Raja Buleleng mengirimi Stamford Raffles seorang budak laki-laki umur 5 tahun bernama Ketut Jubeleng.
Hati saya sedih memikirkan nasib Ketut Jubeleng. Saya pun memulai investigasi ke mana sekiranya Ketut? Bagaimana nasib seorang anak kecil dikirim bersama seekor kuda hitam sebagai hadiah tambahan buat Raffles.
Nama Ketut Ketut Jubeleng disebutkan surat Raja Buleleng kepada Stamford Raffles. Surat itu bertahun 1226 hijriah, dan bertanggal sehari bulan Safar. Saya coba konversi, semoga tidak salah, menjadi tahun Masehi maka sama dengan Minggu 24 Feb 1811 Masehi.
Kira-kira nasib Ketut Jubeleng dikapalkan ke Batavia tidak berselang lama setelah ditandatangi surat Raja Buleleng tersebut.
Saya membuka arsip dan catatan Raffles, hampir semuanya yang tersedia dalam data digital, baik yang ditulis sahabat Raffles, istri dan juga orang sekitarnya.
“Duh, Ketut, dija cai Tut?” Pasti bapan-memene I Ketut kehilangan dan terus memanggil-manggil Ketut Jubeleng ketika dikapalkan bersama kuda hitam hadiah Raja Buleleng ke Raffles.
Ketut Jubeleng entah anak siapa. Entah soroh kawitannya apa. Tidak jelas. Bisa jadi bapak-ibunya berhutang dan anaknya disita menjadi budak. Hukuman seperti itu masih ada dalam adat Bali ketika surat Raja Buleleng itu ditulis.
Tentang hukum sita anak dan dijadikan budak, Crawfurd sahabat Raffles pernah menulis hal ini. Maka ada anak-anak yang dipekerjakan atau diserahkan ke orang lain akibat orang tuanya berhutang dan tidak mampu melunasi.
Tidak bisa dilacak siapa Ketut, kenapa berujung sebagai budak.
Dalam catat perjalanan Raffes ke Inggeris tercatat seorang anak kecil yang diadopsi di Bali oleh Raffles ikut ke Inggris.
Anak yang diadopsi di Bali oleh Raffles adalah awalnya budak. Tapi karena Raffles menentang perbudakan, setiap ia bertemu budak maka dibebaskan. Tidak terkecuali yang “diadopsi” dari Bali.
Kapal yang berangkat mengangkut Raffles itu ada yang anak adopsi dari Bali, dipanggil oleh Raffles dengan panggilan Dick.
Saya jadi penuh tanya: Apakah Ketut jadi Dick?
Kapal meninggalkan Batavia menuju London tanggal 25 Maret 1816. Dengan beberapa orang Nusantara ikut di dalam kapal itu.
Di atas kapal ada Siami. Seorang Siam ahli bahasa dan penulis, penerjemah Raffles yang handal menguasai banyak bahasa, dan suka menulis puisi.
Ketika kapal meninggalkan Batavia Siami menulis puisi Melayu dan diterjemahkan Raffles ke dalam bahasa Inggeris. Sayang puisi berbahasa Melayunya tidak ketemu.
Di kapal juga ada seorang bangsawan Jawa menyertai Raffles menulis London. Namanya: Raden Rana Dipura. Raden Rana Dipura ada dalam buku Raffles. Seorang pria Jawa yang ahli bahasa. Kemampuannya memukau. Pengetahuannya luar biasa. Diperkirakan Raden Rana Dipura berkontribusi tidak sedikit pada buku magnum opus karya Raffles yang tersohor: The History of Java. Raffles menamai putrinya Charlotte Sophia Tunjung Segara. Itu setelah bercakap dengan Raden Rana Dipura. Sekalipun dinilai tidak pemusik profesional, tapi Raden Rana Dipura membawa gambang. Gambang yang kini disimpan di British Museum setelah diteliti diketahui adalah bawaan Raffles dan Rana Dipura. Sempat manggung dan dikomentari para pemilet (pencinta seni) di London ketika pentas.
Di kapal itu ada anak kecil yang diadopsi Raffles dari Bali, dipanggil Dick. Saya sedikit kecewa, karena awalnya saya kira Ketut-lah yang dipanggil menjadi Dick. Memang Dick diadopsi Raffles di Bali, tapi Dick menarik perhatian di London karena dia mirip para migran atau orang negro Afrika. Disebutkan Dick “menemukan persamaan dirinya” dengan orang negro di London. Dick bukan orang Bali. Ia budak kecil dari Papua. Dikirim diperdagangkan ke Bali Utara, ke Raja Buleleng yang juga terlibat dalam perdagangang budak. Dick anak Papua. Mungkin anak Papua pertama menginjakkan kaki di London. Dick menemani Raffles di rumahnya. Bersama Siami. Dick diulas sedikit kehadirannya dalam sebuat artikel menarik: Africans in Asia: The Discourse of ‘Negritos’ in Early Nineteenth-century Southeast Asia, ditulis oleh Sandra Khor Manickam. Artikel ini masuk dalam buku Responding to the West: Essays on Colonial Domination and Asian Agency diedit oleh Hans Hägerdal terbit tahun 2009.
