Pengarang
Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten (IBW Widiasa Keniten) adalah seorang sastrawan yang lahir di Griya Gelumpang, Karangasem, pada tanggal 20 Januari 1967. Beliau merupakan anak dari Ida Made Wirya (alm) dan Ida Ayu Wayan Raka (alm). Latar belakang beliau yang merupakan seseorang yang menggeluti bahasa dan sastra menjadi salah satu pengaruh yang menyebabkan beliau sangat aktif di bidang bahasa dan sastra. Pada tahun 1997 beliau menyelesaikan pendidikan S-1 di Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja program studi Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah. Pada bulan Agustus tahun 2012, beliau telah menyelesaikan pendidikan S-2 Linguistik Universitas Udayana.
Beliau sangat menggemari sastra Bali klasik, sastra Bali modern, dan juga sastra Indonesia. Karya beliau diawali dengan menulis cerita-cerita untuk diterbitkan di harian koran Bali Post. Tidak itu saja, beliau juga aktif menulis puisi Bali, cerita pendek (cerpen) berbahasa Indonesia, dan esai berbahasa Bali maupun berbahasa Indonesia. Karya-karya beliau pernah dimuat di Bali Post, Pos Bali, Denpost, Buratwangi, Warta Bali, Bali Aga, dan lain sebagainya.
Karya-karya beliau hingga saat ini yaitu, Buduh Nglawang, Bangke Matah, Warisan Jagal, Kuda Putih, Novel Kania, Bor, Sabdaning Sepi, Mekel Paris, Pohon Jika, Perempuan Malam, Dongeng Sandal Jeit, Genjek Persepsi Sosio-Kontekstual, Eksistensi Basur, Jro Lalung ngutah, Manukan Sidang Para Burung, Telaga Tubuh, Geguritan Wang Bang Sunaran, Guru Penjaga Moral Bangsa, Memotret Lorong-lorogng Gelap Perempuan, Kumpulan Cerpen Berumah di Laut, Pupulan Cerpen Tuan Dewan, Perpustakaan: Mata Air Literasi Membangun Apresiasi, Menumbuhkan Kreativitas.
Dalam perjalanan beliau menulis, tidak luput dari torehan prestasi, diantaranya pada tahun 2006 mendapatkan hadiah Sastra Rancage pada karyanya yang berjudul Buduh Nglawang, pada tahun 2015 mendapatkan penghargaan Widya Pataka yang diberikan oleh Gubernur Bali untuk karyanya yang berupa kumpulan cerpen yang berjudul Jero Lalung Ngutah. Pada tahun 2013 mendapat peringkat pertama guru berprestasi tingkat nasional dan sebagai penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Pendidikan yang diberikan oleh presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono.
Selain itu, beliau juga aktif mengikuti program kunjungan (benchmarking) ke Jerman, Paris, Belgia, dan Amsterdam. Hingga kini beliau telah menerbitkan buku terbarunya yaitu buku kumpulan cerpen yang berjudul Pasisi Sanur pada tahun 2019. Profesi beliau selain sebagai sastrawan, kini beliau ditugaskan sebagai pengawas di Dinas Pendidikan Provinsi Bali.
Buku Kumpulan Cerpen Pasisi Sanur
Buku kumpulan cerpen Pasisi Sanur karya IBW Widiasa Keniten ini diterbitkan pada tahun 2019 oleh penerbit Pustaka Ekspresi. Buku ini memiliki 12 judul cerpen dengan tebal 71 halaman. Judul-judul cerpen tersebut antara lain, Candidasa, Mémé Dangin, Luh Tirtha, Dadong Nusa, Balian Sadhu, Panglipuran, Potrékan Luh OP, Mr. Lau, Madé Arak, Bui, Pasisi Sanur, dan Dadong Bingin. Pada bagian depan buku berisi sampul, keterangan ISBN, pembuka, dan daftar isi buku. Sedangkan pada bagian belakang buku terdapat data diri pengarang berupa sedikit biodata serta karya-karya yang telah ditulis oleh IBW Widiasa Keniten.
