Profesi sebagai guru merupakan profesi yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Kisah-kisah guru dari cara mengajarnya, kehidupan di dalam dunia pendidikanya, dan bahkan kisah kehidupan pribadinya. Tak khayal profesi guru ini sering menjadi sorotan dalam media jika ada hal-hal yang unik dimilikinya.
Berdasarkan jumlahnya, profesi guru menduduki urutan pertama dari jumlah ASN dalam bidang profesi. Jumlah guru ASN per tahun 2019 sebanyak 1,6 juta jiwa. Jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan jabatan fungsional yang lain seperti fungsional teknis sebanyak 372 ribu , dan tenaga kesehatan sebanyak 264 ribu jiwa. Jumlah yang banyak tersebut sangat memungkinkan untuk mendapatkan minimal 3 atau 4 kursi dalam DPR RI. Namun sayang, itu sangat jarang terjadi.
Selama 9 tahun saya menjadi guru banyak sekali perilaku guru yang perlu kita perhatikan bersama untuk bagaimana meningkatkan profesionalismenya menjadi guru yang benar-benar sejati. Sering kali para guru berkilah kalau kualitas siswanya rendah dan akan saling menyalahkan satu tingkat guru di pendidikan sebelumnya.
Misalnya di SMA siswanya lambat mengikuti pelajaran, tidak jarang guru menyalahkan bahwa input dari SMP sudah tidak bagus. Lalu guru di SMP pun seperti itu menuding input SD yang tidak bagus. Bahkan ada kelas 8 SMP yang belum bisa menghitung perkalian 1 sampai 100 dengan lancar. Lalu siapa yang disalahkan oleh guru SD? Kalau hal tersebut terjadi maka bukan tidak mungkin adanya suatu hal yang perlu kita benahi bersama untuk memenuhi tuntutan Undang-Undang kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Budaya saling menyalahkan dalam dunia pendidikan sebaiknya perlu kita hindari bersama. Sebagai seorang pendidik, kita perlu untuk saling merefleksi diri agar hal-hal tersebut tidak terjadi. Budaya ini sebenarnya dapat ditepis bahkan dihilangkan sama sekali dengan hati yang lebih terbuka dan komunikasi yang baik antar sesama pendidik.
Guru yang profesional tidak hanya dilihat dari kemampuan dia mengajar di kelas secara baik namun guru yang profesional diharapkan memiliki 4 kompetensi yang harus dilalui yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi professional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Selama ini yang saya perhatikan adalah pengujian kompetensi guru hanya pada 2 aspek pokok yaitu kompetensi pedagogik dan kompetensi professional. Kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian sangat jarang dinilai.
Penilaian 2 kompetensi terakhir paling hanya di PKG saja. Tingkah laku guru hanya dinilai oleh kepala sekolah saja. Penilaian teman sejawat dan oleh peserta didik perlu untuk dimaksimalkan bersama agar perilaku guru bisa lebih melayani siswa secara maksimal.
Perilaku guru dalam melayani siswa selama ini masih perlu ditingkatkan. Perilaku guru yang memposisikan diri lebih tinggi kedudukanya dengan siswa terkadang membuat guru menjadi jumawa. Tak pelak guru merasa sangat superior bila sudah berada di dalam kelas. Sangat jarang guru bisa membaur bersama di kelas, masuk menyelami ke dalam dunia siswa dan secara bersama-sama membangun pengetahuan dengan gaya belajar siswa masing-masing.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas dari output siswa yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh bagaimana profesionalisme guru. Hampir 30% keberhasilan seorang siswa dipengaruhi oleh guru. Pada guru yang berkualitas diharapkan tentunya akan menghasilkan siswa-siswa yang berkualitas dan juga bertalenta pula guru merupakan aktor dan kunci penting dari kualitas pendidikan. selama ini guru masih kurang diperhatikan dari sisi kesejahteraan dan juga seperti di anak tirikan dibandingkan dengan pegawai-pegawai yang lain.
Untuk itu sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap guru diharapkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap guru juga terus dilakukan. Kebijakan tersebut misalnya mempermudah ataupun memperlancar tunjangan profesi guru yang bertujuan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan guru. Kalau guru masih berkutat pada tingkat kesejahteraan mereka, maka akan mengganggu konsentrasi dan juga tidak fokus akan mengajar. Kalau guru belum bebas terhadap tingkat kesejahteraan maka kualitas pendidikan atau mutu siswa menjadi terabaikan di satu sisi yang lainnya adalah bagaimana kemampuan seorang guru tersebut harus lebih merata di setiap sekolah di mana guru-guru yang berkualitas diharapkan mampu mengimbas ke guru-guru yang lain melalui kolega dalam MGMP.
Disamping itu juga pemerataan kualitas guru dapat dilakukan dengan melalui analisis kebutuhan dan juga mutasi guru sehingga dengan adanya mutasi guru yang merata diharapkan nanti kualitas pendidikan juga menjadi lebih merata.
Selain itu terjadi paradoks di kalangan guru bahwa terdapat guru yang terlalu fokus untuk mengajar dan tidak punya waktu untuk mengembangkan profesionalnya. Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya kualitas guru kita.
Seperti pada hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dilakukan pada tahun 2015 rata-rata UKG nasional 53,02, sedangkan pemerintah menargetkan rata-rata nilai di angka 55. Selain itu, rerata nilai profesional 54,77, sedangkan nilai rata-rata kompetensi pendagogik 48,94. Masih rendahnya nilai UKG ini menunjukkan bahwa masih lemahnya kompetensi professional dan pedagogik guru dalam mengajar. Perlu dilakukan suatu terobosan dalam pelatihan-pelatihan guru sehingga nilai UKG dapat meningkat. Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya nilai pada UKG yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu kompetensi, kemampuan literasi dan profesionalisme.
Dapat dipahami bersama bahwa, rendahnya kualitas guru tidak bisa dijawab dengan mengganti kurikulum, mengganti menteri, ataupun mengganti buku-buku pendidikan. Kualitas pendidikan hanya bisa dijawab oleh kualitas guru. Guru yang profesional, guru yang berkualitas adalah jaminannya. Tanpa perbaikan kualitas guru maka kualitas pendidikan akan tetap “jauh panggang dari api”, akan tidak memadai.
Kebijakan gonta-ganti kurikulum yang begitu cepat, tidak serta merta menyelesaikan permasalahan mutu pendidikan di Indonesia. Tak pelak guru malah menjadi kebingungan dan cenderung hangat-hangat tai ayam saja dalam melaksanakan kurikulum baru. Di awal saja sesuai kurikulum, namun setelah program selesai maka kembali dengan pelaksanaan pembelajaran yang masih tradisional. Untuk itu, kunci penting dalam peningkatan kualitas adalah perubahan guru. Upaya meningkatkan kompetensi guru sebagai pelaksana kurikulum di kelas sangatlah penting. Karena sebaik apapun kurikulum yang ada, tidak akan bisa berjalan dengan baik tanpa didukung guru yang berkualitas.
Bagaimanapun juga, profesi guru adalah profesi yang mulia. Mencerdaskan anak-anak bangsa untuk kehidupan mereka yang lebih baik merupakan tujuan utama. Jangan sampai anak-anak kita merasa terkekang oleh pelajaran yang fana. Jangan sampai siswa kita menjadi asing di dalam dunia kelas yang nyata. Laku guru perlu lebih banyak melayani sesama, bukan superioritas egaliter dalam kelas semata. Tapi lebih pada menyentuh perasaan dari lubuk hati siswa sebagai mahluk yang mulia. Semoga. [T]