Pencarian saya untuk menemukan budak Bali usia 5 tahun bernama Ketut Jubeleng menghantar saya membaca kisah perbudakan di masa kolonial. Sampai sampai saya menemukan budak dari Desa Rangdu Buleleng yang terkirim ke Afrika Selatan.
Sebelum saya ceritakan ujung kisah Ketut Jubeleng ini, saya akan ceritakan budak dari Desa Rangdu Buleleng yang terdampar di Afrika Selatan ini. Di Afrika Selatan ia menjadi penyelenggara tajen. Ia penjudi yang ulung mengorganisir tukang tajen atau sabung ayam di Afrika Selatan, tentunya ketika dia sudah terbebas jadi budak. Sebagai tukang tajen namanya tercatat di sejarah perbudakan Afrika. Tapi lebih membuat gempar sejarah perbudakan Afrika karena I Rangton ahli ukir dan punya peninggalan estetika di penjara yang menjadi tempat Nelson Mandela dipenjara. Budak dari Bali yang dikenal di Afrika ini dipanggil I Rangton, dipanggil demikian, karena diperkirakan dari sesuai asal desanya Desa Rangdu, Buleleng.
Pintu karya budak dari Buleleng ini diperkirakan dibuat sekitar tahun 1673-1720. Jadi ada orang Buleleng terjual menjadi budaya di Afrika dan membuat tajen setelah bebas di sana. Prof Robert C.-H. Shell menulis artikel sangat rinci tentang budak Buleleng ini. Artikelnya berjudul: Behind Rangton’s door: A Balinese wood-carver slave at Stellenbosch, 1673-1720. Dilacak asal-usul I Rangton dan sejarah para bos alias pembelinya. Siapa tuannya di Batavia, sampai berujung dijual ke Afrika. Yang lebih menarik lagi karya seni I Rangton dipelajari. Pintu dan sangkar burung karya I Ranton masih ada.
Jika Ketut Jubeleng dikirim oleh Raja Buleleng di tahun 1811, lalu siapa yang mengirim atau menjual I Rangton sekitar tahun 1673-1720?
PANJI SAKTI-lah yang diperkirakan menjual I Rangton sebagai budak ke Batavia.
Dalam artikel lain berjudul RANGTON VAN BALI (1673-1720): ROOTS AND RESURRECTION Prof ROBERT C-H. SHELL, Princeton University, memperpanjang artikelnya yang lain, melihat Raja Panji Sakti yang menjual I Rangton. Ia menulis sebagai berikut:
The person who enslaved Rangton: Gusti Panji Sakti
When the Dutch occupied the Cape in 1652, Bali was in the midst of a civil war. At the centre of this war was the figure of a parvenu king, Gusti Paiiji Sakti. He fought for suzerainty over the Buleleng, in the area known as the Den Bukit, in the foothills of the mountain where Rangton was born. The future king of Northern Bali was of low social origin. He was helped in his rise to power by his own ruthlessness and a few independent Dutch slaving mercenaries. Any Dutchmen who attempted to bypass Panji Sakti in foolhardy attempts at independent slave trading in the interior were summarily executed. Two Dutchmen, skip- per Hornbeek and burgher Andries Hardy, for example, were executed in public by blowpipe in front of the king’s house in 1664. Such executions were neces- sary since unlicensed independent slave traders had inadvertently enslaved some of the King’s followers. In the following years, the Gusti hired two Dutch shah- bandars (harbour masters). They were Messrs. Mossel and Michiel~ both were ‘vitally interested in Western technology’ i.e. guns. Jan Troet, a free burgher of Dutch descent born in Ambon, who regarded the king as ‘his elder brother’ was the man who introduced Panji Sakti to modem weapons and how to build fortifi- cations. He was put to death in 1672 or 1673, the year of Rangton’s birth. Troet’s tale was immortalized by Francois Valentijn, who later stayed with Troet’s widow in Ambon. The betrayal retarded Dutch slaving activity in Bali, but Chinese traders, stationed at the port of Buleleng – the port nearest to Rangton’s village – took up the slack. Troet’s story is important, because it was his written reports as a burgher and complaints to the VOC about Balinese slave amuck runners that led to the first VOC legislation in 1665 forbidding the own- ership of Balinese slaves by all Company employees in all Dutch possessions, a point which Gerrit Schutte vigorously denies.
