Pengantar
Siapa Yahya Umar? Ia lahir di Bangkalan, Madura, 25 September 1968. Nama Yahya Umar—dikenal sebagai seorang wartawan lepas (freelance), setelah sebelumnya menjadi wartawan Bali Post dan Denpasar Post (Denpost), penulis kumpulan cerpen Foto Bupati di Kamar Pelancur (2020), novel Istana Para Kuli (2016), dan menulis buku-buku bertema politik. Pembicaraan kali ini adalah kumpulan cerpen berjudul Foto Bupati di Kamar Pelacur. Kumpulan cerpen ini terbit di masa pandemi Covid-19, tepatnya Maret 2020 yang diterbitkan oleh Mahima Institute Indonesia. Kumcer ini terdiri atas tiga belas cerpen dan cerpen berjudul “Khotbah Seorang Pelacur” pernah dimuat di Denpost edisi Minggu. Namun, sebelumnya cerpen tesebit menjadi pemenang III dalam Lomba Penulisan Cerpen yang dilaksanakan Balai Bahasa Denpasar tahun 2004 dengan judul “Pak Dewan”. Begitu juga dengan cerpen “Gila” pernah dimuat di majalah Al-Kisah (2004) dan “Romantika” dimuat di Bali Post.
Untuk mengawali pembahasan, hal yang perlu diingat bahwa bagaimanapun juga karya sastra selalu mengedepankan aspek fiksionalitas. Karya sastra sebagai hasil rekaan memperlihatkan kemampuannya dalam membingkai dunia nyata ke dalam dunia fksi. Keduanya, dunia nyata dan fiksi, menyatu dalam balutan fiksionalitas dan disajikan secara estetis. Secara tematik, kumpulan cerpen Foto Bupati di Kamar Pelacur karya Yahya Umar dibagi menjadi dua tema mayor sebagai berikut. Pertama, sebanyak delapan cerpen bertema politik, sosial/tuna wiswa, dan pemberitaan/media masa. Cerpen-cerpen tersebut memperlihatkan adanya pertarungan ideologi. Sebagian ideologi yang muncul dalam cerpen dapat mewakili kelas dominan, yaitu negara, ideologi yang lain adalah suara pengarang yang mewakili kelas subaltern, yaitu masyarakat. Hal ini juga memperlihatkan bahwa ideologi-ideologi yang tampil dalam kedua (“Foto Bupati di Kamar Pelacur” dan “Khotbah Serang Pelacur”) cerpen yang dijadikan sampel pembahasan merupakan representasi pertarungan ideologi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia yang masih terjadi hingga sekarang. Kedua, lima cerpen bertema persoalan rumah tangga dan cinta. Cerita-cerita di dalamnya berkiasah tentang hubungan cinta yang “tak biasa” dalam sebuah gaya “realisme fantastis”: seorang suami istri yang kehidupannya belum dikaruani anak, tidak tercukupi kebutuhan rumah tangganya, bahkan sampai poligami. Mari, kita simak kisah-kisah Yahya Umar dalam kumpulan cerpen Foto Bupati di Kamar Pelacur yang menyuguhkan labirin imajinasi yang seolah tak berujung, tetapi di sana-sini membenturkan kita pada pertanyaan tentang perempuan, cinta, pelacur, politik dan politikus, dan jurnalistik.
Melihat Sastra dan Politik Cerpen Foto Bupati di Kamar Pelacur
Wacana yang muncul dalam cerpen-cerpen Yahya Umar adalah sebuah sistem sosial politik yang terlampau “sederhana” ditunjukkan sedemikan mudahnya pada tokoh bupati yang berkuasa tanpa menampilkan konflik kuasa yang tidak adil dan tidak memiliki akses kuasa. Perhatikan cerpen “Foto Bupati di Kamar Pelacur” tidak ada masalah yang memungkinkan tokoh bupati yang berkuasa dengan menggunakan posisinya secara semena-mena demi kepentingan pribadinya. Sebaliknya, tokoh bupati yang digambarkan adalah abstrak karena hanya dalam sebuah poster kampaye yang dipasang di dinding kamar tokoh Suciwati.
“Siapa yang menaruh foto itu,” tangan kirinya menunjuk poster di dinding kamar Suciwati. Lelaki itu menatap tajam perempuan yang baru saja dikencani. Suciwati memandang poster Bupati dan Wakil Bupati.