Cover/Sampul Buku Kumpulan Cerpen Pasisi Sanur
Sampul dari Buku Kumpulan Cerpen Pasisi Sanur digambarkan dengan air pantai yang tenang, diiringi dengan keberadaan matahari yang pada bagian bawahnya disertai dengan judul buku. Warna sampul buku cenderung perpaduan warna gelap antara cokelat dan hitam namun di satu titik terdapat warna kuning yang berasal dari cahaya matahari. Sebagian orang akan paham ketika melihat judul buku dan ilustrasi yang digambarkan pada sampul buku. Namun, ketika pembaca telah selesai membaca keseluruhan isi buku, pembaca akan semakin memahami maksud pengarang menggunakan ilutrasi air pantai yang tenang diiringi sinar matahari. Gambar ilustrasi sampul tersebut merupakan gambar ilustrasi dari sebagian tokoh yang menonjol dari kumpulan-kumpulan cerpen yang terdapat pada buku ini.
Beberapa cerpen yang erat kaitannya dengan sampul buku adalah cerpen dengan judul Candidasa, Mémé Dangin, Luh Tirtha, Dadong Nusa, Panglipuran, Potrékan Luh OP, Bui, dan Pasisi Sanur. Dikatakan demikian karena dalam cerita pendek tersebut menceritakan tokoh utamanya yaitu perempuan dengan kepribadian yang berbeda-beda. Artinya, pada cerita-cerita tersebut menceritakan pribadi seorang wanita yang memiliki peran superior (kuat) dan inferior (lemah).
Sampul pada buku mengilustrasikan keadaan Pantai Sanur yang identik dengan matahari terbit. Ketika matahari terbit, air akan terasa tenang. Keadaan gelap pada sampul dengan setitik sinar dari matahari menggambarkan keadaan dimulainya hari ketika matahari terbit. Hari yang gelap akan berubah menjadi terang. Namun, jika ilustrator ingin menggambarkan pantai Sanur yang terkenal dengan matahari terbit, dengan tujuan agar pembaca memahami maksud dari gambar, ilustrator harusnya menambahkan suasana yang berkaitan dengan Sanur, seperti susunan karang yang membentuk pola tertentu, yang diujung karang-karang tersebut diisi bale bengong atau tempat istirahat sebagai ciri khas dari pantai-pantai yang ada di Sanur. Jika ilustrator hanya menggambarkan matahari saja, ada dua kemungkinan yang akan muncul, apakah itu matahari terbenam atau matahari terbit. Dua kemungkinan ini akan muncul bagi orang-orang awam yang tidak mengetahui ciri khas dari pantai Sanur.
Jika dikaitkan dengan ilustrasi yang ada di sampul, cerita-cerita yang kuat dengan tokoh wanitanya akan membangunkan imajinasi pembaca tentang air laut yang tenang, cahaya matahari, dan keadaan gelap pada sampul buku. Wanita dianggap seperti air laut, memiliki gejolak atau gelombang yang terkadang bisa tenang, sewaktu-waktu juga bisa penuh amarah, namun tetap menjadi pribadi yang tenang ketika jauh di pedalaman, seperti air laut. Ketika air laut tersebut mengenai karang, wanita juga bisa seperti karang yang tegar dan kuat atas berbagai gelombang kehidupan. Selain itu, ilustrasi pada sampul buku juga menggambarkan matahari terbit yang memiliki makna mulainya suatu kehidupan yang baru. Warna yang gelap dan titik kuning cahaya matahari yang terang menggambarkan bahwa kehidupan baru diharapkan mampu merubah warna hidup agar lebih baik. Dimulainya suatu kehidupan ini dimaknai pada wanita, karena hanya pada kodrat wanita kita bisa memperoleh atau melihat kehidupan yang baru. Anak yang dilahirkan oleh seorang wanita merupakan kehidupan baru yang kita lihat.
Di sisi lain, dugaan yang lain juga muncul mengapa Pasisi Sanur dan juga keadaan pantai Sanur digunakan judul dan ilutrasi utama dalam buku kumpulan cerpen ini adalah dengan begitu kuatnya kepercayaan masyarakat akan keadaan spiritualitas daerah Sanur. Artinya, selain sarat akan sifat wanita, di dalam buku kumpulan cerpen ini juga sarat dengan nilai spiritualitas, hampir seluruh cerpen ceritanya diiringi dengan spiritualitas-magis yang ceritanya sering dijumpai oleh masyarakat Bali. Walaupun Bali memang dikenal sebagai pulau yang kuat akan nilai spiritualitasnya, namun daerah Sanur dipercaya sebagai daerah yang memiliki nilai spiritualitas-magis yang paling kuat sehingga ini mungkin menjadi alasan pengarang untuk memilih Pasisi Sanur sebagai judul buku kumpulan cerpen serta gambar ilustrasi pada buku digunakan untuk menyampaikan pesan spriritualitas-magis yang terkandung dalam buku.