[Orang yang memperbudak Rangton: Gusti Panji Sakti
Ketika Belanda menduduki Tanjung pada 1652, Bali berada di tengah-tengah perang saudara. Di tengah perang ini adalah sosok raja pemula, Gusti Panji Sakti. Dia memperjuangkan kekuasaan atas Buleleng, di daerah yang dikenal sebagai Den Bukit, di kaki gunung tempat Rangton lahir. Raja masa depan Bali Utara ini memiliki asal sosial yang rendah. Dia terbantu dalam kebangkitannya untuk berkuasa oleh kekejamannya sendiri dan beberapa tentara bayaran budak Belanda yang independen. Setiap orang Belanda yang berusaha melewati Panji Sakti dengan usaha yang bodoh dalam perdagangan budak independen di pedalaman akan dieksekusi. Dua orang Belanda, juragan Hornbeek dan perampok Andries Hardy, misalnya, dieksekusi di depan umum dengan sumpitan di depan rumah raja pada tahun 1664. Eksekusi seperti itu diperlukan karena pedagang budak independen tanpa izin secara tidak sengaja memperbudak beberapa pengikut Raja. Pada tahun-tahun berikutnya, Gusti (Panji Sakti) mempekerjakan dua shah-bandar Belanda (tuan pelabuhan). Mereka adalah Tuan Mossel dan Michiel ~ keduanya ‘sangat tertarik dengan teknologi Barat’ yaitu senjata. Jan Troet, pencuri bebas keturunan Belanda kelahiran Ambon, yang menganggap raja sebagai ‘kakak laki-lakinya’ adalah orang yang memperkenalkan Panji Sakti pada senjata modern dan cara membangun benteng. Dia dihukum mati pada 1672 atau 1673, tahun kelahiran Rangton. Kisah Troet diabadikan oleh Francois Valentijn, yang kemudian tinggal bersama janda Troet di Ambon. Pengkhianatan tersebut memperlambat aktivitas perbudakan Belanda di Bali, tetapi para pedagang Cina, yang ditempatkan di pelabuhan Buleleng – pelabuhan terdekat dengan desa Rangton – mengambil alih. Kisah Troet penting, karena laporan tertulisnya sebagai pembobol dan keluhan kepada VOC tentang pelarian amuk budak Bali yang menyebabkan undang-undang VOC pertama pada tahun 1665 yang melarang kepemilikan budak Bali oleh semua karyawan Perusahaan di semua kepemilikan Belanda, suatu hal yang dengan tegas disangkal oleh Gerrit Schutte.]
Karena menginvestigasi Ketut Jubeleng akhirnya saya mendapat informasi kalau Kerajaan Buleleng dibangun atas dukungan Jan Troet, pencuri bebas keturunan Belanda kelahiran Ambon, yang memperkenalkan senjata dan pembangunan benteng pada Panji Sakti. Francois Valentijn mencatat kalau Jan Troet dihukum mati di Buleleng pada 1672 atau 1673. Francois Valentijn kemudian tinggal bersama janda Troet di Ambon. Ketika Panji Sakti menjadi raja Buleleng syahbandarnya ternyata dua orang Belanda: Tuan Mossel dan Michiel.
Prof ROBERT C-H. SHELL memperkirakan tahun Jan Troet dihukum mati di Buleleng, yaitu 1672 atau 1673 adalah tahun lahiran I Rangton. Diperkirakan ketika Rangton lahir pada tahun 1673, perang saudara Bali menyurut dan berakhir. Pada tahun 1683, ketika Rangton berumur sekitar sembilan tahun. Ketika itu, GG Maetsuyker mencatat bahwa Gusti Panji Sakti adalah raja ‘oleh Billilly (atau Buleleng) di tanah Bali, yang paling kuat dari semua tetangganya. Pada 1687 berdasar catatan sejarah dapat menyimpulkan bahwa perselisihan sipil di pulau Bali telah berakhir.
Pada tahun 1708, meskipun ada dikabarkan Panji Sakti telah mati, raja Bali mengekspor 200-300 budak per tahun. Tegas Prof ROBERT C-H. SHELL: “Sejarah wilayah dan periodisasi perang budak semua menegaskan bahwa Rangton kemungkinan besar diperbudak pada masa pergolakan kebangkitan Gusti Panji Sakti dan konsolidasi kekuasaannya.”
I Ranton yang diperkirakan lahir tahun 1672 atau 1673 adalah “komoditas” dari Raja Panji Sakti. Sementara itu, Ketut Jumeleng yang dikirim sebagai budak tahun 1811 di usianya baru 5 tahun (artinya lahir tahun 1806), adalah komoditas Raja Buleleng yang bernama Seri Paduka Ratu Gusti Wayahan Karangasem. Situasi Bali masa 134 tahun, dari kelahiran I Ranton (1672) sampai kelahiran Ketut Jumeleng (1806), selama itu Raja Buleleng dan raja-raja Bali lainnya menjual budak, yang tak lain penduduknya sendiri.
