Di Pasaman Barat, Sumbar, seorang caleg dilaporkan telah melakukan tindakan asusila dengan mencabuli anak kandungnya sendiri. Di Surabaya, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dan mengamankan sosok yang tak pernah saya duga sama sekali; sosok yang diamankan adalah Ketum PPP, Muhammad Romahurmuziy.
Dan di sana, 7.548 km dari Indonesia, seorang pria melepaskan tembakan ke sebuah masjid yang sedang menggelar shalat Jumat di kota Christchurch, Selandia Baru. Pria itu menembaki manusia seperti sedang main PUBG saja. Dan mungkin, di luar sana, masih banyak sekali kejadian-kejadian kejahatan yang tak tertangkap kamera netijen, dan mungkin juga lebih ekstrem dari kejadian-kejadian yang telah saya sebutkan di atas.
Kita mengenal dua macam kejahatan, yaitu hasrat dan kejahatan logika, begitu kata Camus. Dan batas antara keduanya, menurut saya, tidak terlalu terlihat. Untunglah undang-undang pidana mengenal apa yang disebut dengan kejahatan terencana. Sepertinya, kita memang hidup di zaman kejahatan terencana dan kejahatan tingkat tinggi.
Para penjahat masa kini bukan lagi anak malang tidak berdaya, yang minta dikasihani karena perbuatannya. Sebaliknya, mereka adalah orang-orang dewasa yang memiliki alibi ampuh—yang dalam bahasanya Camus—: filsafat, yang dapat dipergunakan untuk segala macam tujuan bahkan juga untuk menyulap seseorang menjadi pembunuh hakim.
Tokoh roman Jane Austen, Wuthering Heights, Heatchliff, akan membunuh siapa pun demi memiliki Cathy, tetapi akan terlintas sekilas dalam benaknya untuk mengatakan bahwa pembunuhan itu adalah tindakan masuk akal atapun secara teoritis data dibenarkan. Dia akan membunuh, dan begitu saja membunuh tanpa tujuan pasti. Hal ini mengambarkan adanya kekuatan cinta dan ketegaran watak. Karena cinta yang amat menggebu sudah sangat jarang dijumpai, maka pembunuhan saat ini tetap dianggap menyimpang, dan masih selalu merupakan pelanggaran.
Tetapi apabila manusia sudah kehilangan wataknya dan mulai berlindung di balik doktrin-doktrin, kejahatan pun mulai mencari alasan-alasan pembenarannya, dan semakin berlipat ganda seperti alasan pembenarannya, dengan segala aspek silogismenya.
***
Kejahatan, dalam bentuk apa pun, tetaplah kejahatan. Prilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis maupun tidak tertulis, adalah kejahatan, dilihat dari sudut pandang yuridis maupun sosiologis.
Dunia kita hari ini, tampaknya memang sudah penuh dengan kejahatan. Orang-orang terasing dari dirinya sendiri, dari semuanya. Homo homini lupus. Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Atau, orang lain adalah neraka? Tampaknya memang begitu. Kita diam-diam memang serigala dan neraka bagi sesama kita. Walaupun mencoba berusaha untuk sedekat mungkin dengan orang lain, tetapi nyatanya tetap tersendiri sama sekali—diliputi oleh rasa ketidaktentraman yang dalam, kecemasan dan rasa bersalah yang selalu merupakan hasil apabila keterpisahan manusiawi tidak diatasi.
Manusia memang serigala yang kebahagiaannya terdiri dari “memperoleh kegembiraan.” Sedangkan kegembiraan terletak dalam kepuasan mengkonsumsi dan “mengeruk” komoditi, pemandangan, makanan, minuman, rokok, kuliah, buku-buku, film-film, semuanya dikonsumsi, ditelan.
Dunia merupakan satu obyek besar bagi selera makan kita, kata Erich Fromm. Sebuah apel besar, botol besar, payudara besar; kita adalah pengisapnya, yang selamanya merindukan, mengharapkan—dan selamanya tidak puas. Watak kita disesuaikan untuk menukarkan dan menerima, membuat barter dan mengkonsumsi; segala-galanya, obyek yang spiritual juga material, menjadi suatu obyek tukar-menukar dan obyek konsumsi.
Seperti manusia-manusia yang telah melakukan kejahatan yang telah saya sebutkan di atas. Atau, jangan-jangan, mereka bukan manusia? Hanya pura-pura menjadi manusia saja?
Bukankah, agama atau hukum mana pun tidak membenarkan laku kejahatan? Lalu buat apa seorang Rasul agung mengendap-endap melacak sunyi guna bermunajat dengan tugas menyelamatkan dan menuntun manusia ke jalan yang benar, jika nyatanya, mereka tetap menjadi bajingan yang menjual agama demi kekuasaan, menginjak-injak kesucian dengan air mata buaya, menjungkirbalikkan kebenaran, dusta, kebencian, dan menjadi serigala bagi sesama.
Apakah mereka itu manusia? Atau iblis yang menjelma dan pura-pura menjadi manusia? Coba tanyakan kepada rumput yang bergoyang. [T]