HARI guru sudah lewat, namun ada satu cerita yang masih meninggalkaan bekas. Siang itu, aku sedang membeli rujak di warung langganan di depan lapangan sepak bola. Suasana di lapangan tampak ramai sekali. Terlihat bapak–bapak juga ibu–ibu berpakaian seragam PGRI. Usut punya usut ternyata di lapangan sedang berlangsung upacara peringatan hari guru. Dengan santainya aku duduk dan memesan sepiring rujak mangga pedas dan segelas es susu segar.
Sesuap penuh rujak mangga muda pedas hampir saja mendarat ke dalam mulut saat tiba – tiba ada yang menepuk pundakku dengan lembut.
“Sekar?” seorang ibu berpakaian PGRI lengkap dengan topi tersenyum dan menunjuk dengan antusias. Rujak pun tergeletak pasrah kembali ke atas piring. Aku membuka laci ingatan, mengcapture wajah sang ibu lalu mencari data valid dalam ingatan.
“Ibu Jepun? Guru Matematika?” Aha.. Aku menarik satu berkas yang cocok. Ibu Jepun adalah guruku saat SMP dulu, guru Matematika. Ternyata dia masih mengingatku dengan baik padahal kami sudah tidak pernah bertemu hampir 14 tahun. Ibu Jepun duduk di depanku. Beliau pun memesan sepiring rujak dan minuman yang sama. Tubuhnya masih sedikit gempal seperti dulu, tidak banyak yang berubah.
“Kamu tidak banyak berubah ya, Sekar. Masih cuek dan cantik seperti dulu. Bedanya sekarang, kamu tidak usah remidi matematika lagi, kan?” Bu Jepun tertawa lepas begitu pula aku.
Bahkan Bu Jepun masih mengingat dengan baik, kalau aku selalu harus mengikuti remidial matematika karena nilai-nilaiku teramat sangat mengkhawatirkan. Matematika memang bukan aku banget. Setiap pelajaran matematika perutku pasti tiba – tiba menjadi mulas, mendadak muncul roda yang berputar – putar cepat di kepala membuat pusing dan mual. Ibu Jepunlah yang dengan sabar menenangkan dan mengajarkanku berulang-ulang yang pada akhirnya aku, tetap remidi.
Tidak heran seorang guru mampu mengingat murid – muridnya walaupun mereka sudah mengajar ratusan bahkan ribuan murid bertahun-tahun. Namun, tidak semua murid yang mereka ingat. Murid-murid dengan karakter tertentu biasanya betah nemplok – menempel di kepala sang guru hingga berpuluh tahun ke depan.
Contohnya, murid yang setia mengkuti remidial di setiap ulangan. Baik itu ulangan harian, ulangan tengah semester apalagi ulangan akhir semester. Alasannya sederhana, karena seringnya beertemu dan “berurusan” dengan murid tersebut di luar pembelajaran di kelas. Murid – murid paling pintar, paling bandel, paling rajin, paling malas, dan paling norak juga masuk daftar murid yang tak lekang oleh waktu di ingatan para guru.
Aku kali ini tidak menerawang untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Aku langsung bertanya pada sumber pasti, bu Jepun. Apa yang terjadi pada murid-murid yang menjadi primadona di ingatan guru. Baik murid yang diingat dalam hal positif maupun negatif.
Menurut Bu Jepun, murid-murid tersebut mendapatkan porsi yang lebih besar dalam pembicaraan guru-guru di waktu senggang mereka. Eiiits jangan negative dulu, para murid spesial tersebut juga mempunyai kesempatan lebih besar untuk masuk surga. Why? Mengapa?
Karena merekalah yang paling sering disebut dalam doa sang guru. Doa-doa tulus agar siswanya yang pintar dan rajin bisa mempertahankan prestasi mereka dan tetap menjadi pribadi yang rendah hati, tidak sombong, serta menggunakan pengetahuan mereka dengan baik. Pujaan-pujaan kepada sang pencipta dilantunkan sang guru agar para siswanya yang kurang dalam hal akademis dan lebih senang melanggar peraturan mampu mengukir nama mereka dalam prestasi di bidang yang mereka sukai walaupun bukan hal akademis. Teater, olahraga, atau musik misalnya.
Aku merasa sedih sekaligus gembira. Agak lebay memang, tapi yah begitulah. Aku sangat ingat dulu, teman- teman sering mengolok-olok guru yang mereka tidak suka. Menyebut guru-guru mereka dengan sebutan-sebutan yang mereka buat sendiri. Terutama murid yang senang mencari perhatian dengan melanggar peraturan. Helooooo murid jaman now, guru-guru kalian tahu lho apa yang kalian gosipkan di belakang mereka. Ya memang benar, para guru tersebut tahu. Mungkin saking lamanya menjadi guru dan sudah hapal tingkah polah siswanya.
Tiba-tiba mataku jadi perih. Ahh.. guruku, saat murid -muridmu masih di bawah bimbinganmu. Mereka seringnya merasa kau terlalu cerewet, pengatur, dan seenaknya. Hanya saat kami sudah menuntaskan pendidikan, barulah menyadari apa yang kau lakukan hanya untuk mempersiapkan kami menghadapi realita dunia yang begitu kejam. Karena jalannya kehidupan pada kenyataannya tidak seromantis drama korea, tidak selalu happily ever after seperti dalam cerita dongeng klasik.
Aku bangkit, rujak dan es susu telah tandas. Berpamitan dan mencium tangan bu Jepun yang masih asyik mengobrol bersama teman sejawatnya. Bu Jepun mencium pipiku lalu berbisik, “Lakukanlah semua dengan hati ya, Sekar. Kita semua adalah guru kehidupan. Mengajarkan segala hal berbeda. Kamu sudah mengajarkan kesabaran pada ibu. Terima kasih, Sekar”. Tak terasa air mataku menetes saat berjalan menjauh dari warung itu. Selamat hari guru, para pendidik formal informal… (T)