18 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Ida Waluh di Lereng Gunung Agung

Gde Aryantha SoethamabyGde Aryantha Soethama
February 2, 2018
inCerpen

Ilustrasi: Yusuf Susilo Hartono (sebagaimana dimuat di Kompas, 26 November 2017)

29
SHARES

 

Cerpen: Gde Aryantha Soethama

SUDAH larut malam, barak pengungsi itu dipagut sepi. Mereka saling pandang ketika hendak memutuskan siapa akan menjemput Ida Waluh di lereng Gunung Agung. Perjalanan kurang dari tiga jam, tapi penuh mara bahaya, jika gunung yang dalam keadaan awas itu tiba-tiba meletus.

“Saya bersedia,” ujar seorang anak muda mengacungkan tangan tiba-tiba setelah sekian lama suasana bisu beku.

Semua memandangnya dengan seksama. Dia tamatan institut teknologi informasi, bekerja di penyedia jasa web design di Jimbaran. Ia yatim piatu, kuliah ditanggung bibinya yang tidak menikah, hidup dari menjual sembako di pasar kecamatan. Sejak warga dusunnya, Desa Kesimpar, di lereng Gunung Agung mengungsi ke Swecapura, Ananta selalu bermalam bersama mereka. Saban hari ia ulang-alik Swecapura-Jimbaran menempuh dua jam bermotor.

“Kalau begitu, saya ikut,” usul laki-laki bersarung, mengenakan kemeja endek.

“Biar saya sendiri saja, Pak Losen. Bapak dibutuhkan di sini menyambut kunjungan pejabat dan menemani para pembawa sumbangan untuk selfi. Tak ada yang bersedih kalau saya tak kembali. Ayah, ibu, pacar, saya tak punya. Saya cuma titip bibi.”

Losen anggota DPRD Kabupaten Karangasem, mendulang banyak suara berkat bantuan para bebotoh judi sabung ayam. Berulang Losen menyampaikan, ia bercita-cita jadi bupati bahkan gubernur, karena dengan menjadi kepala daerah ia yakin bisa mensejahterakan Desa Kesimpar.

Menjelang subuh Ananta berangkat ke Kesimpar naik motor. Para pengungsi melepasnya dengan pelukan dan tepukan bahu. Ibu-ibu terisak seperti melepas putra mereka ke medan perang dan tak akan kembali. Kakek-nenek mengusap-usap kepalanya, komat-kamit mengucap doa semoga ia kembali selamat utuh bersama Ida Waluh.

Bibinya justru tegar, memberi semangat. “Kamu penyelamat dusun kita, An.”

“Kasi hadiah nanti ya, kalau saya berhasil.”

Si bibi tersenyum, menyodok lembut dada keponakannya dengan bangga.

Melewati bukit Kahang-kahang, Ananta mulai merasakan getaran gempa. Selepas Desa Datah, gempa itu kian keras dan semakin kerap. Memasuki Desa Kesimpar, gempa semakin kuat, tanah tak cuma bergoyang, juga terguncang, dan bumi bagai hendak terbelah. Pohon terhuyung-huyung, gesekan semak-semak menimbulkan suara berderak- derak, seakan sebentar lagi Gunung Agung meletus. Tak ada burung melintas, juga tidak unggas dan anjing. Sapi-sapi sudah diungsikan. Desa Kesimpar menjadi dusun mati seperti disambar naga.

Ananta memasuki Pura Desa tempat Ida Waluh. Beberapa bagian tembok pura retak, atap-atap bangunan miring digoyang ratusan kali gempa sepanjang hari sejak dua pekan terakhir. Ia berhenti tepekur di depan sebuah meru tumpang tiga beratap ijuk tempat Ida Waluh berada. Dengan kunci yang ia ambil dari tas pinggang, perlahan ia membuka pintu dengan dada berdebar, semakin berdebar oleh getaran gempa yang mengguncang setiap dua menit.

Ida Waluh duduk bersimpuh, menatap teduh Ananta yang mencakupkan tangan di dada, sebelum dengan takzim membopongnya ke balai piasan, tempat yang dipenuhi sesaji jika upacara piodalan digelar.

Rambut Ida Waluh tergulung memanjang ke belakang, ujungnya melingkar. Dari kemaluannya menyembul bunga waluh menutup pusar dan sebagian kedua pahanya. Tubuhnya condong ke belakang, kedua tangan bertumpu menyangga bunga waluh yang besar.

Warga Desa Kesimpar sangat yakin, rambut yang memanjang adalah lingga, alat kelamin tanda kelaki-lakian Dewa Siwa, dan waluh adalah yoni, kelamin perempuan. Ida Waluh diyakini sebagai perujudan lingga-yoni simbol kesuburan, pemberi kesejahteraan dan kedamaian. Warga menjaganya dengan tidur makemit saban malam di Pura Desa, sejak beberapa tahun lalu, ketika puluhan patung suci pretima di desa-desa kaki Gunung Agung disatroni maling.

