Sebagai daerah kepulauan, salah satu impian masyarakat Nusa Penida (sejak lama) sesungguhnya ialah pelabuhan modern. Pelabuhan yang mampu menyandarkan kapal besar sekelas ferry atau roro. Sebab, sebelumnya NP hanya memiliki pelabuhan tradisional dengan mengandalkan transportasi perahu atau jukung. Bisa dibayangkan bukan biayanya? Naik turun di darat dan di laut, serba ada ongkosnya. Ujung-ujungnya, harga barang di NP bisa mencapai dua kali lipat lebih dari Bali daratan. Kalau dengan kapal besar, tentu harga barang relatif murah, kan?
Sayangnya, impian pelabuhan modern mungkin terlalu mahal bagi masyarakat NP. Pasalnya, APBD Klungkung (dulu) relatif sangat rendah. Belum lagi, cara pandang masyarakat dari daratan yang mengganggap masyarakat NP sebagai kelas dua. Akibatnya, kebijakan Pemda Klungkung (dulu) seringkali deskriminatif terhadap pembangunan di NP. Cara pandang ini berlangsung cukup lama.
Namun entah kenapa, tahun 1992, Pemda Klungkung (era Bupati Tjokorda Gde Agung) berbaik hati. Impian tentang pelabuhan modern terwujud. Untuk pertama kalinya, Pemda Klungkung membangun dermaga kapal di NP. Tepatnya, di Banjar Nyuh, Desa Ped. Saya tidak tahu, apakah ini sebagai wujud rasa kasihan, pencintraan, atau murni komitmen memajukan NP? Entahlah. Yang jelas, Dermaga Banjar Nyuh (sebutannya) membentang panjang kurang lebih 150 m menjorok ke laut. Dermaga inilah yang semula ingin dijadikan starter bagi masyarakat NP untuk keluar dari kondisi terisolir secara perlahan-lahan.
Namun sayang, mimpi hanya tinggal mimpi. Dermaga tersebut tak bisa difungsikan dengan maksimal. Dermaga Banjar Nyuh (DBN) tak mampu melabuhkan kapal, karena arus laut di seputar dermaga begitu kuat. Padamlah mimpi masyarakat NP. BDN hanya mampu menjulurkan diri, tetapi tak mampu menjinakkan kapal. “Sia-sia,” itulah kata singkat yang sering diucapkan oleh masyarakat NP. Selanjutnya, dapat dibaca. BDN dibiarkan terbelengkai dan tak mampu menarik kepedulian bupati-bupati berikutnya.
Memasuki tahun 2007, impian kedua datang kembali. Di bawah kepimpinan Bupati Chandra, NP kembali dihadiahi pelabuhan modern (kapal besar). Bukan di Banjar Nyuh, melainkan di Sampalan. Namanya Pelabuhan Penyeberangan Nusa Penida. Pelabuhan ini dilengkapi dengan pemecah gelombang (breakwater) sehingga aman bagi kapal untuk berlabuh. Namun, masalah muncul ketika Klungkung daratan tidak memiliki pelabuhan yang representatif. Akibatnya, kapal Roro Nusa Jaya Abadi harus berlabuh di Padang Bay (Karangasem) dengan status dermaga pinjaman.
Dengan bodi yang mungil (kecil) dan status dermaga pinjaman (di Bali daratan) membuat trip kapal roro milik Pemda Klungkung ini menjadi sangat terbatas. Hingga sekarang, kapal ini belum mampu mengakomodir jumlah sirkulasi kendaraan dan barang terutama dari Bali daratan ke NP dengan optimal. Antrian kendaraan (dengan muatan) di Padang Bay menuju NP bukan cerita baru. Lalu, sampai kapan cerita antrian ini akan berakhir?
Mungkin menunggu pelabuhan eks galian C Klungkung difungsikan. Kalau yang ini, saya tidak berani berargumentasi. Sebab, pelabuhan eks galian C ini sangat seru di tataran perdebatan kaum elit. Pelabuhannya sudah ada, tetapi saling lempar tanggung jawab masih seru hingga sekarang. Terus terang, saya tidak tahu ujung pangkal masalahnya. Pun saya tidak tahu siapa yang benar atau menang. Namun, saya pasti tahu siapa yang kalah. Ya, masyarakat, terutama masyarakat NP.
Dibandingkan dengan DBN, Pelabuhan Penyeberangan Nusa Penida jelas lebih sukseslah. Setidaknya, Pelabuhan Penyeberangan Nusa Penida mampu melabuhkan kapal dengan aman. Ia mampu difungsikan secara normal. Sebaliknya, Pelabuhan DBN adalah pelabuhan mandul. Inilah yang mungkin disebut sebagai pembangunan yang teledor. Besar kemungkinan, kurang melalui kajian yang matang.
Gagal Melabuhkan Kapal, Sukses Melabuhkan Cinta
Konsekuensinya, DBN gagal sebagai pelabuhan. Karena itu, masyarakat setempat justru memanfaatkan dermaga ini sebagai tempat memancing, kegiatan (musiman) upacara keagamaan yaitu nganyut atau prosesi melarungkan sebagai rangkaian ngaben, nongkrong, dan terutama tempat pacaran.