Cerpen Yang Mengesankan
Cerpen yang paling mengesankan pada Buku Kumpulan Cerpen Pasisi Sanur adalah cerpen dengan judul Luh Tirtha. Dalam cerpen ini diceritakan seorang wanita bernama Luh Tirtha yang sangat menggemari kegiatan spiritual yang biasa dilakukan oleh umat Hindu yaitu malukat. Cerpen ini dikatakan paling mengesankan karena melalui alur ceritanya yang sarat diiringi kegiatan spiritual dan akan membuat pembaca kaget. Meskipun Luh Tirtha seorang diri pergi malukat, Luh Tirtha tetap menjalani kegiatan itu kemanapun tempat panglukatan yang ingin ia tuju setiap hari Purnama dan Tilem.
Imajinasi pembaca akan dimainkan dengan jalan cerita ketika Luh Tirtha dijumpai sesosok makhluk karena ternyata Luh Tirtha tanpa sadar telah malukat di tirta pangentas. Luh Tirta diajak untuk ikut bersama sosok tersebut dan tidak bisa kembali pulang. Di bagian akhir cerita, diceritakan ayah dan ibu Luh Tirtha menangis melihat badan Luh Tirtha. Melalui jalan cerita ini, pembaca telah bisa menyimpulkan bahwa Luh Tirtha pada akhirnya meninggal. Tirta pangentas merupakan kepercayaan umat Hindu bahwa air suci tersebut diperuntukan bagi yang sudah meninggal. Luh Tirtha yang gemar melakukan pembersihan diri dengan air suci, telah meninggal karena tanpa sadar melakukan pembersihan diri di tirta pangentas tersebut.
Cerpen Yang Bagus
Cerpen yang paling membuat pembaca bermain dengan emosionalnya adalah cerpen yang berjudul Bui yang terdapat pada halaman 51. Bagi pembaca terutama wanita, tentunya akan disuguhkan konflik yang memacu emosional, karena peran wanita superior yang menunjukkan sikap tegas menuntut keadilan akan ada dalam cerita tersebut.
Dalam cerpen Bui diceritakan tokoh wanita bernama Ayu Santi menikah bersama suaminya yang kaya raya bernama Madé Jagra. Madé Jagra yang sangat kaya raya, merasa dirinya tidak cocok disandingkan dengan orang tua Ayu Santi. Hal membuat Ayu Santi tidak diijinkan pulang untuk menengok ayahnya yang sedang sakit. Madé Jagra menikahi Ayu Santi karena Ayu Santi sangat cantik dan menjadi rebutan lelaki di desanya.
Pada bagian awal cerpen sudah disuguhkan konflik berupa dialog Ayu Santi yang bersikeras agar diperbolehkan menjenguk ayahnya yang sedang sakit parah. Namun, perkataan Madé Jagra yang sangat angkuh dan merendahkan orang tua Ayu Santi membuat Ayu Santi sangat marah, belum lagi sifat orang tua Madé Jagra ternyata menurun ke Madé Jagra yang membuat Ayu Santi tertekan. Suatu hari ayah Ayu Santi dikabarkan meninggal dan Ayu Santi tetap tidak diperbolehkan melihat jenazah ayahnya. Kemarahan Ayu Santi semakin menjadi-jadi karena perkataan Madé Jagra yang mengatakan bahwa orang yang sudah meninggal tidak perlu dihiraukan. Pada saat itu juga Ayu Santi menuntut ingin bercerai Madé Jagra dan tidak ingin lagi menginjakkan kaki di rumah Madé Jagra.
Sikap wanita yang menuntut menjadi superior atau mengungguli ini membuat emosional pembaca bermain-main. Konflik awal yang ditampilkan hanya sebatas tidak boleh menemui orang tua kandung, kemudian konflik ditambah dengan merendahkan orang tua kandung dari Ayu Santi. Pembaca akan dibuat ikut merasakan hal tersebut. Di samping itu, alur yang ditawarkan mulai dari awal adalah ketegangan yang pada akhirnya diakhiri pada bagian emosional yang paling tegang. Sikap superior tersebut diakhiri dengan Ayu Santi yang menuntut cerai dengan Madé Jagra. Sikap ini diambil Ayu Santi karena ia tidak ingin harga diri dan orang tuanya diinjak-injak oleh keluarga Madé Jagra hanya karena keluarga Madé Jagra sangat kaya raya.