Ida Waluh memang rawan diculik, karena persis di belahan dadanya terbenam permata hijau lumut sebesar ibu jari tangan. Tersebar kabar ke seluruh desa dan kota, permata itu sangat bertuah dan murah hati. Banyak tokoh yang turut pemilihan kepala daerah atau anggota DPRD mohon restu di Pura Desa Kesimpar, mohon petunjuk dan restu memenangkan pertarungan politik. Mereka yakin anugerah permata hijau lumut itu menyiramkan wibawa dan pengaruh bagi siapa saja yang memohon pada Ida Waluh, yang diyakini percikan dari Ida Sang Hyang Widhi.

Ananta menyarankan tidak perlu makemit jika Ida Waluh selalu bersama GPS tracker untuk melacak dan memberi alarm jika diculik atau dipindahkan. GPS dipasang di atas lempengan baja yang menyatu dengan kayu, yang menjadi alas duduk Ida Waluh.

Tapi warga tidak pernah yakin, tak pernah tenang. Laki-laki dusun tidak semangat mengurus kebun, setiap saat dihantui perasaan was-was dan bersalah jika Ida Waluh diculik. Orang-orang kampung itu meragukan teknologi, karena teknologi hebat bisa dilawan dengan yang lebih canggih. Teknologi itu gampang disiasati dan dikibuli. Beberapa hari setelah pemasangan GPS, tiga wanita kesurupan meminta warga makemit kembali, bermalam di pura. Ida Waluh memperoleh dua perlindungan: digital dan manual. Dari tempat kosnya di Jimbaran, dengan smart phone Ananta bisa memantau Ida Waluh karena GPS tracker tetap terpasang.

Kesurupan kini berulang di pengungsian, dialami enam perempuan. Selepas petang anak-anak menangis menjerit-jerit tanpa sebab. Para orang tua bingung, inguh, gelisah. Orang-orang dewasa cuma tidur-tiduran tidak karuan, bermalas-malasan. Mereka merasa tidak nyaman dan ingin segera kembali ke Kesimpar, namun takut disergap lahar dan terjebak awan panas. Ketika itulah mereka sadar, Ida Waluh semestinya hadir untuk menjaga ketenangan dan kenyamanan. Mereka sepakat menjemput Ida Waluh untuk bersama tinggal di barak.

Hari menjelang sore tatkala dengan sangat hati-hati Ananta membopong Ida Waluh, setelah membungkusnya dengan kain kasa kuning yang ia dapatkan di sudut balai-balai. Gempa mengguncang-guncang semakin sering dan kian kuat. Kadang Ananta mendengar suara gemuruh seakan gunung meledak. Waktu terasa berjalan sangat lamban ketika ia bergegas jalan kaki melewati Tukad Gerudug yang dipenuhi batu muntahan letusan Gunung Agung tahun 1963.

Ananta bergegas menghidupkan motor yang ia parkir di bawah mohon jambu mete. Ida Waluh ia tempatkan di depan dada, tidak di boncengan, karena kuwalat memunggungi sosok suci. Apalagi tanpa disadari kadang ia kentut kalau naik motor. Dengan menempatkannya di depan, ia merasa seakan dipeluk Ida Waluh. Ia menjadi sangat tenang, tidak gentar akan bunyi-bunyi aneh alam sekitar karena gempa yang berulang.

Para pengungsi baru menyelesaikan makan malam ketika Ananta tiba di pengungsian Swecapura. Ia disambut seperti pahlawan, dielu-elukan, dipeluk penuh haru, dicubit-cubit ibu-ibu. Gadis-gadis mencium pipinya dengan bangga dan penuh suka cita. Tempat pengungsian itu menjadi riuh ketika Ida Waluh diarak ke ujung barak, ditempatkan dengan khidmat di atas tumpukan kardus-kardus bekas mi dan biskuit sumbangan. Sesaji dihaturkan, mereka menembangkan kidung wargasari, tirta dipercikkan.

Sejak itu orang-orang Kesimpar di pengungsian menjadi tenang. Tak ada lagi yang kesurupan. Anak-anak meminjam buku dongeng dari perpustakaan keliling. Untuk para kakek dan nenek, mereka membaca buku Mendongeng Lima Menit yang dikumpulkan Made Taro. Kali ini anak muda yang mendongeng untuk orang tua. Meski Gunung Agung dikabarkan kritis siap meletus, mereka di barak tidur nyenyak. Anak-anak makan banyak, bayi menetek susu ibunya dengan lahap.

Sampai suatu hari lewat tengah malam ponsel Ananta berdering. Tat-tit-tut-tet-tet-tet…

Ananta yang sedang duduk-duduk di barak pengungsi lain, tak harus menunggu dering ketiga, ia menyambar ponselnya. Ia kaget ketika menatap layar, ikon Ida Waluh bergerak ke luar barak. Ananta membangunkan orang-orang, mengajak mereka menatap layar selebar telapak tangan itu.

