MARLINA. Tubuhnya tinggi semampai, raut wajahnya sendu menanggung berat kesedihan. Dia hidup dalam sunyi setelah ditinggal suami dan calon anaknya. Hanya dengan memandang dari jauh para pria akan melihatnya sebagai santapan empuk.
Ketukan pintu di rumah Marlina pun menjadi awal malapetaka. Seorang pria tua bernama Markus datang dengan janji yang tidak mengenakkan. “Setengah jam lagi teman-temanku akan datang, mengambil uang, hewan ternak dan memperkosamu,” begitu kira-kira ucapannya. Membayangkan tujuh orang asing akan datang menggerayangi harta dan kehormatannya membuat Si Janda Miskin itu menjadi kalut dan lesu. Setidaknya itulah yang kita kira.
Satu yang tidak diketahui para pria, Marlina bukanlah wanita yang mau patuh terhadap pelecehan. Di balik kepalanya yang tunduk, Marlina melawan dengan otak yang berpikir cepat. Sayang, sebelum mereka sadar betapa cerdiknya Marlina, para pria tersebut sudah terbaring lemas di gubuk kayu itu. Marlina pun meninggalkan rumah, berusaha mengejar keadilan, dengan potongan kepala Markus di tangannya.
Begitulah kira-kira sinopsis dari film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak. Dikemas dengan apiknya sinematografi yang memamerkan pesona Pulau Sumba Timur, dan padanan warna yang memanjakan mata. Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak yang merupakan film garapan Mouly Surya ini adalah sebuah hadiah spesial bagi penikmat film Indonesia.
Menjadi perwakilan Indonesia di ajang Cannes Film Festival, film ini sukses mendapat apresiasi dari kritikus internasional. Berbagai penghargaan pun dimenangkan, mulai dari skenario terbaik dalam FIFFS di Maroko hingga kategori aktris terbaik di Sitges International Film Festival di Spanyol. Setelah puas berkelana keliling festival-festival film dunia, pada 16 November 2017 lalu Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak pun menguji peruntungannya di pasar perfilman Tanah Air.
Sebagai sebuah film yang dibuat oleh sutradara wanita, film ini membawa beberapa misi sosial. Selain untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan keindahan alam dan ketertinggalan ekonomi masyarakat Sumba Timur. Isu lain yang paling penting dan tak bisa diabaikan adalah tentang kekerasan, pengabaian dan prasangka buruk terhadap wanita. Sebuah masalah yang mengakar tapi cenderung diabaikan. Sesuatu yang akan menyentil pikiran penonton setelah meninggalkan bioskop.
Ambisi Mouly Surya untuk memvisualkan adegan-adegan misoginis ditunjukkan dengan berbagai cara, baik yang secara sangat jelas maupun samar. Pemerkosaan tentu saja menjadi cara utama dalam menunjukkan penindasan terhadap wanita dalam film ini. Bagaimana seorang wanita bahkan tak bisa merasakan hidup aman dan tenang di rumahnya sendiri setelah ditinggal suaminya menjadi pukulan telak terhadap realitas. Kisah sejenis sebenarnya sempat juga ditunjukkan oleh Eka Kurniawan dalam novelnya Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas walaupun dengan cara yang sedikit lebih sureal.
Gestur-gestur yang ditampilkan dalam film ini juga seperti menjadi atraksi misoginis tersendiri. Bagaimana dengan mudahnya Markus datang bertamu, dengan tenang menyampaikan ancamannya, bahkan masih sempat untuk meminta dibuatkan makanan menggambarkan tentang sifat menyepelekan wanita. Juga tentang bagaimana Marlina berteman dengan seorang anak perempuan yang diberi nama Topan oleh orang tuanya dengan alasan agar menjadi kuat dan tangguh seperti lelaki. Kisah tersebut merupakan miniatur dari beberapa budaya di Indonesia yang belum bisa sepenuhnya menghargai lahirnya anak perempuan.
