Dalam foto ini ada 2 jejak generasi. Sebuah lontar isinya tetap utuh walaupun terdapat 2 jejak gurat aksaranya berbeda. Halaman atas beraksara lebih muda dan blangko/lempir lontarnya lebih muda. Berbeda dengan yang di bawahnya yang lebih tua.
Hal ini sangat biasa dalam proses pewarisan antar generasi.
Biasanya lontar yang diwariskan turun temurun rusak per halaman atau bahkan lebih dari satu halamannya. Bisa karena ngengat atau tikus, bisa jadi remuk karena usia dan terpatah sendiri saat baca karena tua dan rapuh. Biasanya pewarisnya menyalin yang rusak dan menggantikan yang rusak tersebut dengan salinan yang ditulis dengan tulisan tangannya sendiri.
Tulisan salinan ini disusupkan menggantikan halaman yang rusak. Saat menyalin dibuat seteliti mungkin tidak berubah isi dan lebar-panjang lontar serta ukuran besaran tulisan. Sekonsisten mungkin. Tujuannya jelas agar terjaga utuh isinya. Terjaga pengetahuan atau pesan dalam lontar tersebut.
Dalam proses “restotasi antar generasi” ini yang tidak bisa ditiru jelas adalah gurat atau style tulisan tangan antar generasi. Sebaik apapun dilakukan kelihatan. Ini tidak sebuah kekurangan, tapi justru keistimewaan bagaimana antar generasi saling memberi tongkat estafet untuk dilanjutkan generasi selanjutnya.
Jejak dua tulisan tangan ini bukti kelangsungan transfer pengetahuan tradisional dan kuno beraksara masih berjalan. Ini masih terjadi di beberapa titik. Namun umumnya sebagian besar masyarakat Bali tak mampu melanjutkan pewarisan pengetahuan kuno ini dengan terbukti di mana-mana lontar yang mengandung pengetahuan istimewa banyak terlantar dan dibiarkan hancur, pewarisnya tak berdaya dan tak paham.
Memang proses pewarisan lontar bisa nyambung dan tidak terputus kajian dan pemahaman isi dan keselamatan naskahnya jika pewarisnya bisa membaca, paham isinya, dan masih bisa menulis aksara tersebut, serta punya kepedulian dan kejelian merawatnya. [T]
Catatan Harian 30 September 2019