Nang Kocong dan Pan Gobyah baru saja pulang dari sembahyang di Pura Dalem ketika mereka mampir ke Shuck Cafe. Kelihatannya malam masih cukup selid.
“Cong, entar kamu mau balik lagi ke pura, kan ada calonarang, kelanjutan dari ngerehang waktu Kajeng Kliwon lalu?” Pan Gobyah membuka obrolan dan mulai menuang minuman.
“Belum tahu. Lihat nanti saja,” sahut Nang Kocong santai.
“Dijamin calonarangnya bakal seram banget. Ada bangke matah dan ngundang leak. Jro Mangku Kuncrit dari Desa Pisaga yang nyolahang rangda. Ia terkenal kebal, tak mempan ditusuk.”
“Memangnya dia ditusuk. Untuk apa?”
“Ya, dong, rangda kan ditusuk oleh Pandung atau Taskara Maguna. Ceritanya, itu menumpas kejahatan.”
“Kamu memang pecinta calonarang banget dari dulu, Byah.”
“Aku suka calonarang karena magisnya.”
“Calonarang memang dibuat seram, model film hantu-hantuan.”
“Itu tarian sakral, Cong, bukan hiburan. Bahkan biasanya melibatkan pertempuran di alam gaib antara para penekun ilmu hitam, aji ugig, leak, dengan pengamal ilmu putih. Pokoknya seram dah.”
“Kamu suka calonarang karena seramnya?”
“Ya. Apalagi saat palawatan Rangda dan Barong bertempur, lalu orang-orang jadi kerauhan, rasanya seperti berada di alam lain. Ngeri, tenget, bikin merinding.”
“Kenapa nggak kamu tonton saja mukamu sendiri di kaca, malah lebih seram, hehe…”
“Cing!”
“Tapi di balik yang seram-seram itu, calonarang itu ajaran yang indah kok.”
“Indah dari mana, wong magis begitu. Namanya saja Ni Calonarang, Ni Rangda, ratunya leak, tukang teluh, penebar penyakit dan epidemi. Ceritanya juga tentang pembalasan dendam.”
“Kalau rangda itu ratu leak, mengapa kamu sungsung?”
“Yeh, itu kan Betari Durga, Cong.”
“Tapi kamu perlu mengupasnya, Byah. Buka kulitnya yang seram itu agar ketemu intinya yang indah. Itu kisah sangat asosiatif. Kalau aku bilang rangda itu simbol diri kita sendiri, kamu terima tidak?”
“Ataahh…, mulai kan, kamu? Gak pernah ada orang bilang begitu, Cong. Betara kok kamu bilang simbol diri kita sendiri. Jangan aneh-aneh, Cong.”
“Memang begitu pola yang dipakai leluhur kita, Byah, selalu menyimpan rahasia ajarannya di balik simbol-simbol dan cerita.”
“Tapi calonarang, kayaknya enggak deh. Tidak ada yang disembunyikan. Itu kan legenda, bahkan ada yang bilang itu semi-sejarah, semacam peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu.”
“Durga itu karakter di ranah mitologi, Byah, kemudian dibawa ke ranah masyarakat manusia, dihidupkan melalui cerita rakyat, namanya jadi Rangda, Calonarang, Walu Nateng Girah, atau lainnya.”
“Mulai ngarang-ngarang.”
“Semuanya perlu dicocok-cocokkan. Ajaran leluhur kan berlapis-lapis, kadang subtil, dibuat dalam banyak versi, tokoh, nama maupun simbol. Tapi muaranya sama.”
“Coba, menurutmu makna calonarang itu apa?”
“Tentu saja calon arang.”
“Badahhh, Cong, Kocong…! Minum dulu, biar waras, hahaha… Aku pernah baca, calonarang itu maknanya lidah api yang berkobar-kobar, siap membakar apapun. Itu menggambarkan kesaktiannya yang mengerikan, cocok dengan penampilannya yang seram.”