Perbudakan di Buleleng belum berakhir sampai tahun 1811. Surat Raja Buleleng Gusti Wayahan Karangasem ke Sir. Raffles menjadi buktinya. Sebagai berikut:
“Bahawa ini surat yang terbit daripada nur al-qalubil (sic, qalb) yang amat gilang gemilang akan memberi terang benderang pada antara segala makhluk yang saudara bersaudara sahabat bersahabat iaitu daripada Seri Paduka Ratu Gusti Wayahan Karang-Asyam (sic) yang tahta [sic] kuasa memerintah negeri Bali Buleleng Singaraja yang senantiasa berniat pada berkasih-kasihan iaitu barang disampaikan kiranya pada paduka saudara kita Tuan Tamas Raffles Askoyar (sic) yang empunya tahta (sic) kuasa memerintah negeri kompeni Inggerisy (sic) Benggala; yang melakukan hukum beserta dengan bersetia budi perangai keelokan dan kemanisannya pada antara segala sahabat; serta barang dilanjutkan usia umur zamannya seperti peredaran bulan dan matahari, pergantian malam dan siang dengan selama-lamanya. Amin ya ilaihi al ‘alamin.
“Waba’adah kemudian daripada itu adalah kita memberi maklum kepada saudara jikalau datang itu Kapitan Greq [g-r-y-q] ke tanah Buleleng kita mahu menumpangkan kita punya utusan serta dengan kita punya surat. Maka kita pintak kepada saudara apa-apa saudara punya suka yang di tanah Bali itu melainkan saudara kirim surat kepada kita seboleh-bolehnya kita carikan; melainkan itu Kapitan Greg (sic) yang boleh sampaikan utusan kita kepada saudara.
“Syahadan, suatupun tiada tanda ikhlas hanyalah satu kuda hitam adanya dan satu budak laki-laki kecil umur lima tahun bernama KETUT JUBELENG [j-b-l-y-ng) adanya.
“Tersurat dalam peseban negeri Bali Buleleng Singaraja kepada sehari bulan bulan Safar, hari Sabtu tahun 1226”.
Raja Buleleng dalam menulis surat ini dibantu oleh seorang warga Islam berpendidikan, demikian catatan dari pihak Raffles yang saya baca. Surat-surat biasanya diterima dan langsung diterjemahkan lalu dibaca Raffles. Kemungkinan Raden Rana Dipura sebagai penterjemahnya, bersama Siami. Dalam surat di atas nama Ketut Jubeleng tertulis jelas.
Surat Raja Buleleng demikian mesra. Tentang kemesraan hubungan Raja Buleleng dengan Raffles, diakui sendiri oleh Raffles dalam sebuah surat kepada Lord Minto.
Tulis Raffles:
“Mr. Greigh’s report on his return from Bali Baliling, as well as the letters of the Bali Rajahs, which evince the warmest and most sincere attachment of these chieftains to the English cause, will I have no doubt prove highly satisfactory to your Lordship. The Rajah of Bali Baliling, with whom I first opened a communication, has not only on all occasions exhibited the greatest demonstrations of friend- ship towards the English, but zealously co-operated with me in conveying letters and intelligence to the Eastern chiefs, with whom I have found it most difficult to open a communication, particularly the Susuhunang, the sultan of Mataram, the sultan of Madura and the Panambuhan of Samanap. The sultan of Carang Asam and Lombok, to whom I had not addressed a letter in the first instance, as soon as he was informed of our intentions of invading Java, came immediately forward and offered his sernces in the most friendly manner. The other Rajahs of Bali, with whom a direct communication has not as yet been opened, are all I understand equally well affected to the English cause.
“ As the success of the measures adopted with regard to the Bali Rajahs has been so complete, that we may safely count on every kind of assistance which the islands of Bali and Lombok are capable of furnishing, I think it of some importance to advert somewhat more particularly to their present state and resom’ces, than in my former despatches to your Lordship.
[Laporan Greigh dari sekembalinya dari Bali Baliling, serta surat-surat Raja Bali, yang menunjukkan keterikatan yang sangat hangat dan paling tulus dari para kepala suku ini kepada Inggris, saya yakin akan terbukti sangat memuaskan bagi Yang Mulia. Raja Bali Baliling, dengan siapa saya pertama kali membuka komunikasi, tidak hanya di semua kesempatan menunjukkan persahabatan terbesar terhadap Inggris, tetapi dengan bersemangat bekerja sama dengan saya dalam menyampaikan surat-suratnya dan intelijen d kepala suku Timur, dengan siapa saya paling sulit untuk membuka komunikasi, terutama dengan Susuhunang, sultan Mataram, sultan Madura dan Panambuhan Samanap. Sultan Carang Asam dan Lombok, yang pertama kali tidak saya tujukan suratnya, begitu dia diberitahu tentang niat kami untuk menyerang Jawa, segera maju dan menawarkan jasanya dengan cara yang paling ramah. Raja-raja Bali lainnya, yang komunikasi langsungnya belum dibuka, semua yang saya mengerti sama-sama terpengaruh dengan tujuan Inggris.
