van Dijk, Teun A. 1988. News as Discourse. Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
- van Dijk, Teun A. 1997. ”Discourse as Interaction in Society”. Dalam Discourse as Social Interaction: Discourse Studies A Multidisciplinary Introduction Vol. 2. Teun A van Dijk (Ed.). London: Sage Publication.
- van Dijk, Teun A. 1997. ”The Study of Discourse”. Dalam Discourse as Structure and Process: Discourse Studies A Multidisciplinary Introduction Vol. 1. Teun A van Dijk (Ed.). London: Sage Publication.
- van Dijk, Teun A. 1998. ”Discourse Structure”. Dalam Ideology: A Multidisciplinary Study. London: Sage Publication.
- van Dijk, Teun A. 2014. Discourse and Knowledge: A Sociocognitive Approach. Cambridge: Cambridge University Press.
- Wahab, Abdul. 1990. Metafora sebagai Alat Pelacak Sistem Ekologi. Yogyakarta: Kanisius.
- Windia, I Wayan. 1974. “Sukawati”. Dalam Malam Sunyi. Denpasar: Yayasan Ilmu dan Seni Lembaga Seniman Indonesia Bali.