Hiruk pikuk modernitas menjadi isnpirasi bagi penulis-penulis muda Bali. Dampak dari tajamnya laju modernitas ini menimbulkan rasa cemas, khawatir, krisis eksistensi, dan depresi yang makin mengguncang mental. Dampak tersebut dibidik apik menjadi karya oleh dua penulis muda asal bali yakni I Wayan Kertayasa dan Putri Puspita. Sangat menarik melihat penulis muda bali mepertajam intuisinya menyikapi hal-hal psikis seperti ini.
Penulis novel asal Bali masih dibilang minim. Terlebih di usia muda masih banyak yang belum menjadikan menulis sebagai hal menguntungkan. Maka, kehadiran I Wayan Kertayasa dan Putri Puspita perlu disambut hangat. Keberanian mereka membuat karya perlu diapresiasi. Tidak hanya itu, karya novel ini mempunyai latar belakang serupa, yakni kegelisahan remaja. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara kedua penulis ini menyajikan peristiwa psikis ke dalam karyanya? Bagaimanakah kedua penulis menyikap masalah yang diangkat dalam karyanya? Serta bagaimana upaya kreatif yang dilakukan penulis dalam karyanya?
Studi komparatif sederhana ini berguna sebagai bentuk dokumentasi. Selain itu, telaah bandingan ini dilakukan untuk mengapresiasi karya penulis muda Bali serta membangun iklim bersastra yang kritis. Dua karyal ini menarik dibahas sebab sangat terlihat upaya mandiri mereka dalam berkarya. Bahkan, kedua karya ini diterbitkan oleh penerbit indie yang bukan mengejar keuntungan semata.
Peristiwa psikis yang ditulis dalam kedua novel ini dialami oleh hampir semua remaja. Namun, ada beberapa ciri khas yang terlihat, yakni pada kumpulan cerpen Ketika Hati Bersuara (2018) terbitan Mozaik. Cerpen-cerpennya meneceritakan bahwa sepahit apapun perlakukan yang kamu terima, bersuaralah. Cerpen-cerpen yang terhimpun menggambarkan kecemasan dan ketakutan remaja seperti pada penggalan berikut.
“Bisakah aku seperti anak itu? Tunjukkan apa yang kuamau walaupun tak sama seperti yang ia mau?” (hlm108)
Penggalan cerpen “Bertanya Pada Riak” ini membuktikan bahwa ketakutan remaja untuk diterima dikelompok tertentu masih menjadi hal yang sulit. Pertarungan psikisnya terlihat juga pada penggalan berikut
“Jika mati adalah akhir, akhir dari semua akhir, untuk apa aku berlari?”(hlm.46)
Bagi tokoh, kecemasan adalah cikal bakal adanya pikiran ingin bunuh diri. Tentu situasi ini perlu dicari solusi efektif. Para tokoh yang mengalami krisis mental ini adalah cermin dari dampak modernitas itu sendiri.
Tema senada juga terlihat pada Novel Romansa Lagu karya I Wayan Kertayasa (2019) terbitan Intishar Publishing. Pada novel ini tergambar peristiwa psikis yang dialami tokoh.
“Kepanikan serupa juga dirasakan Putu dan Dendi. Putu tiba-tiba memposting kata-kata yang tidak enak dibaca.” (hlm.40)
Penggalan cerita ini mengimplikasikan bahwa media sosial adalah ruang bagi kepanikan remaja. Setiap mengalami kepanikan dengan cepat mereka mengungguah kata-kata negatif ke media sosial.
Rasa panik, khawatir, dan ketakutan memang menjadi gangguan mental yang dimiliki setiap orang. Sekarang, bagaimana penyikapannya. Cara penulis menyikapi masalah ini sedikit unik. Pada Novel Romansa Lagu, penulis menulis lirik lagu yang berjudul “Lagu Ulang Tahunmu”: “Indah lagu yang kucipta sengaja berseri, bunga-bunga ternyata telah layu”(hlm.34). Kutipan lirik lagu ini mewakili cara pandang tokoh melihat suatu masalah dengan cara yang berbeda. Meski bunga layu harus terjadi, akan ada hal indah yang menanti.
Sementara itu, pada kumpulan cerpen Ketika Hujan Bersuara, penulis memberikan kutipan-kutipan reflektif
“Tertawa karena memang lucu, menangis karena memang mengecewakan” (hlm.83)
Kutipan ini mewakili keadaan sang tokoh yang kala itu tidak bisa berdamai dengan kecemasan yang dilaluinya. Justru, tertawa dan menangis membuat masalah terasa ringan. Kutipan ini banyak diselipkan sebagai jeda reflektif penyelesaian masalah.
Cara penyelesaian dan upaya kreatif penulis dapat diapresiasi. Hanya saja memang ada beberapa catatan mengenai gaya bahasa, tata letak, dan isu sosial yang perlu dicermati kembali. Semoga karya-karya indie semacam ini tetap membawa napas segar bagi dunia literasi Bali. Sebab, hiruk pikuk modenritas hanya bisa dipahami saat karya diapresiasi.