Dalam hari-hari euforia merayakan kemerdekaan ke 74 tahun, Bangsa Indonesia digoncang pergolakan masyarakat Papua yang menuntut referendum untuk kemerdekaannya. Sebagai pemicunya sebuah kejadian rasisme yang menimpa sejumlah mahasiswa asal Papua yang sedang menimba ilmu di Surabaya, Malang, dan Semarang.
Sontak peristiwa ini memicu demontrasi besar-besaran oleh mahasiswa dan masyarakat di Papua, dan kota-kota besar di Indonesia lainnya. Bahkan beberapa pergolakan di kota-kota besar Papua berakhir rusuh dan betrok antara pendemo dan aparat keamanan, hingga pejabat keamanan mengambil kebijakan untuk mematikan internet di Papua. Praktis kebijakan itu mengundang pro-kontra dan tertutupnya akses informasi mengenai apa yang terjadi di Papua.
Rentetan demo hingga tulisan ini dibuat, telah berlangsung lebih dari 10 hari. Beberapa gedung dibakar, kendaraan dirusak, korban nyawa berjatuhan di kedua belah pihak, baik pendemo maupun aparat keamanan. Rentetan peristiwa ini adalah terbesar dalam sejarah Papua, baik dari segi jumlah, skala, dari segi gaung suaranya, maupun bobot tuntutanya.
Dari manakah kekuatan bersuara rakyat Papua muncul? Benarkah ada yang menggerakkan, ataukah ini gerakan spontan? Mewakili keseluruhan rakyat Papua-kah mereka itu? Mereka rakyat ataukah massa ?
Papua sebagai kelompok subaltern
Orang Papua mengalami diskriminasi sosial, baik secara fisik maupun prilaku, hingga lekat dengan stigma sebagai masyarakat primitive, tidak memiliki peradaban, terbelakang, bodoh, suka mabuk, dan berperang. Stereotip ini dialami sejak dahulu. Dari sinilah Papua mengalami hegemoni, yakni sebuah populasi yang secara sosial, politik, dan kultural, ditundukkan oleh suatu kelompok lain yang menguasainya.
Hegemoni itu biasanya bersifat halus dan tak langsung, dioperasikan melalui hal-hal yang ideologis dan cendrung etis, seperti pakaian, bentuk rumah, cara hidup, cara mencari nafkah, berbicara dan sebagainya, yang mana biasanya berbalut alasan etis, misalnya untuk kesejahteraan masyarakt Papua, namun tindakan itu secara tak langsung memarjinalkan mereka, dan meneguhkan dominasi atas mereka.
Gayatri spivak, mendifinisikan kelompok subaltern sebagi kelompok yang suaranya selalu direfresentasikan, sedangkan refresentasi hanyalah alat untuk mendominasi.
Pemerintah pusat, membentuk refresentasi stereotip, melalui anggota dewan, bupati, gubernur, di Papua, namun kekuasaan sesungguhnya berada di pemerintah pusat dan militer. Seolah-olah saja mereka terwakili, namun wakil mereka ini tak berbeda atau stereotip dengan masyarakat biasa, karena tanpa kekuasaan, bahkan menjadi alat kekuasaan semata. Dengan kata lain strategi ini hanya manipulasi untuk meneguhkan hegemoni atas masyarakat Papua.
Dengan adanya hegemoni sosial, politik, dan budaya, industri kerajinan, dan inisiatif rakyat Papua berlahan mati. Dengan matinya budaya, industri, kerajinan, dan inisiatif, rakyat Papua menjadi semakin terisolasi dan terkucilkan dalam tatanan sosial.
