Ada hal yang sampai sekarang sebenarnya tidak ingin saya bahas tetapi keadaan ini masih perlu mendapatkan perhatian yaitu pandemi Covid-19. Pandangan menarik yang saya lihat, tampaknya pandemi Covid-19 ini akan berlangsung lama dan mengubah cukup banyak tatanan kehidupan kita. Termasuk mungkin saja akan mengubah jenis dan konten gangguan mental yang terjadi di sekitar kita. Saya seperti juga Anda juga akan menjadi saksi atas perubahan-perubahan ini.
Dari sisi kesehatan mental, sebenarnya tanpa pandemi ini pun Indonesia khususnya Bali mempunyai pekerjaan rumah yang cukup banyak tersisa. Di Indonesia untuk gangguan mental emosional diatas usia 18 tahun terjadi pada 6% penduduk dan PR-nya adalah 91% di antaranya belum mendapatkan pertolongan.
Jadi kalau ada 10 orang belum tentu ada 1 orang depresi yang mendapatkan pertolongan. Untuk gangguan jiwa berat atau skizofrenia, provinsi Bali saat ini masih menjadi peringkat pertama di Indonesia persentase penduduk yang mengalami skizofrenia, yaitu 11 per 1000 dari rumah tangga warga Bali mengalami skizofrenia. Tentu saja sebagian diantaranya tidak diobati, dan masih ada yang terpasung.
Data diatas ada tanpa peran pandemi Covid-19. Bagaimana setelah itu? Keadaan terkini, dari beberapa hal yang diungkapkan teman sejawat saya jumlah gangguan mental yang kini meningkat pesat adalah hal-hal yang menyangkut gangguan kecemasan, gangguan kecanduan dan gangguan depresi. Angka yang terlihat gangguan-gangguan tersebut meningkat hingga dua kali lipat bahkan lebih.
Tipe Gangguan Kecemasan
Saya ingin membahas soal kecemasan yang sebelumnya pada kolom Jumat Mantap Jiwa (Jumanji) beberapa kali saya singgung. Mari kita lihat dari tipe-tipe sumber kecemasan. Ada dua tipe gangguan kecemasan. Pertama, Precrastination. Gangguan ini terjadi pada orang-orang yang terlalu cepat bertindak atau mengambil keputusan, sembrono. Hanya melihat sebagian data kemudian mengambil kesimpulan. Sering membuat kesalahan, sering cepat berubah dalam mengambil keputusan dan hal itu menyebabkan pengambilan keputusan yang terlalu dini.
Misalnya ada orang punya deadline satu bulan tapi dari sekarang sudah dikerjakan bahkan tiga minggu sebelumnya sudah selesai. Kelihatannya memang rajin, tetapi itu sebenarnya ingin menuntaskan kecemasannya dengan lebih cepat. Daripada saya cemas sebulan lebih baik saya kerjakan lebih awal, itu yang ada dalam pikirannya.
Bagaimana hal seperti ini jika dikaitkan dengan pandemi Covid-19? Biasanya ketika awal mendapatkan informasi tentang pandemi, bahayanya dia sudah mengisolasi dirinya atau tinggal di rumah bahkan sebelum ada anjuran pemerintah. Dan ketika keadaan sudah agak membaik tetapi belum benar-benar baik, dia juga sudah menyelesaikan isolasi dirinya di rumah. Paling cepat bekerja dan sebagainya.
Ciri lainnya, sangat terpengaruh dari pemberitaan media yang dia baca. Biasa terpengaruh oleh teori-teori konspirasi sehingga cenderung terlalu lebay tapi kadang terlalu abai. Hal ini sering saya temui pada klien di tempat praktik saya, gangguan kecemasan sering terjadi pada orang-orang seperti ini. Sangat reaktif terhadap penberitaan dan sangat reaktif terhadap perubahan.
Sekarang ini yang perlu mendapat perhatian kita bersama adalah soal ancaman the second wave atau gelombang kedua Covid-19. Kalau kita katakan sementara minggu lalu atau dua minggu lalu pandemi cukup mereda dan kita membicarakan new normal, kinikok kelihatannya cukup menaik dan beberapa hari yang lalu justru terjadi peningkatan tertinggi selama pandemi di Indonesia.
Pada orang-orang tipe ini akan segera mengalami kecemasan dan jika tidak ditangani akan mengalami gangguan kecemasan. Tipe gangguan kecemasan kedua yakni Procrastination. Itu kebalikan dari tipe pertama, justru selalu menunda-nunda. Jadi kalau ada tugas sering dikerjakan pada last minute atau menit-menit terakhir. Sangat perfeksionis, hasilnya harus bagus, dikerjakan tetapi hasil pekerjaan itu tidak dikumpul-kumpul. Selalu menunda, berharap ketika last minute ada energi yang luar biasa untuk menyelesaikan hal itu. Merasa semuanya ada dalam kendali dia.