“Itulah kalau pengetahuanmu ketinggian, Byah, wong maknanya ada di depan hidung malah kamu cari di awang-awang. Calon arang, ya bahan yang belum jadi arang. Bahan yang masih harus diolah supaya jadi arang. Calon arang itu sama seperti bahan mentah. Diasosiasikan sebagai manusia yang masih mentah. ‘Jelema matah’. Seperti aku dan kamu.”
“Terus apa hubungannya bahan mentah dengan Ni Calonarang yang sakti dan menyeramkan itu. Gak ada hubungannya kan?”
“Begitu juga dengan nama Rangda yang artinya janda. Istilah janda itu untuk menggambarkan manusia yang tidak atau belum ada pasangannya, manusia separuh, manusia belum utuh. Agar jadi manusia utuh maka harus ada pasangannya. Sama seperti aku dan kamu, manusia setengah jadi. Baru berupa manusia lahiriah saja, yang kualitasnya belum dianggap manusia utuh secara lahiriah-batiniah. Walu Nateng Girah atau Si Janda dari Girah. Girah itu artinya cuci ulang. Kamu perlu mencucinya berulang sampai lapisan-lapisan yang menyelubunginya bersih sehingga kamu bisa menemukan makna dari cerita dimaksud. Jadi, itu bukanlah janda seperti tetanggamu, Byah, hehe…”
“Tapi, Cong, kenapa rangda kamu sebut setengah jadi, padahal dia Betari Durga?”
“Makanya aku bilang rangda itu simbol diri kita sendiri.”
“Aku belum ngerti, Cong.”
“Supaya ngerti, kamu perlu tahu makna dari ngerehang rangda.”
“Memangnya apa maknanya?”
“Ngerehang itu simbol kelahiran manusia, simbol lahirnya Sang Atma ke dunia fana ini.”
“Cuma gitu aja? Kok gak ada seram-seramnya? Padahal ngerehang itu sangat menyeramkan dan sakral.”
“Kamu ingat cerita Dewi Uma yang menghilang dari Siwaloka, yang ternyata pergi ke bumi dan menjadi Dewi Durga. Dia kelayapan di bumi, menebarkan bencana dan penyakit?”
“Maksudmu, ngerehang itu semacam gambaran lahirnya Dewi Uma sebagai Dewi Durga?”
“Setiap jiwa, roh, atma, yang punarbawa, lahir dengan tubuh materi atau panca mahabhuta, akan terikat pada hukum alam, kehilangan kesadaran pada sifat-sifat kedewataannya. Hal itu digambarkan seperti karakter Rangda. Jadi, kamu, aku, kita ini ibarat Durga, Ni Rangda, Ni Calonarang, atau Ni Walu Nateng Girah.”
“Kalau begitu, siapa beliau Ni Rangda itu, Cong?”
“Siapa rangda itu, bisa kamu lihat dari prosesi ngerehang, sewaktu nyatur desa, keliling desa, yaitu saat menuju perempatan, pasar, kahyangan dan kuburan. Semua itu adalah pengetahuan, Byah, bukan sekadar rangda jalan-jalan sambil gelar-gelur atau teriak-tariak.”
“Apanya yang bisa dipelajari dari situ, wong ngerehang itu berlangsung dalam kegelapan dan seram?”
“Dengarkan saja apa yang diucapkan rangda, kamu akan mengerti siapa dan apa rangda itu.”
“Aku nggak pernah memperhatikan. Memangnya apa yang dibilang sama rangdanya?”
“Saat di perempatan, rangda akan menjerit, ‘Ihh, ahh, anyuti rupa aku ring tengahing margatiga. Rimrim tejanira Sanghyang Korsika. Metu ta I Waringin Sungsang, tinembah aku dening watek bhuta kala makabehan’. Maaf, Byah, kalau ada yang kurang pas, secara umum begitulah ucap-ucap yang kuingat.
