Seperti yang sering saya katakan, bahwa kampung saya, orang-orangnya masih berpikiran hirarkis dan sistem feodalisme masih ada sampai sekarang. Masih ada raja-raja kecil (priyai) di sana.
Tidak percaya? Silakan Anda lihat sendiri ke sana. Anda akan menjumpai beberapa kalangan birokrasi yang mencoba berlagak priyai dengan rupa-rupa piranti, menjaga jarak begitu rupa hingga benar-benar melayang di atas tanpa pijakan. Silakan berkunjung ke kantor-kantor yang tak mudah terjangkau sembarang orang, walau jidat sudah menunduk menyentuh tanah.
Di kampung saya, raja-raja kecil itu (priyai)—orang kaya, orang-orang pintar, atau yang dianggap pintar, atau yang mengaku pintar, birokrasi—kebanyakan tidak suka domokrasi. Mereka sangat menginginkan adanya status quo. Katanya, agar kampung senantiasa tentram dan tenang, tiada riak dan gelombang, seperti air telaga kami. Agar suasana kampung tentram, katanya, masyarakat harus punya pendapat seragam dengan pendapat para raja-raja kecil itu, semua langkah dan sepak terjang mesti pas dengan ukuran yang sudah ditentukan terlebih dahulu. Kok sampai ada yang berbeda pendapat sekecil apa pun, itu adalah sebuah ancaman. Pantas didoakan kualat.
Raja-raja kecil itu, menjaga kondisi status quobegitu cermatnya. Begitu sempurnanya status quo itu tercipta, dan saking tentramnya, kampung saya tampak sedang tidur nyenyak baik siang maupun malam. Menurut raja-raja kecil, lebih baik penduduk tidur nyenyak daripada bangun dan bikin gaduh, bikin berisik saja.
Barangkali saya sepakat, ada orang yang menghujat, dan menganggap semua koruptor adalah bangsat sosial, tapi ada yang lebih parah dari itu, yaitu koruptor yang memperkuda penduduk sekampung. Sudah nilep uang penduduk, masih merasa punya martabat berlebih dari penduduk lagi. Itu tidak hanya sekadar bangsat sosial namanya, tapi bisa lebih menjijikkan dari itu.
Sikap seperti ini, hanya bisa dilawan dengan kesadaran. Penduduk harus memiliki rasa kesadaran dan rasa kecewa. “Sebab rasa kecewa adalah pertanda seorang intelektual, karena hanya orang dungu, yang tidak peduli kopi susu datau air comberan,” begitu kata Mahbub Djunaidi dalam esainya yang bertajuk ‘Berita’ (1988).
Penduduk harus berani mendongakkan kepala ke atas, berani menatap matahari, bukan menjadi penakut menyuruk-nyuruk ke dalam tanah, seperti gangsir. Apa perlu RM. Tirto Adhi Suryo bangkit dari kuburnya untuk menyadarkan penduduk? Atau Pramoedya Ananta Toer juga bangkit dari kuburnya untuk menulis ‘Bumi Manusia’ dengan versi yang baru?
Tidak perlu menunggu siapa-siapa. Ini zaman reformasi. Sudah tak ada lagi Belanda dan Jepang di kampung. Sudah saatnya, penduduk meruntuhkan status quo itu—dan menikmati demokrasi. Agar, kampung kita menjadi kampung yang bermartabat. Cerah. Tidak suram. Ada pepatah Buddhis mengatakan: “Daripada mengeluhkan kegelapan, lebih baik menyalakan lilin.”
Mari! Kita sama-sama meruntuhkan penjara status quo itu—dan melangkah keluar untuk menyongsong udara hangat kebebasan.
(2019)
*Tulisan ini terispirasi dari esai Mahbub Djunaidi yang bertajuk “Status Quo”(1987).