Di masyarakat pedesaan atau masyarakat yang awam, istilah “operasi sesar” tidak dikenal. Diciptakan istilah tersendiri untuk, yaitu meprasi atau mecokot. Meprasi adalah sebutan untuk semua tindakan pembedahan, yang sejalan makna kata “operasi” dalam KBBI daring, “bedah” atau “bedel”. Mecokot artinya “diambil”.
Dokter membedah atau membedel perut si ibu lalu tangan dokter mengambil bayi dari rahim. Memang demikian adanya.
Esai ini kemudian ingin menceritakan makna yang sangat jauh dari dunia medis. Sesar dikaitkan dengan kasta dan “kehendak jalan lahir si bayi”, yang juga menyediakan alasan mengapa perempuan Bali ada pada posisi subordinat laki-laki.
Seorang nenek menceritakan anaknya melahirkan dengan meprasi. Yang menarik tentu alasan, mengapa meprasi? Tiada lain, berkaitan dengan perkawinan naik kasta, dari jaba menjadi triwangsa (anak agung). Sejak itu ia bergelar baru, jero di depan namanya dan menjadi sapaan terhormat di desanya, di kaki Gunung Batukaru, yang tidak mengenal kasta.
Dengan bangga si nenek menceritakan bahwa Jero Armini (sebut saja demikian) harus meprasi, lantaran bayi yang dikandungnya tidak diizinkan oleh keluarga suaminya (ingat, yang triwangsa) lahir normal. Jika lahir normal maka keturunan/bayi tersebut akan tercemar. Maka operasi sesar bagi keluarga triwangsa (menurut kisah si nenek) adalah cara untuk memurnikan kasta.
Jika demikian, bagaimana dengan darah Jero Armini yang bercampur dengan darah suaminya, seorang anak agung, yang mengalir dalam tubuh putra mereka? Tentu saja tidak bisa dengan cuci darah, kan? Apa bisa dijaga kemurniannya? Lalu ASI, bagaimana? Karena Jero Armini tetap diizinkan menyusui anaknya.
Itu cerita pertama.
Cerita kedua datang dari seorang intelektual, berpendidikan pascarasarjana, dari kasta triwangasa (brahmana). Diceritakan, ia menjalani operasi sesar karena sangat sulit melahirkan. Lalu seluruh keluarga suaminya menyetujui untuk tindakan ini karena bayi yang dikandung Dayu (sebut saja demikian) tidak sudi dilahirkan normal karena bayi tersebut meraga luwih.
Operasi sesar pada cerita Dayu sama sekali tidak berkaitan dengan cara menjaga kemurnian kasta, seperti yang dialami oleh Jero Armini. Namun demikian, kedua cerita tersebut memaknai bahwa vagina perempuan, baik itu jaba dan triwangasa, sama-sama “kotor”.
Dari kedua kisah ini bisa dipahami satu alasan mengapa perempuan Bali bisa mengotori “lingkungan”, seperti ketika datang bulan. Organ-organ reproduksi perempuan, secara kultural, diterima sebagai yang “leteh”. Maka, bertambah lagi alasan, sebagai subordinat kaum perempuan. [T]