Selalu ada yang baru di program dua mingguan Antida SoundGarden. Kali ini, Erick EST, sutradara kenamaan pulau Bali ini pun tidak ragu-ragu menggebrak Antida SoundGarden dengan pemutaran film-film yang telah dibuatnya dengan berdarah-nanah demi memajukan industry perfilman Tanah Air.
Betapa tidak, kecintaannya akan film dan komitmennya untuk memajukan dunia kreatif ini memang tak tanggung-tanggung, beberapa nominasi skala film Internasional telah banyak diraihnya. Sebut saja filmnya yang berjudul “Terakhirku” dan “Rapuh”. Kedua film tersebut mendapatkan penghargaan pada festival film di Australia.
Mewujudkan komitmennya terhadap tumbuh kembang dunia film dan dunia sejatinya ini, Erick EST sengaja menghadirkan film-film, di mana film-film tersebut mendekatkan kita pada identitas diri.
“Film Long Sa’an merupakan sebuah film yang menceritakan tentang tidak adanya akses yang bisa diraih Suku Pedalaman Dayak Kenyah untuk ke kota, membuka mata kita betapa penting mengetahui semua hal-hal yang berakar dari kearifan lokal.” ujarnya.
Film berdurasi 25 menit ini mengambil budaya Dayak sebagai latar belakang ceritanya.
Lewat film yang berjudul “The Long Sa’an, The Journey Back”, ia mengangkat kisah satu desa di pedalaman Kalimantan, bernama Long Sa’an, yang telah ditinggalkan oleh penduduk pribuminya sejak lebih dari 45 tahun yang lalu.
Kini desa yang terletak di atas gunung dan jauh dari sungai ini sudah tidak lagi berpenghuni. Sejak tahun 1967, para masyarakat Long Sa’an mulai meninggalkan desanya dan berpindah ke Desa Setulang.
Satu sosok bernama Philius, pria yang lahir di Long Sa’an, yang juga telah meninggalkan desa kelahirannya sejak tahun 1970, menjadi objek Erick dalam filmnya tersebut. Kehidupan masyarakat desa yang kerap berpindah-pindah memang sudah berlangsung sejak zaman dahulu.
Hal tersebut yang juga dialami Philius, ayah dari 4 orang anak, yang setelah sekian lama baru menginjakkan lagi kakinya di tanah kelahirannya, Long Sa’an pada tahun 2014 yakni pada proses pembuatan film tersebut.
Lewat perjalanan yang tertuang dalam film tersebut juga digambarkan bagaimana keadaan hutan-hutan di Kalimantan yang sudah rusak akibat kebakaran yang kerap terjadi di sana. Yang mana kebakatan tersebut tidak hanya merusak ekosistem, namun juga mengancam kehidupan masyarakat adat dan budaya lokal di sana.
Tak tanggung-tanggung, gelaran acara di Antida SoundGarden ini mendapatkan sorotan yang menarik dari mahasiswa-mahasiswa di kampus ternama. Mereka dapat berbondong-bondong datang untuk menikmati acara yang menghadirkan satu film dan satu movie clip garapan Erick Est ini.
“Kami sengaja mengundang kampus-kampus yang sejalan, untuk menikmati acara ini, sehingga edukasi film ini berhasil dilakukan,” kata Anom Darsana, pemilik Antida SoundGarden.
Acara ini berlangsung pada Jumat, 24 Januari 2020 malam, dengan durasi lebih dari dua jam. Acara ini menghadirkan satu film dan satu video klip garapan Erick EST yaitu Long Sa’an yang merupakan film tentang Suku Oma Lung (Kenyah) yang harus meninggalkan desanya dan membuat desa lain demi bisa mencapat akses ke kota; dan yang terakhir adalah pemutaran video klip dari sebuah group band Balian yang terbentuk di Bali pada tahun 2009 yang terdiri dari Edward pada bass; Aaron pada gitar; dan Gembul pada Drum.
Video klip ini berhasil mencuri hati banyak orang karena alur cerita yang tidak disangka di mana terdapat JRX dan Nora yang memainkan peran mereka masing-masing di dalam video klip tersebut.
Bukan hanya film dan video klip, acara yang dimulai apik pada pukul 20.00 ini menampilkan beberapa musisi yang telah tidak asing hadir di tengah-tengah kaum milenials di Bali, yaitu Zio dan Soul n Kith.
Ada sekitar limapuluh pasang mata yang datang menyaksikan gelaran ini tanpa terkecuali. Mereka semua, bisa jadi, siap menjadi berada di garda depan perfilman tanah air. Antida SoundGarden, malam itu, telah berhasil menjadi sebuah ruang di mana ide dan kreativitas bisa tumpah dan mewujud nyata. [T][*][pranita]