Tunggu selama beberapa tahun, pohon kelapa yang kita tanam bisa berbuah dan nikmati hasilnya. Hati-hati menanam kelapa, karena tempatnya haruslah benar. Tempat yang benar berarti tidak menghalangi jalan, dan jauh dari kamar-kamar. Bayangkan beberapa tahun setelah kita mati, pohon-pohon kelapa itu masih terus tumbuh, tumbuh, dan tumbuh. Dia menjadi sangat tinggi-tinggih-tinggi sekali. Siapakah yang akan mewarisi pohon kelapa yang tinggi itu?
Anak dan cucu. Kepada kedua tingkat keturunan itu kita titipkan pohon kelapa yang tinggi. Semakin tinggi pohon kelapa, semakin buanyak angin yang meniup-niupnya. Semakin banyak yang meniup, semakin goyanglah dia. Karena ukurannya yang tinggi itu pula, buah dan daunnya sulit untuk didapat. Maka hati-hati jika ada kelapa tua, sukur-sukur buah kelapa tidak beradu dengan kepala. Buah kelapa yang beradu itu, tidak bisa disebut sebagai kelapa adu muka.
So, apakah kelapa yang kita tanam hari ini sudah dalam posisi yang benar? Sangat penting menentukan posisi yang tepat dari sekarang. Sebab posisi turut menentukan apa yang akan terjadi di masa depan. Pengetahuan tentang masa depan, bukanlah sesuatu yang baru bagi para tetua-tetua pendahulu. Masa depan, disebutnya sebagai nagata. Tidak tanggung-tanggung, pengetahuan tentang waktu dimuat dalam kitab berjudul Sang Hyang Kamahayanikan pada bagian awal.
Tentu sangat penting memahami perihal waktu, gunanya agar orang memikirkan segala hal yang sudah dilaluinya atau dilalui kerabat dan sahabat sekelilingnya. Segala hal itu yang mestinya menjadi gambaran untuk kehidupan kelak. Sekarang adalah penghubung antara masa lalu dan masa depan. Jadi, jika di masa depan terjadi sesuatu, itu adalah hasil dari yang dilakukan sekarang. Waktu dilihat dari sudut pandang itu, mirip seperti tali yang siap mengikat dan menjerat. Kebanyakan, orang tidak sadar sedang diikat. Dia mulai sadar diikat, saat tali itu sudah menjerat leher dan membuat nafas sesak. Artinya, saat orang dalam bahaya, barulah mereka sadar.
Saat itu terjadi, maka carilah perlindungan. Apa perlindungan dari kemungkinan yang terjadi di masa depan? Jawabannya adalah cara menjalaninya sekarang. Sekaranglah masa depan itu ditentukan. Dengan begitu, meyakini karma phala tidak hanya sampai pada batas kata. Tetapi sudah menyusup sampai ke sumsum tulang. Sayangnya, tidak semua yang dilakukan sekarang dapat mengendalikan masa depan. Disinilah letak tegangnya. Setidaknya, ada suatu usaha yang sudah dilakukan untuk merencanakan dan memperbaiki masa depan. Jika tidak demikian, orang hanya akan larut dalam aliran lembut waktu yang menghanyutkan.
Maka, atas dasar kebijaksanaan, saya sarankan agar menanam pohon kelapa dengan cara yang benar. Benar waktunya, benar posisinya, benar peruntukannya. Semua itu mestilah diperhitungkan dengan matang. Tidak mungkin memindahkan begitu saja pohon kelapa yang terlanjur tinggi. Tidak sembarang orang pula yang bisa memanjatnya. Haruslah orang itu memiliki keahlian dan pengalaman yang cukup. Jika tidak, jangan bayangkan apa yang akan terjadi.
Menaiki pohon kelapa yang tinggi, tidak cukup dengan teori. Seorang teoritikus, boleh bertumpu pada teori-teori yang diamininya. Tetapi di hadapan seorang yang berpengalaman, teori itu seperti coretan di kertas buram yang sudah lecek untuk bungkus kacang goreng. Maka hati-hati pula berteori. Pada batas tertentu, teori bisa jadi tidak berguna. Dalam bahasa sastra di Bali, seratus teori kalah oleh satu bukti.
