Salah satu isu menarik dan sempat ramai diperdebatkan dalam dinamika pandemi Covid-19 ini adalah, bagaimana sebetulnya cara penularan virus penyebab wabah ini. Apalagi saat seorang drummer band terkenal melemparkan tantangannya untuk diizinkan bersalaman dengan seorang pasien Covid-19 yang sedang opname di rumah sakit. Ia hakul yakin, virus itu takkan menulari tubuhnya. Di lain pihak, institusi medis tentu tak menanggapi tantangan ini karena jelas-jelas melanggar protokol kesehatan wabah Covid-19.
Tentu saja respon otoritas kesehatan yang mengabaikan tantangan ini langsung menjadi amunisi bagi kalangan yang terlanjur skeptis terhadap pemerintah untuk menuduh pemerintah dan tim medis memang berada di balik konspirasi Covid-19. Ini sebuah gambaran wajah bopeng masyarakat yang telah terpolarisasi akibat pola komunikasi konservatif di pihak medis dan pemerintah berhadapan dengan budaya pengkultusan seorang idola yang senantiasa disanjung di saat benar maupun keliru.
Gagasan anti sains bukanlah perkara baru. Masih pada isu yang sama, orang sekaliber Donald Trump saja sempat dikritik banyak pihak lantaran sikapnya yang tampak kolot tak mencerminkan sosok modern dan ilmiah. Pernyataan kontroversialnya pada awal wabah antara lain, virus corona itu buatan China yang nota bene adalah seteru bisnisnya, oleh karenanya virus ini takkan bisa masuk ke daratan Amerika Serikat.
Lebih konyol lagi ia menyarankan penyuntikan desinfektan pada manusia untuk mencegah masukknya virus SARS-Cov-2 dan yang paling heboh adalah keengganannya memakai masker yang merupakan protokol kesehatan wajib Covid-19. Ini semua bisa terjadi meski ia terus mendapat masukan dan saran dari Anthony Fauci, seorang dokter dan pakar penyakit infeksi yang menjabat sebagai direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases sejak 1984. Sering kali memang, sains dikalahkan oleh sikap keras kepala. Inilah pula yang terjadi saat sekelompok orang menyangsikan bumi ini bulat dan lebih percaya bumi itu datar. Maka, jika saja tantangan sang drummer diladeni untuk bersalaman dengan pasien pengidap Covid-19 dan lalu ia sendiri akhirnya tak tertular, bukan berarti penyakit ini memang tak menular.
Teori penyakit infeksi dan penularannya, hingga saat ini masih menganut akibat terjadinya perubahan keseimbangan dari host (inang), agent (kuman penyebab) dan envirounment (lingkungan). Jelas sekali, dalam hal ini minimal ada tiga faktor yang menentukan. Atau dengan kata lain, dalam isu di atas, penularan penyakit inifeksi tidak hanya tergantung pada proses bersalaman dengan penderita saja (lingkungan). Pada aspek lingkungan, ia masih memerlukan determinan-determinan lain seperti kontak yang lebih erat sesuai dengan cara penularan penyakit tersebut.
Pada penularan virus corona yang saat ini masih disepakati melalui droplet, yaitu kuman terbawa bersama lendir/dahak yang keluar dari saluran nafas maka kontak lebih erat tentunya bukan bersalaman tangan, melainkan tatap muka tanpa masker atau berciuman misalnya. Makin sering aktifitas kontak ini terjadi, risiko penularan akan semakin besar. Hal yang sama terjadi pada penularan penyakit infeksi lain, misalnya HIV. Diketahui virus HIV hanya bisa ditularkan melalui pertukaran cairan tubuh pengidapnya dengan orang lain yang masih sehat. Dalam hal ini adalah darah dan cairan kelamin. Cara transmisi yang paling umum dilaporkan adalah melalui kontak seksual. Namun sekali melakukan hubungan seks dengan penderita belum menjamin terjadi penularan. Semakin tinggi frekwensi kontak semakin besar risiko penularan yang akan terjadi. Meskipun demikian, ini pun belum dapat memastikan akan terjadi penularan.
Faktor kedua yang juga sangat besar pengaruhnya adalah keadaan imunitas inang itu sendiri. Itulah kenapa pada populasi dengan imunitas yang sangat baik, Covid-19 bahkan tak bergejala sama sekali (asimptomatik) dan sebaliknya pada kelompok dengan daya tahan tubuh yang rentan, misalnya pada usia lanjut, anak-anak atau pada mereka yang sudah mengidap penyakit kronis sebelumnya seperti paru, jantung atau diabetes, virus corona dapat dengan mudah menjadi pembunuh berdarah dingin. Terakhir tentu saja, virus itu sendiri. Sebagai spesies yang memiliki insting untuk lestari, semua virus akan berusaha dengan segala cara mempertahankan dirinya dari kepunahan.
Salah satu tentunya adalah bermutasi dan yang lain tentu saja dengan menyusup pada spesies lain untuk berkembang biak. Virus corona telah melakukannya dengan sangat baik. Generasi terdahulu virus corona seperti SARS dan MERS saat ini sudah nyaris tak terdengar lagi. Kita pun berpikir virus ini telah benar-benar lenyap dari muka bumi, faktanya ia kembali sebagai Covid-19 yang lebih invasif dan infeksius. Meski dibandingkan dengan SARS atau MERS daya bunuh Covid-19 lebih kecil, namun kecepatan penularanannya telah membuat siapapun geleng-geleng kepala. Dan ia telah meraih mahkota (corona) pandeminya dengan saat ini telah menginfeksi 18 juta manusia dibumi dan 680 ribu nyawa telah direnggutnya.
Memahami tiga faktor yang selalu menentukan terjadinya penyakit infeksi dan penularannya menjadi penting untuk kita saat ini. Hanya melihat masalah dari satu sudut pandang saja dapat membuat kita terlalu mudah menarik kesimpulan yang keliru. Kesimpulan dan persepsi yang keliru sering kali tak hanya menjerumuskan diri sendiri namun sebagai sebuah fenomena sosial hal itu dapat menyeret yang lain ke dalam situasi rumit dan berbahaya. Maka betul tampaknya satu ucapan sederhana yang pernah saya dengar ini. Wabah ini akan lebih cepat berakhir sesungguhnya bukanlah semata-mata karena protokol kesehatan yang ketat atau vaksin yang telah ditemukan, namun wabah akan lebih cepat usai jika kita bersatu.[T]