“Ya, apapun itu tetap gak masuk di otakku, Cong, kamu boleh nguluk-uluk aku, haha…”
“Yang dimaksud dengan marga tiga ini bukanlah pertigaan atau perempatan jalan, Byah. Kalau diinterpretasikan, maknanya kira-kira, wahai, kalian semua, aku ini, juga kamu, lahir dan hidup dengan tiga alam, yakni alam bhur, bwah, swah, atau tubuh fisik, tubuh pikiran, dan tubuh rohani. Di dalam ketiga tubuh ini cahaya dari Sang Hyang Korsika tumbuh menjadi waringin sungsang atau beringin terbalik. Pohon inilah disebut sebagai pohon pengetahuan atau pohon kehidupan. Aku dan kamu, memiliki pohon ini di dalam diri. Pohon ini pula diterjemahkan menjadi palinggih Padmasana.”
“Beh, tumben aku dengar soal ini. Bagaimana itu waringin sungsang dalam diri kita, Cong?”
“Sebaiknya tidak bahas ini karena aku juga gak paham, haha… Tapi kira-kira gambaran sederhananya, akar pohon ini terhubung dengan swah loka atau alam rohani, batang pohonnya ada di bwah loka atau alam pikiran, sedangkan daun, bunga atau buahnya ada di bhur loka atau kehidupan lahiriahmu. Akar pohon itu yang menyerap kecerdasan semesta, lalu mengalir melalui batang pohon, atau diserap oleh pikiranmu dan diolah menjadi filsafat (misalnya filsafat ketuhanan), kemudian turun lagi menjadi bunga dan buah, atau dari filsafat diolah menjadi pengetahuan praksis yang dapat diidentifikasi oleh panca indra, emosi, atau perasaanmu serta dapat kamu manfaatkan menjalani kehidupan sehari-hari, misalnya sebagai pengetahuan agama, pengetahuan spiritual, atau pengetahuan lainnya.”
“Kamu ini bisa saja. Tapi masalahnya apa memang benar begitu?”
“Nah, itu dia, haha…. Dalam ajaran kerohanian, inilah disebut Banaspati Raja. Dalam Panca Pandawa, ini namanya Dharma Wangsa. Dalam ajaran Catur Purusa Artha, atau empat unsur penopang hidupmu, ini yang disebut dharma.”
“Terserah kamu dah, Cong, yang penting cocokloginya jangan terlalu jauh aja menyimpang, hehe…”
“Lalu, rangda akan pergi ke pasar. Di sini dia berteriak lagi, ‘Ahh…, anyuti rupa aku ring tengahing Pasar Agung, Bhatari Melanting asung winugraha, sinawuran dening swaran manuk mahireng, metu ta Tanting Mas, Sampian Mas, tinembah aku dening watek wong Sumedang makabehan’, gitu kira-kira.”
“Sambilin angkat gelasnya, Cong. Nah, kalau di pasar, apa maknanya?”
“Pasar agung itu bukanlah pasar, peken, atau tenten, Cong, tapi dunia realisasi, dunia tempat memenuhi semua hasrat dan keinginanmu. Boleh saja digambarkan sebagai pasar, tempat mencari dan menemukan segala kebutuhan hidup. Ini simbol dari ego. Rangda bermaksud mengatakan bahwa di dalam dirinya, juga di dalam diri kita, selalu ada ego, yang bertugas merayu dan mendorong pikiranmu untuk merealisasikan atau memenuhi semua keinginanmu. Ego itu diibaratkan burung gagak, Byah, yang teriakannya selalu menyebut dirinya sendiri. Burung yang diselimuti banyak mitos, tapi juga mandiri, tak mudah menyerah, tak pernah puas. Kadang ego juga digambarkan seperti burung garuda, selalu terbang tinggi, melesat, cekatan, kuat, suka membuka dan memamerkan sayapnya yang lebar dengan gagah. Begitulah kira-kira sifat ego itu, Byah.”
“Berarti ego itu memang bagian dari pikiran kita, ya?”
“Betul, Byah. Dalam ajaran kerohanian inilah yang dinamakan Banaspati. Dalam Panca Pandawa, ini yang namanya Bima. Dalam ajaran Catur Purusa Artha, ini namanya artha.”
“Nah, selesai di pasar, pergi kemana lagi rangdanya, Cong?”
“Ke kahyangan. Di sini, rangda akan mengucapkan, ‘Anyuti rupa aku maring kahyangan. Bhatari Kahyangan asung winugraha. Sinawuraning swaran asu agegalok. Res-res hatining wong kabeh, gumatat-gumitit tan hana wania aswara’, nah, apa kamu mengerti maksudnya?”