Selain itu, adegan yang ditampilkan secara jelas tentang diskriminasi terhadap wanita ini adalah tentang skeptisnya polisi terhadap laporan pemerkosaan yang diberikan Marlina. Adegan tersebut mengingatkan kembali kepada reaksi masyarakat Indonesia pada saat kasus-kasus pelecehan seksual mengemuka yang terkadang justru masih menyalahkan korban.
Isu-isu feminisme telah menjadi penyakit kronis dalam kehidupan bermasyarakat kita, dan film ini mencoba menjadi pengingat. Bukan dengan ceramah moral lewat monolog panjang lebar, tapi dengan aksi yang dilakukan secara satir. Walaupun beberapa karakter dalam film ini digambarkan dengan cukup komikal ala komedi gelap, tetap tak dapat dilepaskan juga fakta bahwa Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak adalah sinekdoke dari masyarakat kita yang masih banyak skeptis terhadap masalah emansipasi wanita.
Tapi film ini tidak hanya menjual substansi, ada gaya yang sangat kuat dan tak dapat untuk tidak menjadi perhatian tersendiri. Nuansa ala Quentin Tarantino sudah tercium dalam Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak sejak awal film ini dimulai. Musik western, kuda dan areal pasir luas mengingatkan pada Django Unchained. Penggunaan beberapa babak dalam penceritaan tentu saja membawa penikmat film ternostalgia dengan film-film Tarantino seperti The Hateful Eight hingga Pulp Fiction. Dan, tentu saja penggunaan karakter utama wanita yang sadis akan mengingatkan kita kepada tokoh The Bride dalam film Kill Bill.
Tapi sayangnya, tidak seperti film-film Quentin Tarantino, Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak terkesan gagal dalam mengembangkan peran para karakternya. Terlebih bagi tokoh-tokoh pria penjahat yang wataknya masih terasa satu dimensi. Tanpa adanya dialog yang dapat diingat, hingga mayoritas adegan yang mengglorifikasikan pria sebagai sosok yang ‘sempit’, membuat penonton tidak perlu merasa peduli dengan para tokoh tersebut.
Selain masalah kurang dalamnya karakter, dialog juga menjadi hal yang cukup memecah belah dalam film ini. Beberapa bagian patut dipuji, sebagian lainnya tidak. Tak ada ucapan klise maupun lelucon murahan yang keluar, bahkan bisa dibilang beberapa mop efektif menghadirkan riuh tawa. Hanya saja tidak ada jiwa dalam setiap kata yang keluar, tak nampak kemarahan nyata, kesedihan yang ditunjukkan pun terasa samar.
Memang benar film ini memiliki beberapa kekurangan, akan tetapi keindahan sinematografis bukanlah salah satunya. Dengan menggunakan teknik pengambilan gambar dari jarak jauh dengan kamera yang mematung sedikit mengingatkan pada film The Master, sebuah mahakarya dari sutradara P.T. Anderson. Ditambah dengan keelokan Sumba Timur yang berhasil dieksploitasi dengan baik oleh Yunus Pasolang selaku penata kamera. Film ini menyajikan aktivitas kamera yang membuat kita sadar akan eloknya pulau erotis khas timur Indonesia.
Kualitas akting pun menjadi poin tersendiri. Marsha Timothy yang memerankan Marlina memang tak perlu diragukan lagi tampil dengan kualitas tanpa cacat, tetapi bukan berarti aktingnya menutupi kualitas seluruh aktor lainnya. Kredit khusus juga perlu diarahkan pada Dea Panendrea pemeran Novi yang mampu mengimbangi Marsha Timothy sehingga keseimbangan filmnya tetap terjaga. Dea Panendra adalah sebuah angin segar yang perlu disyukuri di tengah monotonnya jumlah pelakon film di Indonesia.
Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak adalah sebuah film yang harus mendapatkan apresiasi lebih dari penikmat film Indonesia. Bukan karena berbagai penghargaan yang didapatkan tetapi karena keberhasilannya menanamkan standar baru bagi dunia perfilman lokal tanah air. (T)