“Segala kekuatan negatif yang ada di masyarakat, bisa ditaklukan dengan lemah lembut dan penuh sopan santun, merendah dan bijaksana.” (dr Sutomo)
Saya sedikit kaget, ungkapan luar biasa yang merupakan terjemahan dari falsafah Jawa kuno “Suro diro joyo ningrat lebur dening pangastuti”, ini pun dijunjung tinggi oleh seorang dr Sutomo, di awal abad ke-19. Kita tahu, gagasan ini sekarang banyak dijadikan tuntunan oleh Joko Widodo, presiden RI ketujuh.
Bagi saya, falsafah ini begitu memukau hingga saya merasa perlu menuliskannya dalam sebuah esay dalam kolom ini sebelumnya, Suradira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti. Ia yang seakan-akan tanpa senjata, tak punya kekuatan apapun, diyakini akan dapat merontokkan keangkuhan yang berlumur segala kemarahan dan angkara murka.
Dr Sutomo dan Budi Utomo, salah satu organisasi modern pertama di tanah air ini, telah menunjukkan dengan sangat jelas, politik sejatinya baik dan seharusnya selalu baik. Politik kotor itu bukanlah sebuah takdir atau kutukan, itu sepenuhnya human error. Dr Sutomo bahkan membawa politik ke areal kampus, Stovia (School tot Opleding van Indishe Artsen) yaitu sebuah sekolah pendidikan dokter Hindia.
Dengan cukup piawai, dr Sutomo dan kawan-kawannya sukses mengibarkan Budi Utomo, meski dalam himpitan kekuasaan kolonialisme. Ini sebuah bukti, Budi Utomo tak cuma punya konsep hebat, juga menampilkan manuver ciamik. Maka akan selalu relevan dan rasional sesungguhnya, jika momentum yang telah diukir dr Sutomo di tahun 1908 itu selamanya adalah abadi sebagai sebuah kebangkitan nasional.
Prinsip mengalah ini, pun secara personal dan profesional memang harus dikuasai oleh setiap dokter. Walau masih ada dokter yang tak mampu menerapkan sikap ini, sesungguhnya cukup mudah memahami rasionalitasnya. Secara umum, dokter akan berhadapan dengan orang-orang sakit, baik fisik maupun mental dan biasanya problem fisik, selalu menyeret mental pada kesuraman. Maka, pasien sesungguhnya sudah “kalah” secara alamiah.
Lalu untuk apa dokter harus “melawan” pasien. Tak ada pilihan terbaik bagi seorang dokter, selain memberi kemenangan untuk pasien-pasiennya sebagai sebuah pintu masuk untuk kesembuhan mereka. Boleh disebut, dalam skup terbatas, hubungan personal antara dokter dengan pasien dan keluarganya, telah menciptakan hubungan hangat yang direkatkan oleh sisi-sisi humanisme insani.
“Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien.” Demikianlah bunyi butir ke-8 Sumpah Dokter Indonesia didasarkan atas Deklarasi Jenewa (1948) yang isinya menyempurnakan Sumpah Hippokrates.
Jika secara personal seorang dokter perlu menjaga sikap yang selalu positif untuk pasien-pasiennya, maka dalam level gagasan yang lebih tinggi seorang dokter mesti dapat menjadi pelayan untuk siapa saja. Sedemikian jelas, esensi dan konsepsi cara pandang profesi ini terhadap manusia yang sama nilainya, entah mereka telah dipisah sekatkan oleh suku, agama, ras, gender atau status sosial.
Kita semua, tentunya akan salalu menaruh rasa hormat untuk sosok seorang dokter luar biasa yang bernama dr Lie Agustinus Dharmawan. Dokter ahli bedah thorax dan cardiovaskuler berdarah Tionghoa ini, dikenal sebagai pendiri rumah sakit apung (floating hospital) swasta yang pertama di Indonesia. Dibawah Yayasan doctorSHARE, Rumah Sakit Apung (RSA) dr. Lie Dharmawan memberikan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma kepada masyarakat di daerah miskin dan terpencil di Indonesia yang tidak terjangkau oleh pelayanan kesehatan secara reguler.
Maka beliau telah merekatkan berbagai elemen bangsa melalui pelayanan kemanusiaan yang penuh kemuliaan. Vibrasinya telah dibawa oleh gelombang laut Nusantara ke seluruh negeri dan memberi inspirasi bagi banyak dokter lain. Di Singaraja misalnya, bersama sejawat dokter yang memiliki visi sama, kami telah mendirikan Yayasan Sesama untuk membantu masyarakat yang memiliki keterbatasan akses di bidang medis. Meski ini cuma setetes air dibandingkan dengan lautan kasih dr Lie dan kawan-kawan, namun ini pun tetap sebuah ‘kebangkitan”.
Pada akhirnya, dokter-dokter dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI), selalu punya momen yang tak terbatas untuk meneruskan kebangkitan nasional yang telah diukir dalam sejarah oleh dr Sutoma dan kawan-kawan bersama Budi Utomo. Dengan begitu, maka dokter tak hanya berurusan dengan orang sakit dan pengobatan, namun jauh melampaui tugas sehari-harinya tersebut, dokter kuasa menjadi agent pemersatu bangsa. Selamat hari jadi IDI yang ke-69, semoga senantiasa dapat menjadi pelayan rakyat dan memberikan yang terbaik untuk negeri. [T]