“Apa kira-kira, Cong?”
“Yang dimaksud dengan kahyangan di sini adalah naluri, pikiran dasar, nafsu, hasrat, dan semacam itu. Rangda hendak mengatakan bahwa ia, juga kita semua, lahir ke dunia fana ini dengan membawa pikiran dasar, berupa nafsu, naluri, keinginan, atau hasrat. Naluri itu digambarkan seperti lolongan anjing tengah malam, yang suaranya sayup-sayup memanggil di kejauhan. Hasrat itu digambarkan begitu penuh energi rindu, ibarat Cambra Berag, semacam anjing hutan atau serigala yang melolong menatap bulan purnama. Rasakan saja dirimu, bagaimana ketika hasrat, naluri atau nafsumu menggoda hatimu, Byah.”
“Tapi cocoklogi ini seperti perlu didalami lagi Cong, biar nyambung makna kahyangan dengan naluri yang kamu maksudkan itu.”
“Kamu cari-cari sendirilah dan renungkan. Inilah yang disebut Prajapati dalam ajaran kerohanian, yakni penguasa pikiran. Dalam Pandawa, ini namanya Arjuna. Dalam Catur Purusa Artha, ini disebut kama.”
“Artha itu aku kira kekayaan. Bahwa harta itu harus didapat dengan dharma untuk memenuhi kamamu agar kamu bahagia atau moksa.”
“Keempat unsur itu, yakni dharma, artha, kama, moksa, ada di diri setiap orang sebagai pembawaan lahir sebagai manusia. Ajaran Catur Purusa Artha ingin kamu menyadari keberadaannya agar kamu bisa mengelolanya.”
“Apakah itu berbeda maknanya?”
“Beda.”
“Ya deh, selanjutnya apa lagi?”
“Rangda tentu hadir di kuburan. Di sini, dia mengucapkan, ‘Anyuti rupa aku ring tengahing pangaskara. Nini Bhagawati asung winugraha. Bentar ikang Siti Dharani, metu te Leyak Gundul, tinembah dening wateking dademiting setra.”
“Apa artinya, Cong?”
“Itu menggambarkan hakikat tubuh, Byah. Tubuhmu juga tubuhku. Penguasaan tubuh. Dalam ajaran kerohanian, ini wilayah Anggapati. Dalam Pandawa, ini Nakula-Sadewa. Dalam ajaran Catur Purusa Artha, ini dinamakan moksa.”
“Tubuh moksa?”
“Itu perlu renungan lebih dalam untuk memahaminya. Ini berkaitan dengan ajaran ‘pembayaran hutang’, ‘penebusan dosa’ dalam kelahiran berulang atau samsara-punarbawa. Tubuh ini juga simbol Durga atau Nini Bhagawati, yang menggambarkan bagaimana Dewi Uma kehilangan kecantikannya ketika lahir ke bumi dan berubah menjadi wujud raksasa. Seperti aku dan kamu. Tubuh kita ini ibarat Raksasa Gundul, bangke matah, hanya tulang belulang, yang hidup di Setra Gandamayu. Bila moksa kamu tidak akan lahir lagi dalam tubuh ini. Begitu kira-kira, Byah. Nanti kamu renung-renungkan lagi sambil minum-minum biar tambah asyik.”
“Ada-ada saja kamu, Cong. Aku gak biasa merenung, bisanya main oyot saja, haha… Selanjutnya bagaimana?”
“Nah begitulah rangda, lahir ke bumi dan kehilangan kesadaran pada sifat-sifat kedewataannya. Seperti kita, hanya hidup dengan tubuh, pikiran atau nafsu, dan ego saja. Itu digambarkan secara hiperbola sebagai sifat Durga yang pikirannya seperti api menyala-nyala, yang amarahnya, cintanya, kesedihannya, dendamnya membakar dan menghanguskan. Itulah sifat rangda, sifat leak, sifat bhuta, sifatmu dan sifatku, karena kelahiran yang membuat kita kehilangan kesadaran kerohanian kita. Karenanya kita ini, istilahnya masih separuh manusia. Masih sebatas bahan mentah, belum jadi arang.”