Cerpen Yang Sulit Dipahami
Dari 12 judul cerpen yang disuguhkan, hampir seluruh cerpen memiliki akhir bahwa pembaca dituntut untuk menyimpulkan sendiri akhir dari cerita tersebut. Terdapat satu judul cerpen yang sangat sulit dipahami yaitu cerpen dengan judul Madé Arak yang terdapat pada halaman 46. Cerpen ini menceritakan seorang pemangku yang bernama Mangku Nyoman memiliki teman yang sama-sama berasal dari Karangasem bernama Madé Arak namun juga sama-sama mengungsi ke Buleleng ketika Gunung Agung meletus. Mangku Nyoman diceritakan baru selesai melaksanakan upacara pembersihan diri yang harus dilakukan oleh calon pamangku.
Mangku Nyoman meskipun sudah menjadi pamangku, ia masih gemar mengkonsumsi arak. Suatu hari ketika Mangku Nyoman pergi ke penjual arak, bertemulah ia dengan Madé Arak kemudian mengkonsumsi arak bersama-sama. Mangku Nyoman tiba-tiba bertemu dengan seorang yang memanggil dirinya Mangku padahal ia tidak pernah bertemu orang itu sebelumnya. Semakin lama, semakin banyak orang yang berdatangan ikut menikmati arak. Namun tidak ada yang satu pun bertanya kepada Mangku Nyoman. Mangku Nyoman dalam benaknya sangat kebingungan karena melihat orang-orang tersebut menggunakan wig dan tidak menanyakan apa-apa kepada Mangku Nyoman. Di bagian akhir cerita, diceritakan pemilik warung semakin takut melihat Mangku Nyoman dan terburu-buru menutup warungnya.
Pada akhir cerita tersebut, dikatakan sulit untuk dipahami karena pembaca tidak akan menemukan kesimpulan dari cerita tersebut jika tidak dibaca berulang kali. Ada dua kemungkinan kesimpulan cerita yang terjadi. Pertama, pemilik warung terburu-buru menutup warung karena orang-orang yang banyak berdatangan tersebut adalah intel yang sedang berjaga-jaga dan melakukan razia di warung tersebut. Dugaan yang kedua adalah, pemilik warung terburu-buru menutup warungnya karena takut melihat Mangku Nyoman yang kemungkinan sedang dalam keadaan mabuk dan tidak sadarkan diri hingga mengamuk di warung penjual arak tersebut.
Pengarang kurang mengembangkan bagian konfliknya, bahkan hampir cenderung konflik tidak terlihat dalam cerpen ini. Jika pembaca sadar, konflik baru terlihat ketika bagian akhir cerpen, Mangku Nyoman yang diceritakan kebingungan merupakan konflik utamanya, dan pengarang tidak menyelesakan konflik tersebut. Meskipun seluruh akhir dari cerpen adalah pembaca yang mengambil kesimpulan tersendiri, namun pada cerpen ini pembaca akan kesulitan menyimpulkan cerita, karena selain konflik yang kurang, penjelasan latar suasana juga sangat kurang dalam cerpen ini, hanya dijelaskan suasana kebingungan dari Mangku Nyoman. Jalan cerita langsung berhenti ketika Mangku Nyoman merasakan kebingungan.
Penilaian Keseluruhan Buku Kumpulan Cerpen Pasisi Sanur
Buku kumpulan cerpen Pasisi Sanur merupakan sebuah buku karangan IBW Widiasa Keniten yang diterbitkan pada tahun 2019 yang mengangkat sebagian besar ceritanya sarat akan nilai spiritualitas dan juga peran seorang wanita. Hampir seluruh cerita memiliki kesan spiritualitas tersendiri. Ada yang disinggung sedikit spiritualitasnya, seperti pada cerpen Candidasa yang hanya menceritakan Luh Ayu sedang bersembahyang dan melakukan kegiatan malukat di titik pertemuan air sungai dengan air laut (campuhan) kemudian dilanjutkan dengan konflik kehidupannya. Ada juga cerpen yang jalan ceritanya dari awal hingga akhir cerita diiringi dengan kesan yang sangat spiritualitas seperti pada cerpen Mémé Dangin, Luh Tirtha, Dadong Nusa, Balian Sadhu, Panglipuran, Mr. Lau, Madé Arak, Pasisi Sanur, dan Dadong Bingin. Hanya pada cerpen Bui dan Potrékan Luh OP yang tidak diikuti dengan cerita spiritualitas. Pada cerpen Bui dan Potrékan Luh OP menceritakan kehidupan realistis seorang tokoh perempuan yang sedang berkonflik dengan suaminya tanpa diiringi kegiatan spiritualitas
Pada halaman depan buku di bagian kode ISBN, terdapat kata gambar cover, tukang susun,dan citakan. Jika dalam hal ini akan tetap konsisten menggunakan bahasa Bali, pada kata gambar cover bisa diganti dengan gambar ring sampul buku. Kemudian pada bagian purwaka, setelah terimakasih pada bagian akhir diucapkan, alangkah baiknya ditambahkan keterangan “penulis” untuk memberi keterangan bahwa yang menulis ucapan tersebut adalah penulis buku kumpulan cerpen Pasisi Sanur.