Kita tahu bahwa dalam kehidupan kita ada hal-hal berada di dalam kendali kita dan ada yang berada di luar kendali kita, misalnya wabah ini. Bagaimana orang lain bersikap terhadap wabah adalah di luar kendali kita. Bagaimana keputusan pemerintah mengatur diri kita itu adalah juga di luar kendali kita.
Orang-orang pada tipe ini akan sangat terganggu dengan apa pun yang pemerintah lakukan. Sangat terganggu atas respon orang lain menghadapi pandemi. Tentu saja, sangat telat menghadapi perubahan. Ada juga klien yang saya temui mengalami gangguan kecemasan di mana dari awal sampai sekarang masih mengisolasi diri. Jadi ketika hendak berkonsultasi dengan saya masih secara daring (online) dan sampai saat strict melakukan isolasi diri di rumah.
Dan, sangat terpengaruh oleh pemberitaan, melihat atau membaca kenaikan orang yang positif terjangkit virus Corona. Jadi selalu update tentang hal itu. Ini tentu bisa menyebabkan kecemasan yang berujung pada gangguan kecemasan.
Gangguan yang Meningkat
Dua sumber tadi menyebabkan angka gangguan kecemasan di masyarakat meningkat. Sayangnya, tidak banyak yang mencari pertolongan sehingga gangguan kecemasannya akan memburuk. Ada juga tipe gangguan mental yang akhir-akhir ini sangat meningkat yaitu kecanduan, baik kecanduan zat berupa alkohol. Selain itu peningkatan kecanduan nikotin, dan juga psikotropika atau narkotika.
Juga kecanduan perilaku, misalnya kecanduan internet dan kecanduan game online karena di masa pandemi kehidupan sosial dibatasi jadi akhirnya kecanduan yang muncul berhubungan dengan teknologi.
Sebenarnya kecanduan ada hubungannya dengan kecemasan. Ketika kita mengalami kecemasan, kita berusaha mengobati diri kita sendiri dengan minum alkohol yang eksesif dengan jumlah yang luar biasa dan tergantung mood kita. Bahayanya adalah ketika kita mengalami kecanduan seperti ini menyebabkan paranoid, kita makin curiga dan memilih informasi hanya yang kita inginkan saja.
Makanya tak heran orang-orang seperti ini sangat mempercayai teori konspirasi, yaitu bagaimana dia tidak percaya bahwa pandemi Covid-19 adalah sesuatu yang nyata sehingga mengabaikan data-data ilmu pengetahuan. Kemudian merangkai rangkaian pikiran-pikirannya sendiri dan sering mencetuskan hal-hal emosional di media sosial. Hal ini harus kita sikapi bersama karena kalau tidak maka angka gangguan kecemasan akan makin tinggi.
Kemarin saya bertemu klien seperti ini yang mengatakan bahwa konspirasi terkait Covid-19 sudah semakin besar, karena kini orang-orang yang bicara di YouTube dan media sosial tentang teori konspirasi di-take down oleh penyelenggara media sosial.
Menurut dia hal itu makin menguatkan adanya konspirasi. Padahal sebenarnya kalau dipikir dengan perspektif lain hal itu adalah usaha yang sangat baik untuk membatasi informasi yang tidak benar, sehingga masyarakat dapat merespon dengan baik ketika menghadapi pandemi.
Ilmu Pengetahuan Sejati
Tapi apapun itu, sebenarnya pandemi ini bukan soal kita takut atau tidak takut, bukan soal cemas atau tidak cemas. Orang cemas pun bisa mengalami Covid-19, dan orang yang tidak cemas pun bisa mengalaminya. Tetapi bagaimana kita fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan bisa pasrah atau memaklumi untuk hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan.
Seperti ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan yang sejati harus kita percayai karena dia tidak mengenal apapun pandangan politik kita, apapun agama kita, ataupun latar belakang kita. Ketika kita bicara soal ilmu pengetahuan sejati, itu terjadi tanpa melihat latar belakang kita.
Sama halnya dengan gravitasi. Anda boleh berbeda agama, berbeda ras, berbeda latar belakang atau berbeda pandangan politik, tapi karena gravitasi itu bersifat nyata kita semua mengalami gravitasi. Entah kita percaya atau tidak percaya akan gravitasi, kita tetap mengalami gravitasi. Hal yang sama berlaku pada pandemi Covid-19. Mudah-mudahan the second wave tak seburuk yang kita bayangkan dan kita semua tetap berada dalam keadaan mantap jiwa dan raga. [T]