Sejarah kekerasan
Sejarah Papua seakan lekat dengan kekerasan, bagai bintang malam dalam mendung yang gelap pekat. Kekerasan seakan datang tiada putus, dan semakin menjadi-jadi saat pemerintah menetapkan status daerah operasi meliter dalam kurun waktu 1978 hingga 1998
DOM berlangsung 20 tahun, dan sejarah mencatat ada ribuan korban jiwa dan masyarakat sipil sejak Republik Indonesia memasuki Papua. Dugaan pelanggaran HAM dan kekerasan pun menyeruak. Diantaranya bahkan masih terjadi paska diberlakukan Dom diantaranya peristiwa Biak berdarah 1998, peritiwa Abepura 2000, Wasior 2001, Wamena 2003 hingga tragedi Paniai 2014.
Semua peristiwa kekerasan dalam sejarah Papua meninggalkan trauma dan membekas dalam dalam ingatan kolektif rakyat Papua. Segala bentuk perlakuan tidak adil, intimidasi, bahkan penyiksaan menjadi masalah psikologis rakyat Papua yang mendorong prilaku kekerasan berlapis lainya. Sayang masalah psikologis sama sekali tidak digubris dan diperhatikan. Dialog dan duduk bersam lebih efektif dibanding memecahkan masalah mereka dengan pedang dan peluru.
Perkembangan politik domestik indonesia
Perkembangan politik satu dekade terakhir di indonesia sangat dinamis. Di satu sisi ada demokratisasi melalui pemilihan langsung baik pejabat daerah maupun pusat. Demokratisasi membawa keterbukaan dan berbagai kebebasan, seperti kebebasan berpendapat dan mengekspresikan diri. Debat-debat politik hampir setiap hari mewarnai media. Berbagai wacana berseliweran bagai tiada henti. Setiap orang dapat berinteraksi dengan siapa saja tanpa sekat dan batas.
Perkembangan ini juga membawa pengaruh positif dan sifat menambah daya kritis pemuda dan mahasiswa Papua. Mereka membandingkan kenyataan yang ada dengan apa yang mereka pelajari dan lihat di luar. Mereka mendapati hal yang bertolak belakang dan berbeda dengan yang mereka alami di Papua. Jadilah sikap resistensi mereka bertambah. Terlebih ada dukungan dari saudara serumpun bangsa melanesia dalam wadah melanesia spearhead group (MSG) dan pembentukan United Liberation Movement For West Papua (ULMWP).
Di lain sisi perkembangan politik domestik indonesia selain mengarah demokratisasi, ada gerakan konservatif yakni politisasi agama. Sebagai minoritas dan sebagai kelompok yang terhegemoni, situasi ini sungguh menakutkan mereka. Ancaman kepunahan semakin membayang di benak mereka.
Konspirasi internasional
Banyak kalangan melihat bahwa peristiwa rentetan demo Papua tak lepas dari geopolitik internasional. Mereka mempertanyakan dan meragukan kerapuhan nasionalisme yang sudah dibangun bertahun-tahun oleh pemerintah Indonesia. Lebih-lebih Presiden Jokowi telah membangun berbagai infrastruktur, melakukan pendekatan yang intensif, mengambil alih Freeport, dan memperoleh dukungan yang signifikan dari masyarakat Papua pada pilpres 2019 kemarin.
Keraguan itu mungkin beralasan, karena masyarakat Papua sebagai entitas subaltern rentan suaranya di manipulasi kelompok-kelompok hegemon yang lainya. Dari sini kita bisa bersikap kritis, apakah mereka yang demontrasi besar-besaran itu benar-benar suara Papua? Apakah suara itu murni suara subaltern yang spontan, tanpa kepentingan kelompok hegemon lain atau kelompok politik tertentu. Karena seringkali pihak hegemon menggunakan suara subaltern sebagai alat. Dengan kata lain mereka menyamar menjadi suara perlawanan subaltern. Dalam hal ini kelompok hegemon lain adalah Negara imprialis lainya, seperti Amerika, Australia, atau bahkan Cina.
Kekuatan suara Papua.