“Karena belum jadi arang berarti belum bisa dipakai memanggang sate, hehe…”
“Persis, Byah, persis. Itulah calonarang.”
“Bisa aja ente, Cong. Nah, cerita selanjutnya bagaimana? Tapi sebelum lanjut, kita buka botolnya dulu ya.”
“Nah, untuk meruwat sifat Durga itulah diselenggarakan ritual calonarang. Dalam mitologi, Dewa Siwa meminta bantuan para dewa mencari keberadaan Dewi Uma. Kemudian yang konon berhasil menemukannya adalah Dewa Wisnu dengan menyamar menjadi barong atau Banaspati Raja serta membujuknya agar kembali ke Siwaloka sebagai Dewi Uma. Peristiwa pertemuan antara rangda dan barong Banaspati Raja inilah yang digambarkan dalam cerita calonarang. Banaspati Raja itu simbol pengetahuan, Byah.”
“Maksudnya, Banaspati Raja atau pengetahuan yang dapat meruwat sifat-sifat Durga?”
“Benar. Pengetahuan yang mengembalikan kesadaran Ni Rangda, Ni Walu Nateng Girah, Ni Calonarang kepada sifat-sifat kedewataannya, sebagaimana Betari Uma, sehingga kemudian dia berjuluk Ratu Ayu. Hanya pengetahuan yang bisa menyucikan rohani, pikiran, ego, pada kesadaran tubuhmu. Pengetahuan itu ibarat senjata Jaga Satru yang menetralisir sifat-sifat bhuta Ni Calonarang.”
“Berarti orang ngunying yang menusuk-nusuk dirinya itu, simbol juga, dong?”
“Setuju, Byah. Para sadeg yang kerauhan itu adalah simbol orang yang belum menemukan kesadaran dirinya, seperti kita-kita ini. Keris itu lambang pohon pengetahuan. Setiap orang harus nyalonarang untuk dirinya sendiri, menanam pengetahuan dalam rohaninya, sehingga dharmanya dapat memurnikan artha atau ego serta kama atau pikirannya dan itulah cara bagi kehidupan menempuh jalan moksa.”
“Sepertinya, aku memahami jalur cocoklogimu, Cong.”
“Boleh jadi barong atau Banaspati Raja itu merupakan versi lokal dari awatara Wisnu, seperti Kresna dengan pengetahuan yang menuntun Pandawa memenangkan pertempuran mereka dalam Bharatayuda.”
“Maksudmu, Awatara Kresna itu pengetahuan?”
“Jika diinterpretasikan, mungkin semacam Kebijaksanaan Kresna, yang hidup di pohon pengetahuanmu, dan kamu adalah Arjuna.
“Ini agak-agak ditolak oleh otakku, Cong!”
“Pengetahuan rohani, yang abstrak, yang rahasia, yang diserap oleh kecerdasan spiritualmu, dewanya Iswara. Pengetahuan yang ditangkap kecerdasan pikiran, yang bisa diidentifikasi, dirumuskan dan disistematikakan, dewanya Brahma atau Saraswati. Pengetahuan yang diterapkan dalam kehidupan dunia nyata, dewanya Wisnu. Karena pengetahuan ini bersentuhan dengan dunia lahiriah, dengan kehidupan manusia dan lingkungan alam, maka diperlukan ‘perantara’ sebagai lambang penghubung niskala dengan sekala. Perantara ini disimbolkan dengan tokoh Kresna, yaitu lambang dari pengetahuan yang hadir di kehidupan dunia materi. Secara sederhana, begitu saja aku kira runtutannya.”
“Ya, terserah kamu Cong, namanya juga ini obrolan di kafe, hanya saja sepertinya kok semua jadi tidak mistis dan tidak seram lagi kesannya?”
“Makanya kalau mau yang seram, kamu rajin-rajin aja lihat mukamu di kaca.” [T]
Kuta, 2020.
—-Tulisan ini juga dimuat Majalah Media Hindu, edisi 196. Agustus 2020.