Setelah pulang dari Singaraja, Grudug tiba-tiba tergelitik oleh perkataan, “Mahasiswa pulang kampung pasti lupa dengan idealismenya”. Istilah yang agak kasar tentang itu, “otaknya ditinggal”. Tidak mau terlibat dalam kategori yang meninggalkan “anu”nya itu, Grudug berinisiatif melakukan sesuatu yang bermanfaat. Tapi sayangnya dia merasa gagal. Bahkan patah hati.
Mendengar kabar belajar dari rumah, ia berpikir akan melakukan sesuatu untuk kampung, khususnya keluarga atau tetangga. Alasannya pun sederhana, agar tak dianggap meninggalkan pemikiran. Ia berencana mengkampanyekan menanam banyak pohon seperti yang ia lakukan kala Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Hal itu ia pilih karena mendengar banyak kabar tentang sawah atau ladang yang berubah fungsi menjadi penginapan. Padahal, Ketika ia mendengar kabar alih fungsi lahan itu, kampungnya belum mengalami hal serupa.
Ketika sudah di kampung, Grudug melihat pamannya membawa batang singkong. Lengkap dengan sebuah jaring. Grudug bertanya pamannya mau ke mana. Pamannya kemudian mengatakan akan ke belakang rumah.
“Bikin kandang bebek yang dipagari ketela pohon. Setelah bebek kita terjual, singkong bisa kita cabut satu per satu untuk dimakan,” jawab pamannya gembira.
Grudug paham, batang singkong itu akan dijadikan tiang pembatas sekaligus tempat pengikat jaring. Di dalam jaring yang dibentuk menjadi kandang akan ditaruh bebek untuk dipelihara. Perbincangan pun putus, namun tidak di dalam hati Grudug. Keraguan mulai muncul. Ia bertanya-tanya dalam hati tentang pilihan ide yang akan dia lakukan. Sambil jalan, dia berniat menguji idenya di awal itu.
Meski bertanya-tanya, Grudug berusaha tegar dengan ide awalnya. “Yang penting diuji dulu,” pikirnya dalam hati. Ia masih bersikeras mau menyiarkan bahwa mencintai lingkungan dengan menanam pohon itu sangat penting.
Suatu hari Grudug pergi ke ladang yang rupanya masih hijau bersama pamannya. Rimbun dengan pohon berbagai jenis. Yang membuatnya kemudian mulai lesu adalah ketika melihat kandang sapi. Kandang itu terbuat dari pohon dadap yang masih hidup dan jerami yang disusun sebagai atapnya.
Grudug lalu bertanya pada pamannya mengapa pakai batang pohon hidup untuk tiang kandang, pamannya bilang, “Nanti kalau atap kandang ini rusak kita tidak perlu buat tiang baru,” kata pamannya enteng. Merasa punya kesempatan bertanya, Grudug kemudian bersikap, “Kalau sudah tidak pelihara sapi pasti pohon ini ditebang kan?”
Pamannya yang sibuk memotong rumput untuk pakan sapi menjawab santai, “Buat apa ditebang? Daun dadap itu tak usah dipotong, kan selalu dibutuhkan saat upacara.”
Merasa gagal menyelipkan pesan-pesan yang direncanakan dalam percakapan, Grudug langsung menghadap pagar yang dibuat dari rimbun tanaman, alias pagar hidup. Di sana tanaman tumbuh tanpa seleksi. Nampak liar. Tumbuhannya pun beragam, ada pohon andong, ketela pohon, bunga kembang sepatu, dan lain-lain.
“Paman,” sapa grudug. “Pohon untuk pagar ini pasti nanti akan diganti bata. Ini bagus paman, jangan sampai dipotong, lagi pula tumbuhan dan lingkungan…” ucapan grudug segera saja dipotong oleh pamannya.
