“Jika engkau ingin memperbaiki dunia, pulanglah ke rumah, temui keluargamu” —(Sang Budha)
___
Sabda Budha di atas, sang nabi bersahaja, terasa sedemikian menyentuh dan relevan pada hari-hari yang merisaukan ini. Sepintas, untaian kata-kata itu terlampau sederhana, lemah makna, sekadar saja dan tak masuk akal. Namun lebih dalam–mungkin kita takkkan pernah sampai pada makna terdalamnya–, perlahan kita kan mendapati berkas cahaya lembut yang kian menerangi labirin gelap pikiran kita. Segala hal yang mudah telah menjadi rumit dan sulit lantaran pikiran runyam kita sendiri.
Apa sih sulitnya pulang ke rumah? Rumah, satu-satunya tempat yang pasti tetap mau menerima, seburuk apapun kita. Orang buruk, jika pulang ke rumah, paling tidak mengurangi keonaran di luar. Pulang ke rumah, jelas memperbaiki dunia.
Itulah yang betul-betul telah saya rasakan. Siang itu, saya bareng kedua anak lelaki saya tidur seranjang, bermain tebak-tebakan. Satu hal yang sangat jarang terjadi. Hari-hari biasanya, mereka pastilah masih ikut les pelajaran atau latihan tenis. Saya sendiri, seusai merawat pasien, biasanya masih mampir di kantin rumah sakit, ngobrol kangin kauh* dengan rekan-rekan sejawat dokter. (*ngalor ngidul) Atau bisa juga menyertai relawan Yayasan Sesama mengunjungi sesama yang butuh bantuan kemanusiaan atau mungkin masih memberi kuliah di fakultas kedokteran universitas Ganesha. Pandemi covid-19 yang memaksa pemerintah memberlakukan suatu social distancing, telah mengumpulkan kami di atas tempat tidur yang sempit itu.
Si bungsu, Koko, memulai pertempuran dengan suara cadel kanak-kanaknya yang lucu. “Pa, kak Dede, apa yang dimiliki bebek tapi tak dimiliki bulung*?” (*burung, kadang ia sudah jelas menyebut “r”, kadang juga masih cadel). Dede, kakaknya, berpikir keras–sela alisnya menyempit–, sambil tersenyum memandang langit-langit kamar, kedua tangannya menjadi bantal kepalanya yang besar. Saya pun nggak punya ide mau jawab apa, kenapa pertanyaannya sulit betul? Apa lantaran energi pikiran dan badan saya yang telah terkuras bersama team Covid-19 RS untuk menghadapi wabah ini?
Sambil merem saya meraba keningnya si Koko–yang terkenal karena nonongnya–, siapa tahu ada inspirasi menemukan jawabannya. Yang saya dapati cuma jidat yang betul-betul masih nonong itu saja, orang Bali menyebutnya jantuk, hehehe. Apa karena jantuknya ini kali ya, ia cerdik bikin teka-teki. Akhirnya saya dan Dede nyerah. Tak ingin kehilangan kesempatan untuk unggul, tangkas ia memberi jawabannya, “Anak bebek pa, memeli*, hahaha!”. (*memeri=anak bebek) Mana ada burung punya anak bebek, bah! Satu kosong, si nonong unggul.
Siang yang lebih panjang itu, telah memberi kesempatan saya mengenali rumah kami lebih detail. Dengan tiga orang anak yang terus tumbuh, rumah tipe 45 yang kami dulu cicil melalui KPR itu terasa semakin kecil. Si sulung, Sasmitha yang sebentar lagi SMP, pastilah akan memasuki masa puber yang tentu mulai risih dekat-dekat dengan orang tuanya. Sudah saatnya kami punya tempat tinggal yang lebih besar. Oh ya, baru saya lihat, tembok rumah telah hampir penuh berisi “lukisan abstrak” karya bebas tangan si bungsu, harusnya sudah kami cat ulang, namun mamanya menunda karena sang pelukis pastilah belum akan pensiun dalam waktu dekat.
Astaga, saat ke halaman belakang rumah, perasaan saya agak getir mendapati ada pusara yang setelah saya perhatikan, betul-betul dibuat menyerupai kuburan manusia bentuknya. Salah satu dari dua anjing mini pom piaraan kami, Kross si jantan, telah mati karena sakit. Kini tinggal Kriss, si betina, yang sepenuhnya menerima kasih sayang istri saya, Anik, yang begitu menyukai anjing. Seakan-akan anak keempat kembar kami saja. Sudah beberapa kali dokter hewan datang ke rumah untuk mengobatinya. Istri saya sering berkhayal, “Kalau saja di Singaraja ada RS hewan seperti milik dokter Poll ya pa?”. Ia menyebut satu acara keren di channel Nat Geo Wild, ia betul-betul menyayangi anjing.
Jika wabah telah usai dan program social distancing berakhir, akankah kembali menjauhkan saya dengan rumah dan keluarga? Sebagai seorang dokter ahli di kota kabupaten yang jauh dari propinsi, waktu saya sebagian besar memang untuk melayani pasien, di RS maupun tempat praktek.
Adakah Sang Budha melarang kita bekerja? Bukankah ajaran Hindu pun ada yang dikenal dengan karma marga? Bekerja dengan sebaik-baiknya, lebih-lebih melayani orang sakit adalah sebuah ibadah. Saat saya pandangi pusara almarhum Kross, yang niscaya telah dibangun dengan perasaan begitu sayang, saya tiba-tiba menemukan jawabannya. Sang nabi tak mungkin keliru, meski kita jauh dari rumah, setiap saat hati kita boleh pulang dan bertemu keluarga, Kriss, bahkan Kross yang telah tiada.
Sang Budha yang sederhana dalam segala hal, telah menjadi nabi untuk semua manusia di bumi. Virus corona yang sedemikian renik dan terabaikan, telah mengguncang dunia. Keduanya pun dapat disambut dan dilawan dengan keputusan yang sedemikian bersahaja, pulang ke rumah. [T]