Kita takkan pernah tahu, kapan dan di mana hembusan nafas kita berakhir. Segalanya misteri abadi yang senantiasa disegani. Bahkan jika kematian itu dipersiapkan dan direncanakan sekali pun, sesungguhnya selalu, ia tak pernah diharapakan. Sebuah kematian yang direncanakan dan dipersiapkan pastilah sebuah hukuman. Entah itu oleh orang lain atau pun dari diri sendiri. Eksekusi di tiang gantungan yang disahkan negara, tebasan sadis di leher oleh belati dendam kesumat atau keputusan untuk bunuh diri yang hampa. Kelahiran sebaliknya, selamanya dinanti dan diharapkan. Maka jika ada kelahiran yang tak diharapkan, itu jelas sebuah hukuman yang telah dijatuhkan jauh sebelum kelahiran menyapa. Satu drama kehidupan manusia yang diselimuti segala kesuraman dan selalu menyiksa nurani. Hingga pada baris ini, kalimat yang tertulis masih menggambarkan betapa kematian selalu saja menuntut pengakuan yang tak biasa-biasa saja. Ia adalah kemewahan yang tetap minta untuk selalu disegani, ditakuti dan diperdebatkan bahkan dijadikan alasan untuk berperang.
Hari ini, dalam kepungan wabah global Covid-19, kematian berdatangan silih berganti dan tak sedikit yang menuntut kemewahannya. Kemewahan sering kali bukan sekutu kebahagiaan, namun dapat pula sebagai wakil alam bawah sadar dari sebuah pemberontakan akan kemiskinan. Ada gelimang rasa jengah, mungkin rasa bersalah. Atau dapat juga lantaran satu tradisi yang telah menjauhkan hati manusia dengan kehidupan, namun menyanderanya bersama rasa pahit kehilangan akibat kematian. Hati manusia kian jauh dengan kehidupan yang segar berseri, sederhana dan bersahaja namun semakin dekat dengan kematian yang kelam dan penuh kesombongan. Hampir setiap hari petugas pemulasaraan jenazah bersitegang dan saling salah pengertian dengan keluarga pasien yang meninggal akibat Covid-19 atau terduga. Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah dengan tradisi adat istiadat yang tebal dan mendarah daging seperti di Bali ini. Satu pihak mesti bertahan pada prinsip-prinsip asepsis yang diperintahkan negara sementara tentu saja hal ini dapat meniadakan akses keluarga untuk melaksanakan ritual yang secara tradisional sedemikian penting dan prinsip.
Kematian, sekali lagi, akan selalu misterius dan meninggalkan kita dalam kebingungan. Protokol universal memang telah memisahkan jenazah pengidap Covid-19 dengan keluarganya. Keduanya tak dapat bertemu dalam spirit budaya mendalam dan penuh emosional yang dalam sejarah tradisi selalu memberi rasa lega. Sedemikian fundametal kah, tradisi itu? Terutama di saat kita dihadapkan pada situasi yang sangat sulit seperti ini? Sebetulnya ada berbagai keadaan yang juga dapat memberikan keadaan seperti ini seperti kematian akibat kecelakaan pesawat terbang, kapal laut, aktivitas di alam seperti mendaki gunung, korban penculikan dan pembunuhan yang dapat melenyapkan jenazah dari keluarganya. Maka, sedemikian jelas tampaknya, kematian takkan bisa kita kuasai tempat dan waktunya. Namun kehidupanlah yang sedang menunggu kita untuk dikuasai dan dimuliakan.
Kita sering lupa untuk menghargai kehidupan yang menyimpan segala kebaikan, namun sebaliknya, mengagungkan kematian dengan penuh emosional dan tak rasional. Contoh di atas, kematian karena virus Corona, sudah memberi gambaran yang cukup jelas akan hal ini. Kita abai dengan protokol Covid-19 yang begitu sederhana seperti memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Sebagian dari kita memilih untuk berdebat dan saling menyalahkan. Bahkan tokoh dunia sekaliber presiden Donald Trump pun punya reputasi buruk menolak dengan skeptis anjuran protokol ini. Dan seperti yang kita ketahui bersama, Trump dan Ivana, ibu negara Paman Sam itu, kini harus menjalani karantian mandiri selama paling tidak 14 hari lantaran terkonfirmasi positif SARS-Cov-2. Tak melulu terkait wabah saat ini, sejujurnya kita memang kurang menghargai kehidupan, alam dan sesama. Entah berapa juta hektar hutan yang telah kita babat tanpa belas kasihan, dan saat banjir atau tanah longsor menyerang balik dan mengambil beberapa nyawa dari kita, kita pun riuh rendah simpati dan memuja nestapa ini berhari-hari.
Pun dengan sesama, kita belum betul-betul sepenuhnya merayakan hidup ini dengan sehebat-hebatnya dalam welas asih dan humanisme. Sebagian dari kita masih sulit menerima perbedaan dalam nilai-nilai pluralisme. Sentimen SARA yang kerap menciptakan konflik rasial masih sering mencorang-coreng kehidupan yang semestinya indah berwarna-warni. Bahkan di sana sini masih terdengar sikap-sikap buruk stigmatisasi terhadap penderita Covid-19 alih-alih mendukung mereka. Di bangsal-bangsal rumah sakit yang penuh penderitaan, tak sedikit orang tua yang kehilangan harapan karena telah ditelantarkan anak-anaknya sendiri. Bukankah perhatian dan kasih sayang semasa mereka hidup jauh lebih bermakna ketimbang hingar bingar dengan biaya besar saat upacara ngaben? Mari kita renungkan bersama gagasan ini. Saat kita telah menghargai dengan kedalaman hati, kehidupan yang sebetulnya sederhana ini, maka kita takkan sekalipun perlu menatap kematian dengan penuh kerumitan. Ia, seharusnya hanyalah akhir dari sebuah cerita film, semua film yang selalu harus ada akhirnya, film-film yang kesemuanya telah meninggalkan kisah cerita yang sangat mengesankan untuk penontonnya.[T]