“Berhubung keberhasilan langkah-langkah yang diambil sehubungan dengan Raja Bali telah begitu lengkap, sehingga kami dapat dengan aman mengandalkan setiap jenis bantuan yang mampu diberikan oleh pulau Bali dan Lombok, saya pikir ada baiknya untuk sedikit berkabar lebih khusus lagi tentang keadaan dan hasil mereka saat ini, sebagaimana dalam kiriman saya sebelumnya kepada Yang Mulia.”]
Demikian surat tertutup Sir Raffles ke Lord Minto yang menjadi atasnya.
Dalam surat itu disebutkan Raja Bali siap mendukung “menyerang Jawa”(?). Terkhusus Raja Buleleng mendukung penuh dan siap menyokong Inggeris dalam memperluas dan mempertahankan kekuasaannya. Menunjukkan dukungan dan komitmen kerjasama Raja Buleleng dengan pihak Inggeris, dalam hal ini diwakili oleh Raffles, disertakan “tautan” dalam suratnya berupa seekor kuda hitam dan Ketut Jumeleng.
Marilah kembali ke pelacakan nasib Ketut Jumeleng.
“‘After breakfast,’ recorded Taylor, Lord Minto accepted gifts not only a baby orangutan from the Rajah of Pontianak but ‘5 slave boys and two girls, none above 6 or 7 years old,’ from a Rajah of Bali. The children were emancipated from slavery immediately, which left them with the status of dependant orphans. “Next day they were all very merry and happy,’ wrote Minto. “George has taken one of the boys to serve him on board ship, and that boy has fallen on his legs. Mr Raffles will take care of one or two, and the rest have fallen to my lot. They will probably grow into very good servants. The girls will puzzle me most. I have some thought of baking them in a pie against the Queen’s birthday…’ All the children were staying for the time being with Raffles and Olivia, along with the three Raffles sisters, Maryanne’s children, and Leonora’s husband. Their house must have been rather crowded.”
[“Setelah sarapan,” catat Taylor, Lord Minto menerima hadiah tidak hanya bayi orangutan dari Rajah Pontianak tetapi “5 budak laki-laki dan dua perempuan, tidak ada yang berusia di atas 6 atau 7 tahun,” dari seorang Raja Bali. Anak-anak segera dibebaskan dari perbudakan, yang membuat mereka berstatus yatim piatu yang bergantung. “Keesokan harinya mereka semua sangat riang dan bahagia,” tulis Minto. George telah membawa salah satu anak laki-laki untuk melayaninya di atas kapal, dan anak laki-laki itu terjatuh dengan kakinya. Tuan Raffles akan mengurus satu atau dua anak, dan sisanya jatuh ke tangan saya. Mereka mungkin akan tumbuh menjadi sangat baik pelayan. Gadis-gadis itu akan membuatku bingung. Aku sempat berpikir untuk memanggangnya menjadi pai pada hari ulang tahun Ratu … ‘Semua anak tinggal untuk sementara waktu bersama Raffles dan Olivia, bersama dengan tiga saudara perempuan Raffles, anak Maryanne , dan suami Leonora. Rumah mereka pasti agak ramai].
Catatan Lord Minto ini saya temukan dalam buku “Raffles: And the Golden Opportunity” oleh Victoria Glendinning. Sebuah catatan usai makan pagi Lord Minto dengan Raffles, 18 Mei 1811, di Melaka. Dari sini saya mendapat harapan memperkirakan salah satu budak itu adalah Ketut.
Sebelumnya ada baiknya menceritakan sekilas tentang Lord Minto. Sosok ini sangat penting. Bukan hanya terkait Ketut, tapi karena Prasasti Sanggurah, prasasti Jawa Kuno berangka tahun 982 Masehi yang ditemukan di daerah Malang, sampai kini berada di rumah Lord Minto di Roxburghshire, Skotlandia. Sebuah tulisan menyebutkan sebagai berikut: “Gilbert Elliot-Murray-Kynynmound, 1st Earl of Minto atau dikenal sebagai Lord Minto, Gubernur Jenderal Inggris di India (1807 – 1813) bersama Thomas Stamford Raffles memimpin armada Inggris menyerbu Jawa, dan pada 6 Agustus 1811. Pasukan Inggris mendarat di Jawa, tanpa suatu perlawanan yang berarti dari tentara Belanda-Prancis, tentara Inggris menduduki pulau Jawa dan kemudian menguasai seluruh wilayah Belanda-Prancis. Pada 11 September 1811 Raffles, yang waktu itu baru berusia 30 tahun, diangkat menjadi Letnan Gubernur Jenderal untuk India-Belanda. Itulah awal penjajahan Inggris di Indonesia, yang juga disebut sebagai The British Interregnum.”
