Sejak pagi pukul setengah 6 pagi keriuhan sudah mulai terdengar di halaman di bawah kamar kost saya. Bukannya riuh karena apa, tapi itu adalah suara petugas-petugas KPPS yang tengah mempersiapkan pencoblosan pukul 7 pagi. Itu memang terjadi di hari pencoblosan Pemilu 17 April 2019.
Di bawah naungan tenda besi para petugas sibuk mengecek-ngecek segala sesuatunya agar tidak ada yang kurang. Pukul 7 kurang lima, ketua KPPS sudah mengambil alih pengeras suara untuk mengajak warga sekitar agar segera datang ke TPS.
Sebagai orang yang pertama kali menggunakan hak suara, saya sangat antusias kala itu. Pagi-pagi sekali saya sudah mandi, bersiap-siap akan memilih pemimpin bangsa untuk 5 tahun ke depan.
Sedikit informasi, saya orang Bali yang merantau untuk kuliah di Jakarta. Harusnya saya memilih di Desa Tista, Busungbiu, Buleleng. Tapi karena tak ingin menyia-nyiakan hak perdana untuk memilih pemimpin, jauh-jauh hari saya berupaya memmindahkan hak pilih saya demi bisa ikut dalam pesta demokrasi 2019 ini. Walaupun hanya bisa digunakan untuk memilih presiden dan wakil presiden, saya sudah cukup bahagia. Urusan memilih caleg dari kampung saya di Busungbiu mungkin bisa saya lakukan pada Pemilu 5 tahun lagi.
Saya ingat betul bagaimana perjuangan saya ketika memindahkan hak pilih. Walaupun tidak sedramatis memperjuangkan Kemerdekan RI, namun saya rasa masih layak saya ceritakan. Sejak 36 hari menjelang pencoblosan saya sudah ke KPU terdekat untuk megurus hak pilih. Awalnya ditawari teman, ketika itu niat saya masih setengah-setengah. Kemudian saya pikir-pikir kembali kenapa saya tidak gunakan saja hak pilih saya? Saya juga ingin ikut serta menentukan pemimpin bangsa 5 tahun ke depan.
Akhirnya berangkatlah saya dan teman-teman ke KPU tujuan. Jaraknya tidak begitu jauh, apalagi naik ojek online pakai kode promo sehingga lumayan menghemat uang saku. Sebelum berangkat, saya menyempatkan diri berfoto bersama agar bisa diunggah di instagram. Tidak lupa saya selipkan kata-kata mutiara di unggahan agar teman-teman lain termotivasi untuk memindahkan hak pilih.
Sudah saya pilah-pilah hari saya ke KPU agar di tempat tujuan tidak usah mengantre. Namun tampaknya di pemilu 2019 ini masyarakat sudah semakin banyak yang sadar politik. Hal ini terlihat dari panjang antrean di KPU tujuan saya. Nomor antrean yang saya dapat angkanya mencapai tiga digit. Tidak diragukan lagi penantian ini akan panjang. Sampai lapar pun tiba saya masih menunggu di KPU. Namun saya masih bisa bersyukur karena walaupun harus menunggu lama setidaknya masih dapat nomor antrean.
Mendekati jarum angka satu akhirnya giliran saya tiba. Betapa senangnya hati ini. Tidak begitu sulit mengurusnya. Petugas hanya meminta beberapa informasi, kemudian memberi beberapa instruksi. Singkat cerita dapatlah saya formulir A5 yang saya idam-idamkan. Tapi masih belum selesai sampai di situ. Formulir A5 yang saya dapat masih harus saya serahkan ke kantor kelurahan terdekat agar saya tahu TPS mana yang akan saya datangai di hari pemilu.
Sewaktu menyerahkan formulir ke kantor kelurahan sempat membuat saya berfikir untuk golput saja. Bagaimana tidak, mungkin karena sibuk, Pak Lurah agak-agak susah ditemui untuk mengurus formulir saya. Mula-mula janjinya pagi, kemudian berubah siang, sampai akhirnya ganti waktu pertemuan. Masih cukup sabar saya, dan tetap berpikir untuk tidak golput.