Tahun 1990-an hingga 200-an, sebelum pariwisata melejit di NP, DBN menjadi titik senter berkumpulnya para muda-mudi, baik dari wilayah timur, barat dan selatan Pulau NP. Tak ada tongkrongan yang paling keren pada waktu itu, selain DBN.
Seingat saya, setiap Galungan dan Kuningan terutama umanisnya, DBN menjadi serbuan muda-mudi dari berbagai arah, yang ganteng-cantik dan dengan bau parfum yang khas. Karena itu, setiap umanis Galungan dan Kuningan, DBN sesak oleh muda-mudi mulai dari pangkal hingga ujung jembatan. Biasanya, pemandangan ini terlihat pada sore hari hingga malam. Para jomblo mencari pasangan, sedangkan yang sudah punya pasangan memadu cinta di tempat ini.
Apa menariknya DBN bagi muda-mudi NP? Secara geografis, DBN cukup strategis. Ia sangat mudah dijangkau dari berbagai belahan pulau di NP. Kedua, DBN kondusif dan nyaman karena cukup jauh dari pemukiman warga. Ketiga, memiliki panorama yang eksotis. Dari depan (barat), tampak hutan bakau di Pulau Nusa Lembongan—dan sekaligus tempat sajian sunset yang eksotis. Depan agak barat (BD), mengalir air laut yang mirip sungai membelah daratan NP dan Pulau Nusa Ceningan. Sebelah selatan, menjulang tinggi puncak Bukit Mundi. Sedangkan, sebelah utara membentang lautan dengan barisan pegunungan dan perbukitan di Bali daratan. Sementara, di sekelilingnya terdengar gemericik air laut dan sesekali debur ombak yang menghantam badan dermaga dan bibir pantai.
Latar belakang inilah, yang menguatkan kesan romantisme di DBN. Tidak salah jika muda-mudi memilih tempat ini sebagai tempat sekadar mencari kenalan, nongkrong-nongkrong, maupun pacaran. Jika dihitung jumlah yang jadian hingga ke pelaminan, mungkin jumlahnya banyak. Anda mungkin salah satunya? Ayo, ngaku, nggak?
Jadi, walaupun gagal menjalani peran sebagai dermaga pelabuhan, tetapi DBN cukup sukses menjembati rasa cinta para muda-mudi di NP. Prestasi kecil ini tentu saja tak perlu legitimasi. Tak perlu piagam atau trofi penghargaan. Nanti malah menjadi serem. Ya, nggak? Masak ada kategori penghargaan “Dermaga Paling Sukses Melabuhkan Cinta”. Ah, ada-ada saja. Tentu akan membuat orang-orang menjadi senyum-senyum sendiri mendengarnya.
Meski bukan penghargaan yang sah, mungkin apresiasi secara lisan pantas kita sematkan kepada DBN. Ya, karena setidaknya dapat diberdayakan oleh masyarakat lokal sebagai pelabuhan cinta walaupun bersifat musiman. Namun, sukses membuat pasangan muda-mudi NP menuju pelaminan. Puncaknya pada era 200-an. Setelah itu, prestasi ini terus menurun seiring dengan melejitnya pariwisata di NP.
Ketika pariwisata berkembang, pemanfaatan DBN sebagai tempat nongkrong kian meredup. DBN menjadi sepi dari tongkrongan anak muda. Muda-mudi NP sekarang lebih memilih nongkrong di objek-objek wisata terkenal, misalnya Crystal Bay, Kelingking Beach, Atuh Beach dan lain-lainnya.
Seiring dengan usia yang semakin menua, DBN kian mengalami kesepian. DBN telah kehilangan pamor untuk menarik hati muda-mudi milenial. Mungkin karena anak muda merasa gengsi atau daya tarik BDN yang memang kalah dengan objek wisata-wisata yang ada di NP. Di tengah kesepiannya, justru muncul jembatan-jembatan ponton baru sebagai tempat melabuhkan Fast Boat yang mengantar para wisatawan. Efeknya, DBN malah dijadikan tempat parkir roda empat ketika hendak menjemput atau setelah mengantar para wisatawan.
Kini keberadaan BDN, juga cukup mengkhawatirkan. Besi pada ujung dermaga (yang berbentuk L) sudah mengalami kerenggangan (retak). Semoga cinta anak muda era 90-an dan 2000-an tidak ikut-ikutan renggang, ya! Apalagi sampai bercerai-berai. Nggaklah!
Justru saya berharap cintanya makin kukuh dan mantap. Karena ada isu bahwa DBN akan direnovasi. Isu ini saya dapatkan dari salah satu petugas Dinas Perhubungan setempat. Konon, DBN akan direnovasi dan dirancang menjadi pelabuhan satu pintu di NP. Semua transportasi laut di NP akan dikondisikan di tempat ini. Entah kapan? Saya tidak tahu. Terus, Pelabuhan Penyeberangan Nusa Penida diapain?
Tidak usah bingung dengan perubah-perubahan tersebut. Biarkan waktu yang akan menjawab semua itu. Yang penting cinta kalian (terutama anak muda era 90-an/ 200-an) tidak pernah berubah, ya! Tetap langgeng sampai kakek-nenek. Heh! [T]