Kesan spiritualitas pada cerpen-cerpen dalam buku ini memiliki cerita yang berbeda. Ada kesan spiritualitas ditujukan kepada Sang Pencipta, yang dapat diliat pada cerpen Candidasa, Mémé Dangin, Dadong Nusa, dan Dadong Bingin. Empat judul cerpen tersebut memiliki jalan cerita yang tokoh utamanya adalah wanita yang memiliki tingkat spiritualitas ditujukan kepada Sang Pencipta. Tokoh perempuan dalam cerpen-cerpen tersebut diceritakan melakukan kegiatan persembahyangan dan sanat menyadari bahwa Tuhan itu hadir dalam kehidupan mereka, hal ini dilihat dari dialog yang mereka ucapkan berisi tentang permohonan mereka kepada Sang Pencipta.
Ada pula kesan spiritualitas yang ada pada tingkat manusia yang memperlajari lontar-lontar atau ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kadiatmikan. Artinya, dalam hal ini tokoh utama yang mempelajari hal tersebut tujuannya untuk mendapatkan ketenangan batin. Kesan seperti ini dapat dijumpai pada cerpen Luh Tirtha, Balian Sadhu, Madé Arak, Mr. Lau dan Pasisi Sanur. Kesan spiritualitas tersebut akan menimbulkan pemahaman yang sangat melekat kepada pembaca, karena kesan tersebut sangat mudah ditebak dan ada di kalangan masyarakat khususnya masyarakat Hindu Bali. Pada cerpen Luh Tirtha akan diceritakan seorang wanita yang gemar melakukan kagiatan berupa malukat, pada cerpen Balian Sadhu akan diceritakan tokoh yang menurunkan kemampuan kakeknya yaitu menjadi seorang balian, pada cerita Madé Arak akan diceritakan kebiasaan seorang pemangku yang juga gemar mengkonsumsi arak, pada cerpen Mr. Lau akan diceritakan seorang tokoh yang ingin menjadi sangging seperti yang dilakukan oleh Mr. Lauyaitu seorang yang berperan sebagai pengasah gigi dalam upacara mapandes yang dilakukan oleh umat Hindu Bali. Sedangkan pada cerpen Pasisi Sanur akan disuguhkan cerita seorang tokoh yang diajak ke dunia lain untuk mempelajari ilmu kadiatmikan untuk ketenangan jiwanya.
Selain itu, mengiringi kesan yang spiritulitas, pengarang sangat pandai menggunakan kata pengganti, seperti kata ranu kicik (danau kecil), Dewi Hariti (Men Brayut), I Sigar (anak dari Dewa Surya atau Matahari), Sang Hyang Aswinodewa (Balian para Dewata), dan Luhtu (Luh Tuak). Kepandaian pengarang dalam menggunakan kata pengganti pada isi cerpennya menggambarkan bahwa pengarang memiliki wawasan luas yang berfungsi untuk melenggutkan atau mengindahkan bahasa yang digunakan oleh pengarang sehingga berpengaruh pada kualitas karyanya.
Dalam hal penggunaan bahasa, IBW Widiasa Keniten sangat pandai menggunakan bahasa Bali andap. Meskipun ada bahasa asing seperti facebook, pengarang tetap menggunakan istilah pisbuk pada cerpen yang berjudul Madé Arak. Ini merupakan salah satu bentuk kekonsistenan pengarang dalam menggunakan bahasa Bali andap pada karyanya. Selain itu, pengarang juga menyelipkan kutipan geguritan Selampah Laku karya Ida Padanda Made Sidhemen yang memiliki makna kehidupan pada cerpen yang berjudul Pasisi Sanur. Hampir tidak ditemukan bahasa lain selain bahasa Bali dalam karya ini, hanya ada satu kata yang menggunakan bahasa Inggris yaitu pada judul cerpen Mr. Lau. Meskipun tokoh dinamakan Mr. Lau, dalam cerpennya tidak ada hubungannya dengan Inggris atau luar Indonesia, alur cerita tetap sarat akan nilai-nilai spiritualitas.
