Tantangan Pembangunan meliputi tiga hal yakni pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan. Ketiga hal tersebut telah menjadi masalah yang kompleks dan kronis baik di tingkat nasional maupun regional, sehingga penanggulangannya memerlukan strategi yang tepat dan berkelanjutan.
Program pemerintah yang dilaksanakan selama ini telah memberikan perhatian besar terhadap masalah tersebut. Meskipun demikian, masalah tersebut sampai saat ini masih menjadi masalah yang berkepanjangan. Provinsi Bali yang dikenal sebagai daerah pariwisata, sampai saat ini juga belum bisa luput dari permasalahan kemiskinan.
Menurut data BPS Bali, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) pada bulan Maret 2018 di Bali mencapai 171,76 ribu jiwa. Angka ini cukup menggembirakan dikarenakan mengalami penurunan dari periode sebelumnya September 2017 sebesar 176,48 ribu jiwa. Selama periode September 2017 – Maret 2018, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan dan perdesaan mengalami penurunan.
Sebenarnya potret kemiskinan di Bali semakin hari kian membaik. Artinya, jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan. Pencapaian ini tidak terlepas dari keberhasilan program kepala daerah baik di tingkat kabupaten, provinsi dan program nawa cita pemerintah pusat yakni, membangun Indonesia dari desa.
Dana desa yang mengalir deras membawa harapan baru bagi masyarakat perdesaan. Harapanya tentu meningkatnya kualitas hidup dan kesejahteraan bersama. Tapi, jika dilihat lebih dalam lagi terkait angka kemiskinan di Bali, ada yang patut dicermati dengan seksama. Berita ini pernah menjadi head line news di salah satu surat kabar terbesar di Pulau Bali.
Surat kabar lokal pernah memuat berita tentang “kontribusi” sarjana sebagai penyumbang angka kemiskinan di Bali. Berita tersebut menyebutkan bahwa 4,03 persen orang miskin adalah lulusan diploma dan 4,58 persen adalah sarjana. Angka ini memberi makna bahwa sarjana atau orang yang pernah duduk di bangku kuliah masih belum bisa melepaskan diri dari “penjara kemiskinan”.
Ini adalah fakta, susah diterima akal sehat tetapi kenyataannya seperti itu. Pendidikan tinggi seyogyanya sebagai pencetak intelektual dan pencetak lapangan kerja malah jatuh ke lubang kemiskinan. Haruskah kita pesimis melihat kenyataan ini? padahal Bapak Presiden Joko Widodo selalu mengajak masyarakat untuk optimis memandang hari esok. Ironis, iya. Begitulah kenyataan yang terjadi di sekitar kita.
Gengsi masih menjadi penyebab utama tingginya pengangguran (sarjana zaman now). Lulusan sarjana rela menganggur tinimbang mengambil pekerjaan yang dianggap kurang bergengsi. Lulusan sarjana merasa lebih bangga menjadi pegawai kontrak di pemda tinimbang menjadi karyawan swasta atau buka usaha sendiri. Padahal jika dilihat dari segi income maka income pegawai kontrak jauh lebih kecil.
Anggapan di masyarakat bahwa menjadi ASN adalah profesi bergengsi yang membuat status sosial melambung tinggi diduga menjadi alasan kuat memilih profesi ini. Memilih pekerjaan yang sesuai dengan jurusan saat kuliah tentu sangat ideal. Tetapi, terkadang situasi dan kondisi acapkali memaksa orang untuk mengambil atau memilih pekerjaan diluar bidang yang ditekuni sebelumnya. Zaman now, kemampuan adaptasi terhadap perubahanlah yang bisa mengantarkan seseorang untuk meraih pencapaian yang optimal. Let’s change.
Melihat kenyataan bahwa sarjana juga sebagai penyumbang angka kemiskinan, maka harus ada yang bertanggung jawab. Paling tidak ada 2 pihak yang harus menjawab permasalahan ini, pertama, kampus dimana seorang sarjana diproses hingga meraih gelar kesarjanaan, dan kedua, yang paling penting adalah si sarjana itu sendiri.
Pihak kampus tentu sudah menyediakan sarana dan prasarana penunjang seperti tempat kuliah yang nyaman, pakai ac, kurikulum yang terbaru, peralatan wifi, dosen yang profesional bahkan banyak kampus yang mengklaim sudah menerapkan standar internasional dalam proses belajar mengajarnya.
Sebenarnya para sarjana paling bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Sudah lama terpatri bahwa pendidikan formal adalah masalah legitimasi, sedangkan masalah isi dan kesiapan diri menghadapi persaingan global adalah urusan masing-masing individu. Sarjana yang sudah bekerja dan yang belum bekerja bisa jadi memberikan pendapat yang berbeda.
Bagi yang sudah bekerja apalagi yang sudah bekerja mapan, maka akan berterima kasih atas proses yang pernah dialami di kampus sehingga mengantarkan ke posisi yang sekarang. Jawaban dan tanggapan yang berbeda tentu akan keluar dari mulut sarjana yang masih menganggur.
Apalagi sarjana yang menganggur karena belum pernah diterima bekerja dimanapun. Sarjana tipe ini bisa jadi akan merasa tidak mendapatkan apa-apa selama proses perkuliahan. Menyalahkan dan protes akan sistem pendidikan adalah teman karibnya saat ini.
Daripada terus menerus sibuk debat kusir atas siapa yang paling bertanggung jawab, akan lebih elok jika para pihak yang terkait saling introspeksi diri. Pihak kampus tentu sudah melakukan ini, bukan karena semata-mata ingin membela diri tapi karena sudah terstandar atau harus tunduk dengan aturan kemenristekdikti, salah satunya tentang akreditasi kampus.
Untuk para calon sarjana dan sarjana, penting untuk merenung dan membekali diri dengan keahlian tambahan. Selain knowledge yang mumpuni yang sudah didapat di kampus, penting memerhatikan attitudeserta memperdalam communication skilldan akan lebih baik lagi jika mampu menguasai life skill. Dengan tambahan keahlian serta sikap optimis seperti yang dianjurkan Pak Presiden, maka hari esok dipastikan akan lebih cerah dibandingkan hari ini. (T)