Jika sastra mampu meluruskan politik yang bengkok, maka suara kita dalam pemilu akan menghalangi orang jahat berkuasa, So, let’s vote millenials ! – (Marx_Tjes-sejarawan amatir Undiksha via RomoFranz Magnis Suseno)
—
Rabu, 3 April 2019, bertepatan dengan perayaan Isra Mi’raj. Kami, keluarga besar Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja memanfaatkan libur nasional tersebut dengan melaksanakan acara tirtayatra ke sejumlah pura di Kabupaten Bangli-Pura Hulun Danu dan Pura Balingkang. Dalam perjalanan ke sejumlah pura di kawasa Bali Tengah itu, kami menggunakan 2 bus kampus, dan saya memilih duduk di deretan bangku paling belakang. Selain menawarkan ruang yang cukup, pola interaksi di deretan belakang biasanya lebih hidup.
Jika perjalanan jauh, apalagi dilanda macet (dampak nyinebpura Batur dan Panca Walikrama Pura Besakih) berkepanjangan dengan medan berkelok nan sempit, akan diiisi dengan ritual “pulau kapuk”. Pengecualian bagi kami yang duduk di deretan belakang, justru terdengar heboh dengan obrolan-obrolan serius namun dibumbui cerita-cerita jenaka – mulai dari soal Indonesian Lawyer Club, LGBT, Sejarah dan tradisi Bali hingga fenomena golput pilpres 2019.
Tulisan ini terinspirasi dari diskusi alot kami perihal fenomena golput di segmen pemilih milenial pada hajatan pilpres tahun ini. Mereka dianggap golongan potensial dalam mendulang suara. Tidak mengherankan bila kemudian para kontestan pemilu berusaha menarik perhatian milenial dengan berbagai cara, dimulai dengan menampilkan gaya hidup kekinian yang dianggap dekat dengan dunia milenial meski nampak artifisial, tegur sapa via media sosial seperti FB, IG, Youtube dan beberapa platform media sosial lain, berbusana dan berkendara ala milenial. Beberapa yang lain berusaha menampilkan citra diri yang santun, tegas, merakyat, optimis, dan berapi-api.
Diperhitungkannya golongan milenial dalam radar politik pilpres tentu didasari pada perhitungan statistik KPU. Disadur dari Sindonews.com, 2 Januari 2019, DPT untuk pemilu tahun ini mencapai 192.828.520. Pemilih yang berumur 20 tahun tercatat sejumlah 17.501.278, sedangkan pemilih berumur 21-30 berjumlah 42.843.793 orang. Jika pemilih milenial dikategorikan berumur antara 20-30 tahun, itu berarti ada sekitar 60-an juta pemilih milenial atau sekitar 30 % dari total DPT.
Meski begitu, beberapa kawan milenial yang saya temui menyatakan pesimis dengan hajatan pilpres tahun ini dan berniat golput. Menurutnya, kontestasi pilpres 2019 tidak lebih dari pertunjukan drama politik pragmatis sekaligus oportunis. Alih-alih memberikan pendidikan politik yang mencerdaskan, yang disuguhkan justru caci maki dan saling menjatuhkan.
Misalkan saja beberapa nara sumber yang dihadirkan sebuah stasiun televisi dalam acara bertajuk debat yang mengometari beberapa isu terkini seputar politik nasional. Mereka yang hadir nampak sangar dan kukuh mempertahankan argumen, bahkan kadang sering menyerobot kesempatan orang lain berbicara. Di sisi yang lain, mereka mampu memainkan narasi yang memukau meski isinya pepesan kosong miskin data. Pemandangan itu seakan memberikan gambaran bahwa mereka yang berdebat itu sedang mempertahankan idealisme yang dianut. Kenyataanya, cekikikan dan tertawa bersama sambil di belakang panggung.
Beberapa kawan di dalam bus sepakat bahwa hoaks adalah salah satu penyebab fenomena golput di segmen milenial mulai menguat. Semakin terjangkaunya akses teknologi informasi dan komunikasi sehingga orang atau sekelompok orang dengan mudah memproduksi hoaks demi tujuan tertentu, membuat seorang Wiranto-eks Pangab atau Panglima TNI di era Seeharto mengeluarkan statement akan mempidanaan penyebar hoaks menggunakan UU Anti Terorisme.