Hubungan antara Lord Minto dan Raffles adalah hubungan yang tidak hanya komandan dan anak buah, tapi jauh dari itu mereka saling respect, keduanya punya tertarikan besar pada sejarah Jawa, dan paham kebudayaan Asia dengan sangat baik.
Surat Raja Buleleng ke Raffles bertanggal Minggu 24 Feb 1811 Masehi kepada Raffles itu punya kaitan sejarah dengan penyerangan Raffles ke Jawa. Thomas Stamford Raffles memimpin armada Inggris menyerbu Jawa pada 6 Agustus 1811. Artinya Ketut Jumeleng dikirim ke Raffles 6 bulan sebelum Raffles menyerang atau mengambilalih Jawa. Raja Buleleng menyatakan kesanggupan menyerang Jawa 6 bulan sebelum penyerangan. Kunjungan Greigh sebagai perwakilan Raffles bertemu Raja Buleleng sebagai usaha konsolidasi dan mencari dukungan sebelum penyerbuan Jawa oleh Raffles dan Lord Minto.
Demikian juga kita bisa membayangkan bahwa Ketut Jumeleng tidak dikirim ke Batavia, tapi ke Melaka, karena di sana pertemuan antara Lord Minto dan Raffles sebelum menyerang Jawa. Ketut Jumeleng bersama anak-anak lain, yang dari Pontianak, ketika sampai di Melaka untuk sementara waktu bersama tinggal Raffles dan Olivia (istri Raffles), dengan tiga saudara perempuan Raffles, anak Maryanne, dan suami Leonora.
Tidak dapat saya lacak apakah Ketut ikut penyerangan Jawa. Yang jelas disebutkan ia tinggal sementara di rumah Raffles. Ia terlalu kecil, diperkirakan 5 atau 6 tahun, tidak mungkin diajak dalam penyerangan Jawa. Apakah Ketut ke Jawa ketika Jawa telah jatuh ke tangan Inggeris di bawah Raffles dan Lord Minto? Juga tidak terlacak.
Akhirnya saya menemukan Ketut:
Ketut mekamen (berkain), tidak berbaju, matanya tajam dan bersih, tampan, tapi guratan kesedihan mendalam di wajahnya. Saya menemukan Katut alias Ketut dalam sebagai ilustrasi buku. Ketut dijadikan sket wajah orang Bali yang muncul dalam buku sahabat Raffles. Wajah Ketut menghiasi buku History of the Indian Archipelago: containing an account of the manners, arts, languages, religions, institutions, and commerce of its inhabitants karya John Crawfurd (1783-1868). John Crawfurd FRS (13 Agustus 1783 – 11 Mei 1868) adalah dokter berkebangsaan Skotlandia, yang akhirnya menjadi diplomat. Kegemarannya menulis mengantarnya menjadi administrator kolonial ditunjuk oleh Raffles. Dalam karya terkenalnya History of the Indian Archipelago, ada wajah Ketut. John Crawfurd perannya dalam mendirikan Singapura. Ia lahir di Islay, Argyll, Skotlandia, mempelajari ilmu kedokteran dan menyelesaikan studi kedokterannya di University of Edinburgh, 1803, pada umur 20 tahun, selanjutnya bergabung dengan East India Company sebagai spesialis bedah. Oleh East India Company, Crawfurd dikirim pada 1808 ke Penang, di mana dia mempelajari bahasa dan budaya Melayu. Di sini ia bertemu dengan Stamford Raffles. Pada tahun 1811, Crawfurd menemani Raffles dalam penyerangan Jawa bersama Lord Minto. Belanda kalah. Raffles diangkat menjadi Letnan-Gubernur Jawa oleh Minto selama operasi 45 hari. Bulan November 1811 Crawfurd diangkat sebagai Gubernur Residen di Pengadilan Yogyakarta.
Dick anak Papua yang akhirnya ke London bersama Raffles itu pun menghiasi buku John Crawfurd dan Raffles. Untuk menggambarkan perbedaan warna kulit dan ras yang menjadi penduduk kepulauan Nusantara, dibuat sketsa mereka menjadi satu bingkai. Tertulis di bawahnya: A Papua or Negro of the Indian Islands (left) and Katut, a native of Bali (right), dimuat dalam buku John Crawfurd yang terbit tahun 1820, History of the Indian Archipelago: Containing an Account of the Manners, Arts, Languages, Religions, Institutions, and Commerce of its Inhabitants (Vol. I). Edinburgh: Printed for Archibald Constable and Co.
