“Hormatilah dalam pada itu segala adat istiadat yang kuat dan sehat, yang terdapat di daerah-daerah yang tidak mengganggu atau menghambat persatuan negara dan bangsa Indonesia”
Demikianlah salah satu pemikiran hebat seorang pejuang kemerdekaan terkhusus di bidang pendidikan, yaitu pahlawan nasional Ki Hajar Dewantara. Tak perlu kita ragukan lagi, betapa visionernya sosok negarawan rendah hati ini.
Tokoh-tokoh besar yang telah dikaruniai kebijaksanaan oleh alam, sepertinya mampu memandang jauh ke depan, bahkan melampau batas akhir usianya sendiri. Pemikiran ini, sungguh relevan dengn situasi kebangsaan di tanah air saat ini. Juga mungkin di bumi ini, dalam kancah pertarungan geopolitik maupun ideologi.
Pasti masih segar namun kelam, dalam ingatan kita tragedi kemanusiaan di negeri tentram Sleandia Baru maupun negeri yang memang tak usai terkoyak kekacauan, Srilanka. Seorang radikal anti imigran dengan brutal membantai umat yang sedang khusuk beribadah di masjid yang damai di kota Christcurch.
Lihat, betapa indahnya, di sebuah kota di pesisir timur Pulau Selatan di Selandia Baru bernama Christcurch yang “sangat Kristen”, di sana telah berdiri masjid, rumah ibadah umat Islam. Sebelum amarah itu datang yang menyalak lewat moncong senapan otomatis mirip Riffle PUBG, lalu seketika darah dan tangis berserakan. Teroris itu jelas orang cerdas dan terdidik.
Sama dengan pelaku bom bunuh diri di sejumlah gereja dan fasilitas umum, terutama hotel mewah di Srilanka saat perayaan Paskah. Mereka berasal dari keluarga kaya raya dan terdidik. Maka cerdas dan terdidik saja, sejak dahulu, bukanlah jaminan seseorang menjadi baik dan toleran. Ia, harus terdidik dengan baik dan benar, dalam doktrinasi nilai-nilai universal yang humanis, bukan religius yang fanatis dan primordial. Wahid Istitute dalam risetnya pun telah menyimpulkan, di kalangan terdidik di Indonesia, sikap intoleransi kian meningkat.
Bukan hanya Ki Hajar Dewantara, sang proklamator Bung Karno pun pernah mengucapkan isi pikirannya, yang mungkin sebenarnya adalah ketakutan-ketakutan sang pendiri bangsa yang visioner itu.
Simaklah, “Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India, kalau jadi orang Islam jangan jadi orang Arab, kalau Kristen jangan jadi orang Yahudi, tetaplah jadi orang nusantara dengan adat-budaya nusantara yang kaya raya ini”.
Sungguhlah begitu sehati kegundahan kedua tokoh besar bangsa yang sulit dicari penggantinya ini. Apa sih kurangnya mereka? Mereka yang telah menuliskan dengan tinta emas kemerdekaan bangsa ini namun tak setarikan nafaspun ingin memiliki negeri ini dalam ambisi pribadinya dalam nuansa primordialisme agama maupun suku. Segala-galanya adalah milik semua anak negeri, semua bangsa, semua suku dan agama dari Sabang hingga Merauke.
Pendidikan yang baik dan tinggi, semestinya kian menguatkan spirit toleransi dan pluralisme insani. Mengapa? Karena, sangat jelas secara ilmiah, kita semua saat ini, telah terlahir dari satu untaian proses evolusi yang sama. Sir Charles Robert Darwin telah mengumpulkan ribuan spesimen untuk menguji teori ini, hingga menjadi fakta-fakta obyektif natural bukannya imaji subyektif yang tendensius.
Kecerdasan, harusnya menjadikan manusia kian humanis, bukannya rasis. Periksalah darah semua manusia (homo sapiens) di dunia, dari semua ras dan agama, juga jenis kelamin atau kasta. Maka hanya akan ada 4 golongan darah ABO dan 2 Rhesus untuk semuanya. Takkan ada golongan darah Mongol, darah Islam, darah darah pangeran, darah wanita, atau darah tukang becak.
Oleh karenanya, darah seorang Hindu akan dapat diberikan kepada seorang Kristen, darah seorang homoseksual untuk seorang janda, darah seorang tentara untuk seorang aktris, atau darah seorang Madura untuk seorang kaukasoid. Maka, bukanlah keliru, jika seorang Hellen Keller mengatakan, hasil tertinggi dari pendidikaan adalah sikap toleransi. [T]
BACA JUGA KOLOM DOKTER YANG INI:
- Acintya
- Nyepi: Terapi Kesehatan
- Pasien, Guru yang Sempurna
- Dokter dan Sepotong Filsafat
- Dokter & Dukun, Tujuan Sama, Satu Naik Heli, Satu Naik Boat, Tidaklah Bertabrakan…
- Hantu itu Bernama Ateisme
- Seks: Barang & Gaya Itu-itu Saja, Yang Rumit adalah Persepsinya
- Ideologi, Demokrasi & Kesehatan Bangsa
- Musuh Dokter itu Bernama Keseriusan
- Evolusi Pasca Darwin
- Belajar dari Tubuh
- Sudah Jelas, Penyebab Stoke adalah Nasib
- Dokter, Profesi Paling Lucu
- Pemilu, Politik & Stres
- Biaya Kesehatan Harus Dibikin Semahal-mahalnya
- Diabetes yang Menghentikan Kita, Atau Kita yang Menghentikan Diabetes
- Bulan, Menelitinya atau Mengaguminya, Keduanya adalah Ibadah