“Itu kenang-kenangan waktu kampaye,” jawab Suciwati. Santai (Umar, 2020: 3—4).
Dari kutipan tersebut sangat jelas tidak ada jejak pertarungan politik yang dihadirkan dalam cerpen “Foto Bupati di Kamar Pelacur”. Bandingkan ketika membaca cerpen Kompas berjudul “Tawanan” karya Tahi Simbolon dan “Mogok” karya F. Rahardi, muncul pertarungan ideologi dekade tahun 1970—1980-an yang merupakan tahun bersejarah bagi pers Indonesia. Peristiwa Malari tahun 1974 adalah “batas air” atau titik tolak performen pers di masa Orde Baru. Nah, kembali pada cerpen “Foto Bupati di Kamar Pelacur” adalah cerpen dengan sekuen cerita kilas balik pada masa kampaye dan persoalan klimaksnya adalah poster calon bupati dan wakil bupati yang menang dan menjabat sekarang dipasang di kamar Suciwati. Karena poster kampaye yang dipasang Suciwati di dinding kamarnya itu dianggap menghina bupati dan wakil bupati. Suciwati dilaporkan oleh lelaki yang mengencaninya dan menjalani sidang dan dijatuhi hukuman 5 bulan penjara potong masa tahanan. Meskipun di awal cerita cerpen, Suciwati dikisahkan tewas dengan kepala remuk, pengarang mampu membawa alur cerita pada ending terbuka. Kehadiran tokoh sentral seperti Suciwati, sekadar hadir dalam cerita tanpa ada karakter kuat dan unik. Apakah perannya sebagai pelacur yang cantik, tubuh yang indah, primadoma kompleks pelacuran, dan langganan pejabat cukup menjadi karakter kuat? Persepsi ini kembali pada pembaca atau kegagalan pengarang dalam menghadirkan fiksionalitas utuh dalam cerpennya.
Terlepas dari “kekuranglengkapan” unsur fiksionalitas dalam beberapa cerpennya, Yahya telah mampu menghadirkan cerita dengan jejak diksi khas jurnalistik yang sangat kuat. Kekuatan jurnalistik lahir dalam cerpen-cerpennya, salah satu faktornya karena pengarang berlatar belakang jurnalistik. Dapat dilihat dari tujuh cerpen lainnya pun bertema sosial politik dan “ada kesan tempelan” bahasa pers yang pengarang sendiri seolah-olah terjebak: antara fiksi dan data faktual yang menjadi ciri bahasa jurnalistik. Pembaca dapat melihat pada cerpen “Elegi Cinta Orang Kota” (hlm. 73–82) dan “Romantika” (hlm. 92–101), bagaimana pengarang “terjebak” dan “keluar” dari fiksionalitas. Terlepas dari kelemahan itu, cerpen ini telah memberikan informasi faktual: peristiwa sosial, sastra, jurnalistik, dan politik yang menjadi pelangi dalam kehidupan.
Dari kacamata analisis wacana kritis, cerpen-cerpen Foto Bupati di Kamar juga memiliki agenda untuk mengoreksi bias-bias yang terjadi akibat politisasi dan mengikutsertakan minoritas yang biasanya tersingkirkan, bahkan disingkirkan dari wacana yang dihadirkan dalam cerpen. Meminjam istilah Gramsci menyebutkan bahwa manusia adalah subjek, fakta yang mengubah sejarah. Dalam wilayah teks, manusia muncul dalam tokoh-tokoh cerita, dalam hal ini tokoh-tokoh dalam cerpen karya Yahya Umar. Teori hegemoni penting dalam analisis ini karena teori hegemoni membantu mengungkap konstelasi kekuasaan yang ada dalam teks cerpen. Namun, justru cerpen karya Yahya Umar tidak mewakili konteks pertarungan ideologi politik yang ditawarkannya. Peristiwa yang sama dihadirkan pada “Khotbah Sang Pelacur” (hlm. 10—21), tokoh Asih dan Pak Susila adalah simbol sosial dan politik. Sekuen tokoh Pak Susila sebagai subjek politikus justru tidak dimunculkan oleh pangarang. Sebaliknya, kemunculan tokoh Pak Susila yang notabene sebagai politisi (anggota dewan) untuk memenuhi nafsunya kepada seorang pelacur bernama Asih. Di lain sisi, pengarang juga memunculkan topik pers yang dihadirkan dalam kecamuk pikiran tokoh Asih. Berikut percakapan dalam cerpen tersebut “…Mulai dari halaman kota, olahraga, sesekali membaca berita politik. Sampai ketika Asih ketemu judul berita “Tak Etis, anggota Dewan Terima Dana Purnabakti Ratusan Juta”. Ada juga berita yang berjudul “Rapor Merah, tak Pantas anggota Dewan dapat Purnabakti”. “Anggota Dewan hanya Bisa Keruk Uang Rakyat, Kinerja tak Becus” (Yahya, 2020, hlm. 14).