Wacana ini kemudian dijadikan tema debat di Program Televisi Indonesian Lawyer Club, Selasa 26 Maret 2019 di saluran TV One Pukul 21.00 WITA. Kebetulan videonya saya unduh untuk diperdengarkan dan menjadi bahan diskusi mata kuliah “Penyimpangan Sosial”. Hal yang menarik dari debat itu adalah perdebatan dua narasumber, Rocky Gerung (RG) versus Renald Kasali (RK).
Perdebatan keduanya dapat saya simpulkan bahwa hoaks di era Revolusi Industri 4.0, didesain untuk tujuan jahat menggunakan teknologi algoritma yang tidak memiliki hati dan mata. Dampaknya menurut laporan Dewan Pers tahun 2017, dari sekitar 43.000 media online, hanya sekitar 4 % saja yang benar-benar ditangani secara profesional merujuk pada kode etik jurnalisme. Oleh sebab itu, hoaks tidak hanya memiliki kemampuan mengelabui orang-orang “dungu” dan tolol versi RG, melainkan juga para intelektual seperti agamawan, akademisi, dan politisi, ungkap RK.
Kawan lain menambahkan bahwa literasi yang rendah sebagai alasan ketidakmampuan milenial dalam melakukan saring dan sharing informasi. Akibatnya, hoaks sebagai pekerjaan iblis menurut RK, dijadikan rujukan untuk melegatimasi persepsi dan segala tindakan. Pendapat itu diperkuat dengan urutan literasi Indonesia yang dirilis CCSU pada bulan Maret 2016. Pemeringkatan perilaku literasi dibuat berdasarkan beberapa indikator, yakni perpustakaan, surat kabar, pendidikan dan ketersediaan komputer.
Dari 61 negara yang disurvey, Indonesia menempati urutan ke-60, satu strip lebih bagus dari salah satu negara di kawasan Afrika bagian selatan, Bostwana yang menempati urutan buncit. Peringkat tiga besar masing-masing ditempati Finlandia, Norwegia dan Islandia. Dua negara Asia Tenggara, Singapura dan Malaysia menempati peringkat 36 dan 53. Berkaca dari hal itu, benar seloroh yang disampaikan seorang kawan di beranda FB bahwa “bangsa kita (yang dia sebut sebagai moron (akronim untuk mayoritas korban sinetron) +62) tidak tertarik pada LITERASI, tetapi LITER–NASI.
Fenomena golput bukan hanya masalah regional yang menyerang negara-negara berkembang, negara-negara maju seperti Amerika Serikat , Inggris dan Prancis juga tidak luput dari apatisme politik akibat cengkraman hoaks sebagai cyberwar. Khususnya dalam hajatan politik berupa pemilu, golput dianggap perlawanan terhadap perilaku politik elit yang dianggap memuakkan.
Golput sebagai sebuah gerakan perlawanan di tengah kontestasi politik yang menghalalkan berbagai cara tidak begitu saja hadir sebagai praktik atau bahkan ideologi sebagian orang yang memendam kekecewaan, melainkan telah melalui prosesualisasi sejarah sejak pemilu pertama Orde Baru di tahun 1971. Gerakan golput kala itu merupakan gelombang protes yang dilakukan kalangan mahasiswa dengan tetap mendatangi TPS, yang dicoblos bukan gambar, namun batas-batas antar gambar yang berwarna putih sehingga suara dianggap tidak sah.
Konseptualisasi golput dilontarkan Walujo Sumali, eks Ketua Ikatan Mahasiwa Kebayoran yang menulis artikel bertajuk “Partai Kesebelas Untuk Generasi Muda” di harian KAMI edisi 12 Mei 1971. Tulisan tersebut berisi gagasan memunculkan partai kesebelas , selain 9 parpol dan satu Golkar. Partai tersebut adalah partai yang ditujukan untuk menampung suara protes yang tidak memilih 10 parpol kontestan pemilu 1971. Imam menyebut parpol itu “partai putih” dengan gambar polos dan menganjurkan simpatisan untuk menusuk bagian putih yang ada di sela-sela antara kesepuluh gambar parpol kontestan pemilu.
Dalam perkembangannya, gerakan ini makin besar dan mendapatkan momentum politisnya. Sekelompok orang seperti Arief Budiman, Imam Waluyo, Husin Umar, Marsilam Simandjuntak, Asmara Nababan dan Julius Usman menamakannya kelompok oposisi. Selanjutnya bermetamorfosis menjadi golongan putih dengan simbol gambar segitiga lima berwarna hitam di atas dasar putih polos. Pada dasarnya, kelompok ini memendam kekecewaan dengan berbagai praktik penyimpangan Orde Baru. Alasanya, janji rezim represif Orde Baru untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen dalam aktualisasinya jauh panggang dari api.