Dari pohon kelapa itu pula, helai nyiur diproduksi dan mencukupi keperluan upakara. Ya, tentu saja upakara yang kita elu-elukan sebagai warisan kebudayaan yang adiluhur itu bergantung kepada kelapa. Tidak hanya kelapa, tapi juga kepala.
Saya pernah berkata demikian kepada segerombolan ikan-ikan yang sedang khusyuk menyembah-nyembah. Mereka harus tahu, kalau budaya — yang telah diwarisi oleh entah siapa yang dengan singkat kita sebut leluhur – berasal dari pohon kelapa. Mereka bahkan mestinya memberikan penghormatan yang setinggi-tingginya, semulia-mulianya kepada kelapa. Sebab kelapa merelakan dirinya menjadi salah satu bagian dari bumi yang dijadikan pengorbanan atas nama ritual dan keikhlasan. Bayangkan bagaimana jadinya kalau kelapa tidak ada!
Barangkali sebuah upacara ngantukang batari sri yang digelar untuk “memindahkan” dewi kemakmuran itu dari sawah-sawah yang akan dibanguni villa, tidak akan berjalan mulus. Jika ritual itu tidak mulus, konon bangunan yang dibangun di atas tanah sawah tidak akan bisa ditempati dengan nyaman. Dengan begitu, kemakmuran tidak akan ada pada tanah yang dewinya belum dipindahkan dan ditindih batu bata dan batako.
Bisa jadi, upacara caru tidak bisa berjalan dengan baik karena kelapa tidak ada. Bagaimana caranya membuat daksina yang bahannya adalah buah kelapa? Dalam banyak sekali ceramah, konon kelapa adalah bulatan bumi yang mengandung amerta. Tidak ada kelapa, lalu mana amertanya?
Saya sungguh sangat sulit membayangkan, bagaimana upacara besar bisa dilangsungkan tanpa peran serta pohon kelapa. Agar jelas, bisa saja kita lihat perlengkapan yang disebutkan oleh Stuart-Fox dalam bukunya “Pura Besakih: Pura, Agama dan Masyarakat Bali”. Di dalamnya, Stuart-Fox menyediakan gambar-gambar peralatan upacara caru.
Tidak hanya daunnya, kelapa juga menyerahkan buahnya. Dari yang paling kecil, sampai yang paling tua. Jika kelapa adalah manusia, saya bayangkan kelapa memiliki hati dan perasaan. Buah-buah yang telah dirampas dari hak-haknya untuk hidup, adalah bakal anaknya. Orang tua mana yang rela memberikan anaknya untuk dijadikan bahan ritual?
Maka melalui tulisan ini saya ucapkan, terimakasih kelapa. Kepadamu saya menundukkan kepala. Sayangnya, banyak pohon kelapa yang sudah terlalu tua, dan tidak banyak lagi yang menanamnya. Meskipun ada, mereka tidak tahu lagi cara menanam dengan baik. Agar dijauhi dari hama, juga keisengan tetangga. Singkatnya, menanam kelapa mirip seperti menitipkan tugas kepada anak dan cucu. Jika anak cucu tidak mendapatkan sesuatu yang layak dan menyusahkan, siap-siaplah menjadi pelaku yang dipersalahkan. Lalu siapakah kelapa? Menurut orang tua saya, kelapa adalah leluhur. Leluhur itu bernama Nini. [T]
Kacang [Kamus Cangak]:
Mulai edisi ini, saya berusaha menyediakan beberapa kata yang diartikan menurut pemikiran saya yang dipengaruhi oleh banyak hal. Kata-kata itu saya himpun dalam suatu kamus bernama “Kacang” [Kamus Cangak]. Daftar kata itu ditulis tidak berurutan dan tidak sesuai abjad. Singkatnya, kamus itu disusun menurut keinginan saya sendiri.
Jarak : cara alam mengajarkan arti rindu.
Waktu : sesuatu yang memisahkan dan menghubungkan tanpa terasa.