Seperti yang dikatakan pada bagian awal, sebagian besar cerpen ini juga memiliki tokoh wanita sebagai tokoh utamanya. Peran wanita yang superior dan inferior sangat ditonjolkan dalam cerpen ini. Jika sebagian besar tokoh utamanya sebagai wanita digambarkan pada ilustrasi sampul, maka maksud ilustrator hampir tepat. Karena citra wanita yang superior dan inferior telah berhasil disampaikan oleh pengarang. Di dalam cerpen juga disampaikan peran bahwa wanita sebagai pembimbing, sesuai dengan makna kata “perempuan” yang berasal dari kata “empu” yang artinya merawat atau membimbing. Keseluruhan cerita tentang wanita yang diceriatakan dalam cerpen merupakan citra wanita yang sangat tangguh menghadapi segala cobaan yang dialaminya.
Peran wanita superior ditujukan pada cerpen Mémé Dangin yang menceritakan peran seorang ibu yang selalu mengayomi anak-anak di sekitarnya. Meskipun anak yang diceritakan yaitu Nyoman Wirata dalam cerpen merupakan tetangga, tetapi anak tersebut sangat senang ketika berada di dekat Mémé Dangin, karena ia selalu memberikan Nyoman Wirata cerita tuntunan hidup melalui cerita I Sigar yaitu anak dari Dewa Surya atau Dewa Matahari. Peran wanita superior berikutnya diceritakan pada cerpen Potrékan Luh OP. Luh OP diceritakan menjadi rebutan para lelaki namun akhirnya menikah dengan suami yang sangat memanjakan sifat dari Luh OP. Perilaku Luh OP sangat terlihat sikap wanita yang superior yaitu ingin mengungguli. Apapun yang diinginkan oleh Luh OP selalu dituruti oleh suaminya. Perilaku Luh OP juga sangat mencerminkan kekinian, yaitu kebiasaan oarng-orang yang kini kurang paham akan menggunakan sosial media dengan bijak. Saking dimanjanya, suami Luh OP menuruti kemauan Luh OP untuk melakukan operasi plastik agar wajah Luh OP semakin cantik. Akibat hal tersebut, Luh OP menjadi wanita yang sosialita yang selalu mementingkan kehidupan di sosial media, karena di sosial media Luh OP selalu dipuji dan diperebutkan banyak lelaki. Karakter yang diciptakan pengarang terhadap Luh OP sangat menggambarkan sesuatu yang kekinian, dimana sosial media dapat dikatakan seperti pisau bermata dua. Sosial media memiliki dua sisi yaitu baik dan buruk yang sama, tergantung dari pandai atau tidaknya kita dalam menggunakan sosial media.
Selain peran wanita yang superior, peran wanita yang inferior juga diceritakan dalam cerpen Panglipuran. Dalam cerpen tersebut diceritakan perempuan bernama Luh Darmi yang setiap hari raya Umanis Galungan selalu pergi ke tempat wisata Panglipuran. Ia selalu pergi ke tempat tersebut seorang diri. Luh Darmi memiliki kesan tersendiri terhadap Penglipuran, karena tempat itu merupakan tempat kenangannya bersama Ketut Sudika. Ketika berkunjung ke wilayah karang mamadu, Ketut Sudika berjanji kepada Luh Darmi untuk selalu mengajak Luh Darmi pergi ke Panglipuran setiap hari raya Umanis Galungan. Namun karena ingin merubah nasib, Ketut Sudika kemudian bekerja di luar negeri yaitu di Jepang, dan berjanji akan datang setelah enam bulan. Ketika enam bulan berlalu, penantian Luh Darmi tak kunjung membuahkan hasil. Hingga satu tahun, Ketut Sudika tidak juga datang. Penantian Luh Darmi yang tidak membuahkan hasil membuat hari-hari Luh Darmi tidak merasakan bahagia karena tidak menerima kabar dari Ketut Sudika. Ada kemungkinan yang muncul d akhir cerita bahwa Ketut Sudika telah menjalin hubungan dengan wanit lain, karena janji itu diucapkan ketika mereka mengunjungi daerah yang dnamakan karang mamadu. Karang mamadu merupakan tempat yang ada di desa Wisata Panglipuran yang diperuntukan bagi penduduk yang telah melakukan perselingkuhan kemudian menikah.