Kemudian sepakatlah kami berdua untuk bertemu di hari Rabu. Dengan pakain rapi dan kemas saya datangi kantor kelurahan. Sesampainya saya di kantor kelurahan saya dibuat bingung, karena tiba-tiba si bapak membatalkan pertemuan dan meminta bertemu di hari Jumat. Ketika itu saya putuskan jika pertemuannya dibatalkan lagi saya mau golput saja.
Untunglah si bapak tidak ingkar janji. Akhirnya saya resmi memindahkan hak pilih saya dari Buleleng, Bali, ke Jakarata Selatan.
Kembali lagi ke cerita di tanggal 17 April. Pukul 7 lewat 15 menit saya sudah ke TPS untuk menyerahkan form A5 yang saya dapat sewaktu memindahkan hak pilih. Sesampainya di sana petugas KPPS memberi arahan untuk datang pukul 12 siang. Saya agak ragu, tapi saya iyakan saja. Sekembalinya saya ke kost saya mengecek handphone, siapa tahu informasi bapak- bapak yang di TPS tadi salah.
Benar saja, setelah saya cek ternyata pelayanan A5 dimulai dari pukul 7 sampai pukul 13. Berbekal bukti yang saya dapat di internet, saya kembali datang ke TPS. Saya kira bakal cekcok, tapi untung saja tidak. Usut punya usut, bapak-bapak tersebut salah memberikan informasi. Dengan muka tanpa bersalah, si bapak-bapak berkata, “Memang sudah bisa mencoblos dari jam 7 kok, Mbak”.
Demi menenangkan diri saya ambil kesimpulan, mungkin si bapak itu lelah karena sudah mempersiapkan TPS sedari pagi. Bahkan mungkin dari kemarin-kemarin.
Ketika nama saya dipanggil saya maju sembari berpikir, hari ini negara Indonesia tengah mencetak sejarah yaitu untuk pertama kalinya melaksanakan pemilu serentak untuk dewan eksekutif dan legislatif. Terngiang di kepala saya, mungkin hari ini akan tertulis di buku-buku PKN siswa SD ataupun SMP. Setelah menggunakan hak suara, saya keluar dari areal TPS dan tidak lupa mencelupkan kelingking ke tinta agar dapat saya pamerkan di Instagrammaupun Whatapps.
Sekitar pukul 1 lewat 15 menit penghitungan suara mulai dilakukan. Setiap kali nama pasangan calon disebut selalu diikuti sorak gembira masing-masing pendukung. Dalam hati saya berharap semoga pasangan calon yang saya pilihlah yang menang. Mula-mula suara bapak-bapak yang menghitung sangat bersemangat sampai akhirnya lesu karena memang sudah larut malam. Belakangan saya mencari tahu, penghitungan suaradi TPS tersebut masih berlangsung hingga pukul 2 dinihari. Tampaknya para petugas TPS tersebut sudah bekerja keras.
Tidak berselang beberapa lama setalah penghitungan suara dilakukan, drama-drama usai pemilu mulai bermunculan. Bahkan sejak quick countdisiarkan pada pukul 3 sore keadaan sudah seakan memanas. Ini meleset dari perkiraan saya yang saya pikir baru dimulai besok paginya. Maklum saya baru pertama kali ikut pesta demokrasi.
Drama yang paling seru bagi saya adalah kisah salah satu pasangan calon yang mengklaim kemenangan pilpres 2019. Berita semakin simpang siur, apalagi apa yang diklaim oleh pasangan calon tersebut berbanding terbalik dengan quick count yang saya saksikan di Youtube.
Sebagai orang yang pertama kali menggunakan hak pilih saya hanya bisa menghela nafas melihat drama yang menggelikan ini. Saya merasa dikecewakan, usaha saya memindahkan hak pilih tempo hari terasa sia-sia. Usaha-usaha proklamasi kemenangan itu bagi saya adalah suatu bentuk ketidakpercyaan terhadap rakyat. Semoga saja pilpres ini tidak berujung konflik, agar tidak semakin terluka hati saya ini. [T]