Bila golput era Orde Baru diartikan sebagai gerakan apolitis yang sadar dan terencana dengan tidak atau tetap mendatangi TPS lalu melakukan perusakan surat suara atau mencoblos diluar ketentuan sehingga suara dianggap tidak sah, maka pada masa kini, golput juga dilabelkan kepada mereka yang tidak mencoblos karena alasan yang tidak ada hubungannya dengan pilihan politis seperti berlibur, sakit, hajatan dan lain sebagainya. Pertanyaanya kemudian, dua dekade setelah 32 tahun rezim represif Orde Baru berkuasa, masihkah golput sebagai gerakan apolitis relevan?, atau paling tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan ?.
Sebagai negara yang menganut asas demokrasi dan hukum, Indonesia memberikan perlindungan kepada semua golongan masyarakat, termasuk golput. UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD adalah produk hukum yang melindungi hak pilih warga negara yang berniat golput. Akibatnya, memberikan hak suara dalam pemilu bukan merupakan kewajiban. Meski demikian, ajakan terhadap orang lain untuk golput bisa dikenakan tindak pidana. Hal tersebut bisa dibaca pada pasal 292 – pidana penjara maksimal 2 tahun dan denda 24 juta, dan pasal 301 ayat 3-pidana penjara 3 tahun dan denda 36 juta.
Melihat tren globalisasi dalam wujud demokratisasi dan transpransi sektor publik selama dua dekade reformasi, dan tentu saja dengan melihat dan membandingkan fenomena golput di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris juga merambah ke negara-negara Eropa Barat lainnya, maka golput bukan lagi pilihan bijak, apalagi bagi generasi milenial yang dianugrahi kemudahan akses informasi dan komunikasi. Di negara-negara yang disebutkan barusan, pada akhirnya golput menjadi tidak relevan karena membuat orang-orang baik diam sehingga mempercepat orang jahat berkuasa.
Pada kasus Indonesia, saya menemukan kepribadian yang mendua dari kelompok golput, semacam kegalauan intelektual. Mereka kadang bangga dengan ke-golputan nya, tetapi di sisi yang lain meneriakkan perubahan. Kebanyakan dari mereka melayangkan wacana presiden independen tanpa dukungan partai politik, kemudahan akses pendidikan, pelayanan kesehatan, penyelesaian masalah HAM di masa lalu, kerusakan lingkungan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta supremasi hukum yang memadai.
Lalu pertanyaannya, bagaimana mungkin mimpi itu terwujud jika tanpa masuk ke dalam sistem ?. Masuk ke dalam sistem bukan berarti harus menjadi pejabat atau menjadi caleg. Ikut berpartisipasi aktif dalam pesta demokrasi dengan memberikan hak suara alias tidak golput sudah cukup membantu mendorong orang-orang yang kompeten menduduki posisi strategis.
Logikanya, negara ini bekerja dengan sistem the division of power dari trias politika Baron de Montesquieu, artinya bahwa ada beberapa fungsi legislatif, yudikatif dan eksekutif yang bisa dikerjakan secara bersama-sama oleh aparatur negara yang meliputi presiden, wakil presiden dan jajaran kabinetnya serta parlemen dan petinggi-petinggi hukum di negeri ini. Dengan memasuki sistem, baik menjadi pejabat atau menjadi konstituen pemilu, RUU bisa dibuat dan lalu disahkan sebagai hasil kerjasama legislatif dan eksuktif dan pengawasannya oleh yudikatif.
Fenomena lain yang membuat saya menolak gagasan golput bahwa selama periode 2014 – 2019 adalah periode yang tidak produktif dalam sejarah parlemen kita. Bayangkan saja, dari 50 RUU, yang selesai dan menjadi UU hanya 5 saja. Dengan minimnya produk undang-undang itu, kemajuan Indonesia yang dicanangkan tercapai pada 2045 melalui tagline “generasi emas” akibat over populasi usia kerja hanya mimpi di siang bolong.
Golput dengan demikian hanya tindakan yang mundur 20 tahun ke belakang. Menjadi golput akan membiarkan orang-orang “malas”, orang-orang tua dan uzur yang kolot dan konservatif menguasai parlemen. Dan dengan tidak golput setidaknya memberikan jalan bagi orang-orang idealis yang kompeten untuk memimpin negeri ini-sebab 1 suara lulusan SD=1 suara lulusan S3. [T]