Keadaan Luh Darmi dalam cerpen merupakan salah satu sikap inferior karena Luh Darmi tidak merasakan bahagia ketika menanti janji-janji yang diucapkan oleh Ketut Sandika. Penantian Luh Darmi masih menjadi misteri apakah Ketut Sandika akan menepati janjinya atau tidak. Namun, meskipun dikatakan inferior, Luh Darmi juga ternmasuk wanita yang sangat kuat karena menunggu kapulangan dari Ketut Sudika. Kehidupan ini pada realitanya ada pada kehidupan masyarakat Bali, banyak perempuan Bali yang suaminya bekerja di luar negeri demi memperbaiki keadaan ekonomi keluarga namun tidak jarang juga terlambat dari jadwal pulang yang telah disampaikan. Tak jarang juga, sulitnya dalam berkomunikasi menyebabkan pihak keluarga sulit mendapatkan kabar dari luar negeri.
Seluruh cerpen digambarkan dengan latar tempat dan keadaan atau setting suasana yang lengkap yang dirasakan oleh tokohnya. Pengarang memberikan gambaran setting pada saat di awal atau dipertengahan cerita yang berfungsi untuk meredam emosional pembaca. Setting semacam ini terdapat pada cerpen Dadong Nusa. Penggambaran suasana digambarkan dengan keadaan Dadong Nusa yang ingat akan keadaan ombak di Nusa, hal ini membuat Dadong Nusa harus berusaha agar bisa pergi sembahyang ke pura kawitan yang ada di Nusa. Latar berikutnya digambarkan dengan keadaan pantai Kusamba ketika Dadong Nusa hendak menyebrang menuju Nusa. Pengarang sangat berhasil menggambarkan latar suasana pada cerpen karena sangat lengkap dan membuat imajinasi pembaca bermain di dalam cerita.
Penggambaran suasana pada cerita biasanya pengarang menggunakan majas personifikasi yaitu majas yang mengumpamakan benda mati bertingkah layaknya manusia. Majas personifikasi tersebut terdapat pada cerpen pertama dengan judul Candidasa, ombak yang membentur karang menari bagaikan tarian Rejang Dewa. Sesungguhnya ini merupakan pemaknaan dari kondisi seorang tokoh perempuan bernama Luh Ayu. Ombak digambarkan seperti masalah yang tengah dihadapi oleh Luh Ayu, namun Luh Ayu tetap bagaikan karang, diam dan kokoh memecah ganasnya ombak yang diibaratkan seperti gelombang kehidupan.
Namun, di beberapa cerpen pengarang terlalu banyak menggambarkan suasana sehingga pembaca akan cenderung bosan membayangkan suasana yang terjadi. seperti pada cerpen Candidasa dan Dadong Bingin, penjelasan latar suasana yang terlalu panjang dan lama hingga hampir 2 halaman membuat pembaca jenuh dengan penggambaran suasana dan menunggu-nunggu jalan cerita. Pada dua cerpen tersebut, penjelasan awal suasana sesungguhnya sudah cukup menjelaskan bagaimana suasana yang tercipta dalam cerpen tersebut, karena setting tempat pada cerpen Candidasa hanya terjadi di pantai, dan setting tempat pada cerpen Dadong Bingin sebagian besar terjadi di wilayah yang berisi pohon beringin, hanya ada sepenggal dialog yang dilakukan di rumah, sedangkan ketiak dialog di rumah tidak disertakan penggambaran suasana yang lengkap. Jadi penggambaran suasana hanya dilakukan di wilayah yang berisi pohon beringin tersebut.
Seluruh cerpen memiliki alur maju dengan cerita akhir yang menuntut pembaca agar menyimpulkan akhir dari cerita. Konflik yang ditampilkan selalu mepet pada bagian akhir cerita, dengan tujuan pada konflik tersebut sudah bisa diambil kesimpulan apa yang akan terjadi dalam cerita walaupun tidak dijelaskan. Ini merupakan penyampaian akhir cerita secara implisit dan pengarang akan membiarkan imajinasi pembaca bermain-main di akhir cerita, memberikan ruang tafsir kepada pembaca untuk hanyut di dalam cerita, serta mengambil kesimpulan tersendiri sesuai dengan konflik dan jalan cerita yang disediakan. Akhir dari setiap cerita, pembaca selalu dikagetkan dengan kalimat penutup yang akan membuat pembaca bertanya-tanya dan emosional pembaca akan terus berjalan mencari akhir dari cerita.