Papua sebagai entitas budaya dan masyarakat tergolong dari ras Melanesia. Ras Melanesia sebarannya meliputi kepulauan pasifik selatan, antara lain Papua Nugini, Kepulauan Salamon, Fiji, Kaledonia Baru, Vanuatu, Samoa, Papua dan Papua Barat. Di Papua sendiri mereka terbagi dalam beberapa sub-suku di antaranya suku asmat, amungme, dani, kamoro, marind, biak, sentani, wamesa , arfak, dan lain-lainya.
Dalam sejarah Papua banyak terjadi konflik antara suku adat dan perusahaan perkebunan dan pertambangan dimana masyarakat adat dipaksa menyerahkan tanah mereka. Dilain sisi pemerintah daerah, atas intruksi pusat ingin menjalankan industri perkebunan gula, kayu, atau sawit, dan kemajuan ekonomi atas nama pembanguna. Di sisi lainya rakyat Papua sangat tergantung pada kebun dan tanah. Mengambil tanah orang Papua berarti menghabisi kehidupan mereka. Tak jarang konflik-konflik itu berakhir menyedihkan, yakni penghancuran sumber kehidupan suku-suku tersebut.
Seperti suku-suku kebanyakan di Indonesia, orang Papua percaya bahwa alam, binatang, dan tumbuhan memiliki kehidupan dan jiwa. Ekologi adalah sesuatu yang hidup membentuk ruang hidup yang dinamis. Bagi orang Amungme, misalnya, tanah bukan hanya bernilai ekonomis, melainkan bermakna magis religius. Tanah ibarat seorang ibu yang memberikan kehidupan bagi anak-anaknya.
Suku Amungme menganggap daerah pegunungan salju termasuk puncak-puncak gunung tertinggi bersemayamlah Jomun-Temun Nerek, para leluhur suku Amungme. Puncak gunung Carstenz, Ertsberg, Grassberg beserta lembah-lembah sekitarnya sebagai wilayah keramat yang suci tidak boleh diganggu gugat. Di kawasan kepala ibu itulah konon mereka berasal dan nenek moyang berada. Daerah asal yang bernilai religius-magis inilah yang saat ini porak poranda oleh kegiatan tambang emas dan tembaga oleh Freeport. Sialnya mereka tak berdaya.
Bencana yang beberapa kali terjadi, bagi masyarakat Papua adalah pertanda leluhur dan nenek moyang mereka sedang murka, karena mereka tak mampu menjaga alam dan ekologi yang diwarisi. Mereka merasa diambang kehancuran. Inilah yang menjadi daya dorong rakyat Papua untuk berbicara, memisahkan diri dari Indonesia.
Mereka sekarang merasa menderita, namun mereka meyakini mereka adalah manusia utama, titisan dewa, yang menempati tanah surga. Mereka percaya akan datangnya zaman keemasan, setelah mereka mampu melewati berbagai kesulitan yang mereka terima sejak zaman Belanda, Jepang, dan kini dengan Indonesia. Kali ini mereka sangat yakin, hari itu akan segera tiba, dan saat ini adalah waktu yang paling baik…
Menguatnya tuntutan referendum dan kemerdekaan Papua, tak bisa dipisahkan dari sejarah dan pemahaman rakyat Papua dalam melihat dan menilai realitas praktek-praktek kehidupan di Papua dan perlakuan terhadap mereka di ruang sosial dan politik mereka sendiri. Sejarah kekerasan dalam ruang operasi militer, ketidakberdayaan dan terhegemoni dalam bidang sosial, politik, dan budaya, ekpoitasi alam, perebutan sumberdaya alam oleh korporasi internasional dan Negara-negara imprialis, perkembangan politik dan dproses demokratisasi domestik dalam negeri Indonesia serta mitologi dan kepercayaan masyarakat Papua. Campuran dan interaksi-interaksi factor diatas membentuk realitas Papua saat ini.
Saat ini saluran internet di Papua putus. Tak ada informasi yang jelas mengenai situasi Papua. Seakan menambah deretan panjang kegelapan-kegelapan masa lalu mereka. Papua menjadi gelap, segelap kulit mereka. Sepekat jalan hidup mereka mempertanyakan nasib. [T]