Cerpen “Catatan Harian Istri Politisi” (hlm. 22—31); “Dilarang Menjadi Anggota Dewan” (hlm. 32—39); “Karangan Bunga” (hlm. 40—45); “Gila” (hlm. 46–51); “Riniti” (hlm 52—57); dan “Virus” (hlm. 58—64) mempunyai kompleksitas dan pluralitas ideologi yang terbangun dari topik politik yang dihadirkan dari hubungan tokoh cerita. Pluralitas ideologi yang ditemukan dalam kedelapan cerpen. Hanya saja, pluralitas ideologi itu tidaklah sama porsinya dalam setiap cerpennya. Ada ideologi yang dominan, ada yang kurang dominan, dan ada pula yang tidak dominan. Yang paling dominan ideologi cerpen Foto Bupati di Kamar Pelacur adalah kehidupan sosial disusul oleh politik, jurnalistik, kapitalisme, otoritarianisme, materialisme, humanisme, realisme, feminisme, dan seksualisme. Sebagai akhir topik sastra dan politik ini ditemukan sosok tokoh yang berdiri sendiri dengan perwatakan yang cukup kuat, seperti Lena (“Catatan Harian Istri Politisi”), Ibu Sofi (Dilarang Menjadi Anggota Dewan”), Ibu Titik (“Karangan Bunga”), Kak Budi (“Gila”), dan Riniti (“Riniti”). Untuk cerpen “Virus” justru tidak menggambarkan tokoh dengan karakter kuat—warga, para menteri, para pejabat, para pakar dan petugas—semua tokoh hadir dengan peristiwa sendiri-sendiri ketika warga panik menghadapi virus yang menyerang. Pengarang menggunakan metafor virus sebagai pintu masuk kelas sosial masyarakat dan membuka kesadaran perubahan kehidupan. Meskipun karakter tokoh tidak kuat, di sinilah, pilihan pengarang untuk menghadirkan isu sosial yang ingin disampaikan dalam cerpen-cerpennya.
Kisah Cinta dalam Pertarungan Posisi Perempuan
Kelima cerpen Foto Bupati di Kamar Pelacur berkisah tentang cinta dan bagaimana posisi perempuan dalam rumah tangga. Kelima cerpen itu adalah “Seorang Ayah yang Berburu di Kuburan”; “Episode Cinta Orang Kota”; “Luka yang Membisu” (hlm. 83—91); “Romantika” (hlm. 92—101); dan “Cinta yang Menua” (hlm. 102—111). Seperti halnya Socrates berpendapat bahwa hidup yang tidak direnungi adalah hidup yang tidak layak dijalani. Kelima cerpen tersebut adalah kisah-kisah yang menggambarkan hidup dengan cinta dengan pasangannya, terutama tokoh perempuan yang memilih untuk membahagiakan suaminya. Cinta Ibu dalam cerpen “Seorang Ayah yang Berburu di Kuburan” (hlm. 65—72) sudah tidak mampu menghadapi suaminya yang tidak bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rumah tangga. Di akhir kisahnya tokoh Ibu meninggal dalam kondisi hamil, “Ibu tampak terbengong-begong. Aku meronta. Kutendang-tendang perut ibu. Aku ingin mengingatkan ibu agar tidak membiarkan ayah melakukan sesuatu yang tidak masuk akal. “Ibu, ayah itu lelaki yang tidak bertanggung jawab. Ia ingin jalan pintas. Ayah mau enaknya sendiri,” kataku menggedor-gedor perasan Ibu” (Yahya, 2020, hlm. 67).
