Meskipun prosedur pemberian vaksin atau vaksinasi merupakan tindakan di bidang kesehatan yang sudah cukup tua umurnya, belakangan ramai lagi diperbincangkan. Penyebabnya apa lagi kalau bukan karena vaksin untuk penanganan wabah Covid-19. Pandemi Covid-19 memang terlanjur diselimuti kontroversi sejak kehadirannya yang tiba-tiba dan mengagetkan.
Kita menunggu dan terus menunggu, berharap berakhir sendiri seperti wabah generasi pendahulunya sesama virus Corona yaitu SARS dan MERS, namun ia bergeming. Sampai hari ini ia konsisten merebak ke mana-mana, menginfeksi nyaris 100 juta orang dan telah mengambil nyawa lebih dari dua juta penderitanya.
Dari sisi epidemiologi, jika yang terpapar adalah mereka yang status kesehatannya baik, ini merupakan kabar baik. Sebab, ini dapat menciptakan semakin banyak populasi yang kebal dan merupakan syarat terwujudnya kekebalan bersama (herd immunity) yang biasanya terjadi jika minimal 70% populasi sudah kebal. Namun kelemahan mekanisme kekebalan alami ini adalah, kita tidak dapat memilih siapa yang akan terinfeksi.
Faktanya, yang terjadi sangat banyak populasi yang terpapar adalah kelompok yang dengan komorbid, menyebabkan risiko kematiannya lebih besar ketimbang peluang mereka menjadi imun. Maka, skema vaksinasi kemudian menjadi solusi.
Vaksinasi dirancang untuk dapat memilih kelompok yang layak diberikan zat antigenik dengan harapan, mereka menjadi kebal secara spesifik terhadap virus SARS-CoV-2 namun dengan risiko paling kecil. Mewujudkan satu jenis vaksin dalam kurun waktu kurang dari setahun yang cukup efektif baru kali ini terjadi, pencapaian yang patut diapresiasi. Covid-19, memang telah menimbulkan penderitaan nyata di mana-mana, namun di lain sisi pun telah memacu kecemerlangan ilmuwan dalam mengembangkan sains di bidang medis.
Vaksinasi yang telah dimulai di Indonesia, juga di Bali dan di kabupaten Buleleng sudah jelas maksudnya untuk mempercepat terbentuknya kekebalan kelompok yang nantinya dapat “memagari” kelompok rentan yang belum kebal. Masih banyak individu atau kelompok yang ragu-ragu terkait efektivitas dan keamanan vaksinasi Covid-19 ini, sehingga kita harus tetap memberikan informasi yang benar dan faktual serta meluruskan asumsi yang keliru.
Ada sejumlah persepsi keliru soal vaksin Covid-19, diantaranya efek samping vaksin bisa menyebabkan kematian mendadak, kekebalan akan timbul segera begitu setelah vaksinasi, vaksinasi memberi kekebalan seumur hidup atau vaksin mutlak tidak boleh diberikan jika ada komorbid.
Secara medis, syarat utama vaksin atau obat yang akan diberikan kepada pasien adalah tidak meyebabkan efek samping yang serius. Artinya, prinsip risk and benefit itu selalu diutamakan. Jika risiko buruknya lebih besar, sudah pasti vaksin atau obat itu tidak akan disetujui pemakaiannya. Maka kemungkinan tindakan vaksinasi akan menyebabkan efek samping serius sampai kematian mendadak harus dipastikan tidak akan terjadi berdasarkan data valid penelitian luas dan sesuai standar.
Semua platform vaksin adalah menyuntikkan zat yang efek antigeniknya sudah dilemahkan sehingga risiko efek samping berat memang dipastikan tidak terjadi atau vaksinasi tidak justru sebaliknya menyebabkan infeksi Covid-19 pada tubuh pasien. Itulah kenapa vaksinasi tidak dilakukan pada mereka yang memiliki komorbid tertentu yang menyebabkan imunitas mereka menurun.
Hal menarik sempat terjadi baru-baru ini, setelah divaksin seorang public figure langsung menyelenggarakan pesta beramai-ramai dengan sahabat-sahabatnya. Entah ini karena ia punya persepsi bahwa setelah divaksin langsung kebal atau karena alasan lain, yang jelas hal ini secara prosedur kesehatan adalah keliru. Dalah hal terbentuknya antibodi atau kekebalan, vaksinasi butuh setidaknya waktu sebulan melalui mekanisme biologis di dalam tubuh penerima vaksin. Sehingga, sebelum itu kita semua penerima vaksin harus tetap menerapkan protokol kesehatan untuk memotong rantai penularan.
Jangka waktu kekebalan yang diberikan oleh vaksinasi virus akut seperti Covid-19 atau influenza, tidaklan seumur hidup. Efektif sekitar tiga-empat bulan saja. Sehingga jika wabah masih juga merebak maka akan diperlukan pemberian dosis ulangan. Maka dengan realita seperti ini penerapan protokol kesehatan tidak pernah bisa diabaikan begitu saja.
Sama saja dengan gagasan, meskipun kita sudah mendapatkan imunisasi BCG untuk terlindung dari risiko infeksi kuman TBC, namun pola hidup bersih dan sehat selalu harus diterapkan. Atau pada model yang lain, meskipun seseorang telah mengkonsumsi obat anti hipertensi atau obat diabetes, namun menerapkan diet sehat dan olah raga teratur tetap menjadi keharusan.
Tidak semua orang dengan komorbid kemudian tidak layak mendapatkan vaksin Covid-19. Jika komorbid tersebut dinilai terkontrol saat itu oleh dokter yang bertugas sebagai vaksinator, vaksin tetap aman untuk diberikan. Itulah kenapa selalu ada fasilitas untuk memantau KIPI (kejadian ikutan pasca imunisasi). Namun jika vaksinator menilai komorbid seseorang memang memberikan risiko terjadinya kejadian ikutan yang berbahaya maka vaksinasi dibatalkan.
Semakin banyak yang kebal dengan vaksinasi, maka semakin cepat diwujudkan kekebalan komunitas dengan risiko efek samping yang kecil. Dan semakin cepat terbentuk kekebalan komunitas maka semakin cepat wabah usai. Mari vaksinasi Covid-19! [T]