Tokoh utama dalam setiap cerpen dikuatkan dari awal hingga akhir, penguatan tokoh disampaikan oleh pengarang melalui latar dan suasana yang disambungkan dengan kondisi yang dialami oleh tokoh utama, sehingga pembaca mampu masuk ke dalam cerita setelah membaca latar yang ada. Dengan demikian, penciptaan karakter tokoh utama akan sangat kuat dan melekat dalam ingatan pembaca. Tidak jarang pengarang juga hanya menggunakan dua tokoh dengan sedikit percakapan untuk menguatkan karakter tokoh utama. Penguatan karakter juga diikuti dengan penyampaian konflik dengan narasi. Namun, ketika melalui dialog, karakter tokoh utama akan dimunculkan dengan suasana tokoh utama lebih menonjol dibandingkan tokoh pendukungnya. Seperti yang terdapat pada cerpen Bui, tokoh utama sangat jelas menonjol pada cerpen ini. Ayu Santi merupakan sosok wanita yang tangguh. Setiap pembicaraannya selalu menuntut keadilan dari suaminya. Sehingga ia secara tegas mengatakan ingin bercerai dengan suaminya karena ia tidak mendapatkan keadilan.
Sesuatu yang menarik dari seluruh isi cerpen ini adalah adanya perjalanan spiritualitas yang dilakukan. Dari 12 judul cerpen, terdapat 10 cerpen yang diangkat berdasarkan budaya Hindu Bali yang terkenal dengan kesan spiritualias-magisnya. Kesan spiritualias-magis dari karya-karya IBW Widiasa Keniten selalu disampaikan dengan sukses membuat kita berpikir bahwa itu sering terjadi dengan kita dan tidak jarang umat Hindu Bali mempercayai hal itu meskipun tidak bisa dibuktikan secara nyata. Misalnya dalam cerpen dengan judul Pasisi Sanur diceritakan tokoh tiang sedang berdoa kepada tokoh yang dipercayai masyarakat Sanur seperti Ratu Niang Sakti, dan Dayu Biang Sanur yang dipercaya sebagai ratu dari ilmu leak. Ketika memikirkan dua tokoh tersebut, tokoh tiang menggambarkan wajah kedua tokoh tersebut. Kemudian suasana magis mulai dirasakan, tokoh tiang dijemput oleh Dayu Biang Sanur untuk belajar ilmu leak hanya untuk kebaikan. Kesan magis akan timbul ketika tokoh Dayu Biang Sanur mulai muncul dan mengajak tokoh tiang ke Gria Sunia, yang memiliki arti tempat di sana, yang tidak bisa dilihat manusia secara kasat mata. Ini merupakan salah satu kesan magis yang dipercayai oleh masyarakat Hindu-Bali.
Tokoh Dayu Biang Sanur yang wujudnya tidak dapat dilihat secara kasat mata mengingatkan kita untuk membahas tokoh tidak nyata. Tokoh tidak nyata juga terdapat pada cerpen Luh Tirtha. Luh Tirtha didatangi oleh seorang tokoh yang berperan sebagai ibu yang memiliki tirta pangentas tersebut. Tokoh ibu sesungguhnya adalah tokoh yang bertemu dengan Luh Tirtha ketika Luh Tirtha telah meninggal.
Kesimpulan
Buku kumpulan cerpen Pasisi Sanur karya IBW Widiasa Keniten merupakan buku yang memiliki gaya tersendiri, dengan menyuguhkan puncak konflik di akhir cerita yang membuat pengarang memiliki ciri khasnya sendiri sebagai pengarang. Tidak lupa juga, suasana spiritualitas-magis khas kepercayaan umat Hindu Bali serta citra wanita sangat apik disuguhkan dalam buku ini. Kekonsistenan penggunaan bahasa Bali dan hal utama yang ingin ditonjolkan setiap cerpen merupakan salah satu hal yang patut ditiru terutama oleh penulis-penulis pemula yang ingin mengembangkan dirinya di bidang sastra Bali.
Pengalaman pengarang di bidang sastra tidak diragunakan lagi dalam menciptakan karyanya. Pengarang selalu memiliki ide dengan berangkat dari wawasannya yang luas untuk memadukan alur cerita. Kekonsistenan pengarang menggunakan bahasa Bali andap juga menonjol dari judul awal hingga akhir cerpen. Halamannya yang hanya berjumlah 71 dengan 12 judul cerpen membuat pembaca secara keseluruhan cepat menyelesaikan dan memahami isi cerpen. Tidak lupa juga, pesan-pesan yang ingin disampaikan baik secara langsung maupun tidak langsung selalu tersampaikan dengan baik kepada penikmat karya IBW Widiasa Keniten. [T]