Kawitan artinya ‘muasal’. Seringkali disederhanakan sebagai “garis silsilah” atau ‘trah’ .
Ketika kata ‘kawitan’ dibatasi sebatas trah keluarga, inilah awal muncul persoalan berkawitan. Kawitan menyempit menjadi urusan darah, menipis dan tercekik jadi urusan keluarga, lalu terjebak jadi berpola pikir eksklusivitas yang memicu munculnya mental kawanan.
Padahal, kecenderungan ke arah eksklusiflvitas ini mencemari prinsip utama dharma yang esensinya ajarannya mengajarkan inklusivitas, yaitu: ‘semeton sami, sami semeton’ atau ‘nyama-braya’, atau secara Sanskrit kita kenal sebagai “Vasudhaiva kutumbakam” (“the world is one family”).
Adakah kutuk “salah kawitan”, “kawitan salah”? Yang terjadi “memikir kawitan secara sempit”. Semangat mencari garis leluhur yang tidak diimbangi membaca karya-karya pustaka Sastra, Agama, Weda, Puja, pengetahuan tertulis warisan leluhur, yang menjadi pedoman leluhur, justru sesungguhnya bentuk pengingkaran terhadap kawitan yang serius.
Tidak bernyali mempelajari pengetahuan suci yang dipegang para leluhur, itulah, yang jika dipikir mendalam, ujung pangkal “salah kawitan”. Kunci berkawitan bukan garis silsilah yang mentereng kita ‘umbah-ambih’ (sebut-sebut, elu-elukan) sebagai legitimasi kehebatan silsilah diri, tetapi pada sebesar apa kita paham “sasana” dan “panugrahan” leluhur kita.
Jadi, hemat saya, bukan garis darah yang penting dipelajari, tapi garis ajaran dan pengetahuan leluhur yang perlu digali dan digenggam. Ini cara berkawitan.
Tidak ingat leluhur, buat saya, artinya kita lupa belajar pengetahuan leluhur. “Engsap ring kawitan” artinya kita lupa pada genetika pengetahuan dan pedoman laku yang dipegang leluhur sehingga kita sesat.
Berkawitan, alangkah baiknya, ditarik ke penggalian DNA pengetahuan leluhur. Pengetahuan leluhur yang diwariskan ke kita telah lama ditinggal, tinggal kebanggan garis silsilah, tanpa ada keberlanjutan garis pewarisan pengetahuan. Berkawitan peluangnya ada dengan mempelajari ilmu dan pengetahuan leluhur yang tertulis, dipelajari dan dijadikan pedoman, bukan disembah secara membabi buta.
Saya lebih bahagia berjumpa dengan seorang yang fasih mengupas ajaran leluhur dibandingkan seseorang yang berbuih-buih menceritakan garis silsilahnya semata. [T]
Catatan Harian 8 Oktober 2019