Saya tidak bisa melacak usia berapa Ketut ketika dibuat sket ini. Terlihat dia tidak berusia 5 atau 6 tahun. Buku ini terbit tahun 1820. Jika diurut: Minggu 24 Feb 1811, Ketut masih di Buleleng, atau baru diberangkatkan bersama Greigh yang berkunjung ke Raja Buleleng, untuk diserahkan ke Raffles atau Lord Minto. 18 Mei 1811 Lord Minto anak-anak budak kiriman yang 2 diantaranya dari Bali, jelas yang dimaksud salah satunya adalah Ketut Jumeleng. Ketika itu usianya tidak lebih dari 6 tahun menurut penuturan Lord Minto, usia 5 tahun menurut surat Raja Buleleng. Ia diajak ke rumah Raffles tinggal bersama keluarga Raffles sementara waktu ia menyerbuan Jawa beberapa bulan kemudian. Sket ini kemungkinan sebelum terbit buku 1820. Perkiraan saya usianya ketika dibuat sket telah berumur 10 atau 11 tahun. Jika sket ini dibuat setahun sebelum buku terbit, maka usia Ketut ketika itu adalah 14 tahun.
Di mana Ketut disket? Di Melaka? Jawa? Atau Inggeris? Semuanya mungkin. Selain sket itu belum saya jumpai infomasi lain. Tetapi jika Ketut selalu bersama-sama denga Dick anak Papua itu, maka kemungkinan ketika Dick pulang ke Inggeris Ketut Jumeleng juga ikut bersama ke Inggeris.
Ada yang seakan membawa titik terang. Nama seniman pelukis yang mengerjakan sket ini tertulis di sudut bawah sket Ketut Jumeleng. Tertulis nama W. H. Lizars. Nama ini membuat saya girang. William Home Lizars (1788 – 30 Maret 1859) adalah seorang pelukis dan engraver Skotlandia. Sumber Wikipedia menyebutkan Lizars berperan aktif dalam pendirian Royal Scottish Academy. Makam ada di St Cuthberts, Edinburgh. Ayahnya adalah seorang penerbit dan engraver yang pernah menjadi murid Andrew Bell, dan meng-engraved potret sebagai ilustrasi buku. Hidupnya memang terlibat dengan percetakan dan ilustrasi ketika itu.
Hanya saja, kegirangan saya pupus. Tidak ada informasi keterlibatan pribadi dan kehidupannya dengan Raffles ataupun John Crawfurd. Mungkin ia hanya berperan sebagai engraver di belakang layar menyediakan plat cetak di percetakannya dan tidak berpetualang ke dunia Timur seperti Raffles dan Crawfurd. Tampaknya W. H. Lizars hanya membuat engrave cetak tembaga untuk ilustrasi buku tersebut. Sementara itu, sket Ketut bukan dibuat oleh Lizars.
Kalau kita bandingkan dengan sket raja Buleleng, gadis Buleleng, Ida Gede Bayan, yang menghiasi buku Raffles, History of Java, kemungkinan ada tukang sket keliling bekerja untuk buku-buku yang terbit ketika itu tentang Bali. Kelihatan Raffles punya “juru gambar” yang handal. Semua ilustrasi dalam The History of Java sangat metaksu dan bisa menangkap ruh yang dilukisnya. Raja Buleleng, gadis Buleleng, Ida Gede Bayan, jelas dibuat sketnya di Buleleng. Bagaimana dengan Ketut Jumeleng?
Istri Raffles, Olivia Mariamne Devenish meninggal di Bogor 26 November 1814. Lord Minto memberi kesaksian ketika di Melaka Ketut tinggal bersama Olivia. Di Bogor Olivia dikubur, dengan monumen memorial Kebon Raya Bogor, dulu bernama Buitenzorg (Bogor).
Empat tahun menguasai Jawa, Raffles banyak melakukan pemetaan candi di seluruh Jawa. Melacak semua candi besar dan mencanangkan restorasi Borobudur dan Prambanan, dan pemetaan ratusan situs candi di seluruh Jawa.