“Grudug, ketela itu paman yang tanam, biasa dicabut satu per satu untuk makanan, lalu paman tanami lagi. Andong itu untuk upacara terutama galungan, bunga itu untuk sembahyang, dan yang lain itu tumbuh liar tapi sering dipakai untuk kelengkapan upacara. Buat apa dipotong? Lagi pula kalau beli, semua itu membutuhkan uang yang cukup banyak. Bukan hanya itu, bibimu pasti marah-marah kalau sampai pagar ini dipotong.” Sebenarnya arah percakapan itu jelas. Grudug hanya ingin mencoba melakukan sosialisasi sekaligus menguji hal yang akan ia lakukan. Tetapi, berhubung belum jelas, ia perlu memikirkan lagi ide itu.
Lama rasanya termenung soal ide itu, Grudug justru menghayal ke mana-mana. Di tengah hayalan, tiba-tiba muncul kegelisahannya. Sesunguhnya Grudug pulang dengan beban pikiran, sebab ia akan segera tamat kuliah. Ia berpikir keras tentang pekerjaan dan rumah tangga.
Dalam urusan karir ia selalu diingatkan cita-cita oleh orang tuanya agar menjadi PNS, padahal ia pesimis tentang cita-cita itu. Ia tahu, banyak orang yang bermimpi menjadi PNS dan setelah gagal merasa hidupnya yang gagal. Tapi, orang tua Grudug tak mau tahu soal itu. Yang jelas harus PNS. Tentu saja ini menjadi beban yang bisa muncul kapan saja dalam pikirannya.
Selain itu, ia juga memikirkan masalah rumah tangga. Ia pernah berkata pada ibunya, kelak jika pekerjaannya tak menghasilkan banyak uang, ia tak ingin menikah. Tapi, ibunya berkata, “kalau kau tak menikah, siapa yang akan membantu ibumu yang sudah mulai renta ini?” Grudug paham, menikah itu bukan pilihan, tapi keharusan.
Sementara itu ia bertekad kalau sudah berumah tangga ia harus berumah di Denpasar, biar kelak anaknya jadi orang kota. Tetapi, berhubung harga tanah yang melambung, ia merasa tak akan mampu mencapai mimpi itu. Apalagi jadi PNS, tentu gajinya akan serak bila dipakai nyicil pembayaran rumah di sana. “Hidup ini banyak susahnya,” pikir Grudug.
Tiba-tiba saja pamannya memotong lamunan Grudug karena rumput dirasa sudah cukup, saatnya pulang. Grudug terkejut hingga melontarkan begitu saja gelisahnya itu pada pamannya.
Pamannya tertawa lalu memberi saran, “Kau buat rumah di sini saja, kan seperti villa-villa di Ubud.”
Sontak Grudug menolak tapi mungkin karena hanyut dengan kegelisahannya, ia berkata bahwa tempat itu tidak cocok dibangun rumah. “Viewnya memang bagus, di depan terhampar sawah yang luas, di bagian belakang sungai dengan airnya yang jernih menyejukkan, tapi biaya buat jalan pasti mahal. Membangun jadi sulit karena kendaraan tak bisa ke sana. Harus menyewa tenaga yang banyak. Ongkos akan membengkak,” Alis Grudug mengkerut menceritakan itu semua.
Sebuah ide tiba-tiba melintas, membuatnya bersemangat. Ia berkata, “Paman. Aku dengar-dengar, Ubud sudah sangat sumpek, villa dan penginapan mulai menyasar desa kita yang masih sepi dan asri. Bagaimana kalau tanah yang luas ini dijual untuk beli rumah di Denpasar. Lagi pula harga tanah di sini sudah mulai naik.”
Pamannya yang memegang ranting, spontan memukul kepala Grudug dan berkata, “memang kau mau dikutuk leluhur? Kapan kamu membeli tanah ini sampai berniat menjualnya?”
Grudug tersipu malu. Sambil cengengesan ia berkata, “Semua itu hanya candaan, lagi pula warisan kan harus tetap dijaga,” katanya sambil memalingkan wajah karena tersipu malu.
Sejak saat itu, ia merasa topik yang dia pikir di awal tidak tepat ia bawakan. Setelah menguji ide, ia mendapat kesimpulan bahwa ia sendiri yang belum lulus menggunakan ide itu. Tapi, hingga pemerintah mengumumkan new normal, jalan mulai ramai, orang bekerja berangsur-angsur normal, Grudug belum juga melakukan sesuatu di kampungnya. [T]