Cerpen lain berjudul “Episode Cinta Orang Kota” (hlm. 73—82) yang menyuarakan harapan pengarang agar perempuan mampu tegar dan mampu menolak keinginan laki-laki yang merugikan dirinya, dan perempuan juga harus mau beraktivitas di dunia publik tidak hanya mengungkung diri di dunia domestik. Namun, persoalan akan menjadi lain ketika pasangan suami istri belum dikaruniai seorang anak. Seperti yang dilakukan oleh tokoh Esti yang memutuskan tidak berangkat kerja ketika pikirannya berkecamuk antara anak dan pekerjaan. Perhatikan kutipan ini “Sesampainya Esti di rumah, Ajat langsung menunjukkan keheranannya. Tidak seperti biasanya Esti seperti itu. Biasanya ia selalu bersemangat bekerja. Meliput berbagai peristiwa dan menulisnya menjadi berita…” (Yahya, 2020, hlm. 81). Mungkin akan ada pandangan negatif dari masyarakat sekitar, tetapi perempuan harus bergerak maju dan sukses. Namun, peran domestik perempuan pun tetap dijaga dan dipertahankan. Hal tersebut pun seiiring dengan cerpen berjudul “Luka yang Membisu”, tokoh perempuan bernama Sofi harus merelakan suaminya menikah dengan perempuan lain “Oh, syukurlah. Jadi, Sofi setuju Sulaiman kawin lagi? Wajah ibu mertuanya merona. Sofi mengangguk pelan. Anggukan yang menusuk-nusuk luka di hatinya. Sofi menguatkan perasannya” (Yahya, 2020, hlm. 89). Dari kelima cerpen yang menggambarkan citra perempuan atau ibu menunjukkan bahwa pengarang masih menginginkan perempuan menyadari kodratnya sebagai seorang ibu, meskipun mereka juga menuntut kesetaraan dengan laki-laki. Gambaran tersebut ada dalam tokoh yang diciptakan pengarang.
Peran perempuan yang ditonjolkan dalam cerpen Foto Bupati di Kamar Pelacur adalah idealogi feminisme moderat, yaitu feminisme yang mempunyai ideologi yang tidak menentang perkawinan dan tidak menganjurkan perempuan untuk melajang seumur hidup. Ideologi ini menjunjung tinggi kodrat perempuan yang memungkinkan perempuan untuk melahirkan dan merawat anak. Feminisme moderat mendukung perempuan untuk melakukan tugas-tugas alami. Di samping itu, feminisme moderat juga menganjurkan agar perempuan bisa hidup mandiri, baik secara intelektual maupun secara ekonomis karena kesanggupan ini akan membuat perempuan memiliki kedudukan sejajar dan akan melepaskan ketergantungan dirinya pada laki-laki. Inilah cara Yahya Umar dalam bercerita dalam cerpen-cerpennya yang dapat dikatakan “sederhana”, tetapi sarat dengan masalah yang mendasar mengenasi ketidakadilan kehdiupan sosial/tuna wisma, politik, jurnalistik dalam sastra.
Penutup
Kesaksian sastra dalam cerpen Foto Bupati di Kamar Pelacur ini bentuk ungkapan pengarang terhadap represifnya poltik di Indonesia, semakin menguatkan kepercayaan masyarakat bahwa sastra memiliki peran penting dalam berkebudayaan. Sastra dengan fiksionlitasnya bercerita kisah kehidupan pelacur yang trelibat dalam perpolitikan di Indonesia, bahkan media massa berperan sebagai kontrol sosial dan fakta dalam kehidupan masyarakat. Ketiga unsur tersebut hadir dalam cerpen Foto Bupati di Kamar Pelacur menjadi data pelengkap karya sebagai strategi estetika sastra. Sekali lagi, pengarang memahami cara bercerita dalam sebuah cerpen menjadi menarik dengan tema yang diangkatnya dan bagaimana pembaca menghayatinya. Selamat membaca kumpulan cerpen Foto Bupati di Kamar Pelacur. [T]
- Tulisan ini telah disampaikan dalam acara Ngobrol Seputar Bali (Ngobali), Minggu, 14 Juni 2020, pukul 16.00—18.00 Wita melalui virtual (zoom).