Memang benar sekali ungkapan Bung Karno “Pangan adalah hidup mati bangsa”. Ketika itu beliau berbicara saat peresmian fakultas pertanian UI pada Tahun 1952, yang untuk selanjutnya fakultas itu berubah menjadi IPB (Institut Pertanian Bogor) pada Tahun 1963.
Bung Karno dikenal dengan sosok pribadi yang visioner, berbagai macam langkah diambil untuk mencapai kemandirian pangan, bahkan dalam sebuah tulisan pernah saya baca “bahwa kebijakan import pangan tidak sesuai dengan semangat membangun ekonomi kerakyatan”.
Menarik sekali ketika berbicara soal pangan dan ekonomi kerakyatan, apalagi di tengah kondisi pandemi ini, kondisi yang mengharuskan kita berpikir kembali untuk menyelami saripati pemikiran yang pernah dicetuskan oleh Bung Karno. Kita sepakat, Indonesia memiliki potensi yang amat besar, kita diwariskan kekayaan yang amat bertumpah ruah, ini modal yang sangat penting dalam membangun Bangsa.
Indonesia sangat kaya dengan sumber pangan, jika ditelisik lebih dalam, setiap daerah memiliki keunikan pangan dan segala produk turunannya yang khas dan kadang sulit ditemukan di daerah lainnya.
Tidak jauh-jauh kita berkiblat, di Bali Utara saja ketika bicara soal pangan yang mengandung karbohidrat tinggi, berbagai jenis pangan bisa ditemukan, sebut saja Keladi, Ketela Rambat, Ketela Pohon, Suweg, Biaung, Porang dan masih banyak lagi. Hal ini tentu sangat membangkitkan kepercayaan diri kita sebagai bangsa agraris, hal yang sangat ironi, manakala di daerah agraris ada masyarakat yang kekurangan pangan, seperti peribahasa “Bak tikus mati di Lumbung Padi”, tentu saja hal ini tidak kita harapkan.
Kemandirian pangan memang tidak bisa ditawar-tawar lagi, kita bercermin dari pandemi covid-19 yang menyusup hampir ke semua lini kehidupan, saya teringat ada sebuah artikel yang pernah saya baca di sosial media saat itu, bahwasannya dengan kondisi krisis seperti ini, beberapa negara yang menjadi mitra Indonesia dalam urusan pangan enggan untuk membuka akses mereka, tentu alasannya karena kebutuhan pangan dalam negeri masing-masing menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, belum lagi alasan karantina yang kerap dijadikan narasi untuk mencegah keluarnya pangan-pangan yang diperlukan.
Hal itu amat beralasan, dan tentu kita tidak boleh berkecil hati, kita memiliki potensi yang besar, SDM, SDA dan IPTEK dipadukan lagi dengan pemahaman terhadap kearifan lokal, maka tidak ada yang tidak mungkin dalam konteks kemandirian pangan ini.
Masyarakat hendaklah memperjuangkan sumber kehidupannya secara bersama-sama, dan itu semua mesti timbul karena kesadaran untuk memperjuangkan kehidupan yang layak, maka dari itu ekonomi kerakyatan menjadi model yang sangat ideal untuk diaplikasikan, sangat tepat para pendiri bangsa kita meletakan konsep gotong royong sebagai dasar dalam membangun bangsa ini.
Bagi mereka yang hidup di Desa, dahulu kala saat para tetua kita mengerjakan pekerjaan di sawah, kerap kita lihat aktifitas yang sarat akan nilai gotong royong, misalkan dalam urusan “memula”, kegiatan ini menjadi amat philosofis, karena memang para tetua kita saling bantu-membantu satu sama lain dalam kegiatan menanam bibit-bibit tanaman pangan yang ditanam di sawah masing-masing, tidak ada hitungan materealistik melainkan sikap kebersamaan yang ditujukan untuk meringankan beban sesama.
Baru-baru ini saya membaca berita di media, perihal rencana pengembangan sebuah kawasan di Kalimantan, yang akan difokuskan untuk menjadi salah satu projek strategis dalam membangun kemandirian pangan, berita ini tentu sangat bagus, karena bagaimanapun pemerintah mesti menyiapkan rencana cadangan ketika terjadi kondisi krisis.
Kebijakan nasional itu mesti juga diduplikasi ke level daerah, daerah jangan lengah dan tidak pula harus berpacu pada hasil yang nanti akan dicapai oleh program strategis itu, diperlukan level kesiagaan yang sama, jangan sampai ketika kebijakan di pusat fokus kepada pengembangan sektor pertanian melalui perluasan lahan pertanian, di daerah justru lahan pertanian semakin menyusut, ini tentu menjadi ironi bagi kita semua. [T]