Istrinya, Olivia, meninggal pada tanggal 26 November 1814, sebuah peristiwa yang menghancurkan semangat Raffles. Jawa seperti runtuh secara tidak langsung oleh letusan Tambora, tahun 1815, yang meluluhlantak Nusantara. Pada tahun 1815, ia berangkat lagi ke Inggris, tidak lama sebelum pulau Jawa dikembalikan ke kekuasaan Belanda setelah Perang Napoleon, yang menghasilkan Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1814. Raffles telah disingkirkan dari jabatannya oleh East India Company sebelum penyerahan dan secara resmi digantikan oleh John Fendall karena kinerja keuangan koloni yang buruk selama pemerintahannya dan tuduhan ketidakwajaran keuangan di pihaknya sendiri. Salah satu sebabnya adalah bencana Tambora yang membuat lumpuh dunia perdagangan dan pertanian gagal total. Ia berlayar ke Inggris pada awal tahun 1816 untuk membersihkan namanya dan, dalam perjalanan, mengunjungi Napoleon, yang berada di pengasingan di St. Helena.
Kapal yang dibawa Raffles menuju London tanggal 25 Maret 1816. Kemungkinan ada Ketut di sana bersama Dick anak Papua yang tercatat ikut bersamanya. Sir Thomas Stamford Raffles berada di Inggeris bersama Raden Rana Dipura, Dick anak Papua, mungkin juga Ketut di sana, dan kembali ke Sumatera untuk menguasai Bengkulu dari tahun 1817-1824.
Saya membayangkan Ketut ikut Crawfurd karena Ketut muncul dibukunya.
Crawfurd tidak jauh-jauh dari Raffles. Nasib Ketut juga sama. Kalau tidak dengan Raffles, kemungkinan dengan Crawfurd. Crawfurd ditunjuk sebagai British Resident of Singapore pada Maret 1823. Dia diperintahkan untuk mengurangi pengeluaran pada pabrik yang ada di sana, tetapi alih-alih mengurangi, ia malah merespon situasi komersial lokal, dan menghabiskan uang untuk pekerjaan perbaikan kanal sungai. Ia juga menyelesaikan kesepakatan akhir antara East India Company, dan Sultan Hussein Shah dari Johor dengan T Menggong, tentang kejelasan status Singapura pada 2 Agustus 1824. Itu merupakan puncak dari negosiasi yang dimulai oleh Raffles pada tahun 1819, dan kesepakatan tersebut sekarang kadang-kadang disebut Perjanjian Crawfurd. Dia juga memiliki peran penting ke dalam Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824 yang berhubungan dengan bidang pengaruh di Hindia Timur.
Saya membayangkan kemampuan berbahasa Bali Ketut pasti padam perlahan.
Usia 5 tahun dia diasingkan dari Bali dan bergaul dengan warga Inggeris. Mungkin saja sehari-hari berbahasa Melayu ketika di Melaka, kalau bicara dengan penduduk Melayu. Dengan Raffles, Olivia, atau Crawfurd, bisa jadi berbahasa Melayu karena mereka mahir memakai bahasa Melayu. Selebihnya berada di tengah orang-orang Inggeris, ada kemungkinan ia terbiasa mendengar bahasa Inggeris. Jika ikut ke Inggeris 1916-1917, ia punya pengalaman setahun di Inggeris. Tentu bersama Siami, Dick dkk itu mereka punya kemampuan yang beradaptasi dalam kelompok penguasa Inggeris. Setidaknya kalau ia menjadi pembantu, ia belajar banyak, dan… Raffles anti perbudakan, tentu dia diperlakukan baik.
Nama Ketut tidak tercatat dalam buku kenangan tugas Raffles di Java dan Bengkulu yang ditulis oleh Sophia Raffles, istri Raffles yang dinikahi tahun 1816.
Jika Ketut akhirnya menetap di Singapore atau Melaka, saya bayangkan dia tidak kesepian. Ketut bukan orang Bali satu-satunya. Banyak perempuan Bali ketika itu dibawa dari Betavia ketika itu ke Singapore dan Melaka. Mereka menikah dan atau menjadi pembantu rumah tangga di kelompok Peranakan China di Melaka dan Singapore ketika itu. Ketika tahun 2004-2007 saya sempat wara-wiri di Singapore dan Melaka, begitu teman-teman di sana tahu saya orang Bali, cukup banyak Peranakan di sana bercerita punya buyut perempuan dari Bali. Banyak kisah perempuan Bali menikah dengan Babah atau peranakan di Melaka dan Singapore. Saya dibuat kaget. Saya membayangkan Ketut mungkin tidak kesepian di sana jika bertemu orang Bali di Singapore atau Melaka. Atau… Ketut sudah tidak peduli lagi, malah fasih bergaul dan bercampur dengan pribumi di sana.
Sampai di sini sementara saya tutup penelusuran saya menginvestigasi Ketut Jumeleng. Ada baiknya penelusuran saya mencari Ketut buntu. Saya sering berpikir lebih banyak orang yang tidak tercatat sejarah, seperti para sahaja yang hidup dalam sederhanaan dan hening, yang jauh dari kebisingan politik atau popularitas, lebih bahagia dibanding mereka yang tercatat dalam pusaran politik dan populeritas yang kadang juga sangat absurd. [T]