Belasan orang bergegas mengikuti ikon yang bergerak semakin cepat di layar. Mereka memasuki sawah yang sedang ditumbuhi kedele. Mereka meloncati selokan tempat mereka mandi dan buang air di tengah sawah. Layar di ikon semakin jauh dan kian bergegas menerobos sawah. Mereka mengikuti Ananta, yang bagai menjadi komando dari sebuah pasukan tempur. Ponsel di genggamannya seperti sebuah senjata otomatis siap menyalak. Matanya tak lepas-lepas dari ponsel, silih berganti mengikuti arah pematang di depan agar ia tidak terperosok.

Ananta memberi aba-aba agar orang-orang berhenti ketika ikon di layar diam, cuma berkedip-kedip perlahan. Mereka memandang sekitar, gelap sekali, sawah cuma diterangi cahaya bintang. Mereka mengendap-endap menuju titik ikon Ida Waluh berhenti.

Ananta memandang lurus ke arah ikon yang semakin dekat. Matanya tak lepas-lepas dari layar ponsel. Ia menatap sebuah gubuk kecil beratap alang-alang, dikitari tanaman jagung yang baru berbunga. Dengan dagunya ia menunjuk ke gubuk itu. Dan mereka serentak bergerak.

“Serbuuuuu…..!”

Mereka menerobos gubuk, mendapati seseorang duduk di atas tumpukan jerami. Gelap sekali dalam gubuk ketika orang itu dihujani pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Erangan dan jeritan kesakitan kalah oleh deru hantaman dan bising gerakan lengan.

Gubuk itu roboh karena tak sanggup menahan belasan orang. Atapnya beterbangan menghantam batang-batang jagung. Ketika itulah mereka menemukan Ida Waluh terduduk di sudut gubuk. Mereka segera mengambil pretima, patung suci dari kayu cendana setinggi tiga puluh senti itu, dan menjunjungnya ramai-ramai ke barak. Kecuali Ananta, tak seorang pun peduli sama pencuri itu yang tertelungkup.

Dada Ananta berdegup kencang ketika ia membalik tubuh orang itu, dan menatap wajahnya yang dikenal semua orang Kesimpar.

“Pak Losen. Pak…. Pak Losen.” Ananta menggoyang-goyang tubuh lunglai itu.

Losen perlahan membuka mata yang digenangi darah. “Sejak lama saya ingin memiliki permata ini, An,” ujarnya sembari merogoh saku celana dan mengeluarkan permata hijau lumut yang tadi masih tertancap di dada Ida Waluh, yang bercahaya lembut memantulkan cahaya bintang-bintang.

Ananta tak percaya, ketika orang-orang membawa Ida Waluh ke barak, ia masih melihat jelas permata itu berada di tempatnya.

“Yang itu palsu, An, saya mencungkilnya tadi, menggantinya. Yang ini asli. Saya cuma ingin permata ini, tidak patungnya. Akan saya kembalikan patung itu setelah berhasil menguasai permata lumut ini, agar saya bisa jadi bupati atau gubernur.”

“Bapak yakin?”

“Kamu kenal almarhum Pan Buyar?”

“Semua orang Kesimpar mengenalnya.”

“Pan Buyar itu kakekku, pakar batu mulia. Ia kerap menerima berkah batu bertuah di lereng Gunung Agung, tapi semua untuk penolak bala, tak ada buat membangun wibawa. Kakekku bilang, permata lumut ini bisa membuat pemiliknya jadi pemimpin nomor satu.”

Losen menggenggam tangan Ananta, mencoba memindahkan permata hijau lumut itu ke genggamannya. Ananta terperanjat, menggeleng, menarik tangannya. Tubuhnya merinding, sesuatu berdesing dalam dadanya. Ia menggigil.

“Takdir benda ini milikmu, An, ambillah,” suara Losen melemah. “Rawatlah dengan baik, kelak kamu bisa jadi bupati atau gubernur.”

Losen terengah-engah, tangannya berayun lemah memasukkan permata hijau lumut itu ke saku baju Ananta. Setelah itu ia tak bergerak. Wajahnya bengkak tengadah menatap langit, sekujur badannya berdarah. Orang-orang itu meremukkan tubuhnya, mematahkan rusuk dan betisnya. Beberapa kali bunyi krok-krok-krok meluncur dari tenggorokannya, kemudian diam, benar-benar diam.

Di barak orang-orang mengumandangkan kidung wargasari, menyambut kembali Ida Waluh yang sempat menerebos tanaman kedele dan jagung. Kidung itu terdengar sayup ke gubuk, seakan sekalian menjadi nyanyian mengantar keberangkatan Losen.

Sebentar lagi pagi tiba. (T)

Catatan: Cerpen ini dimuat pertama kali di Kompas, Minggu, 26 November 2017.

 

Previous Post

Pentas Palawara: Tragedi Karma Bumi – Drama Musikal yang Beda

Next Post

Gunung Agung: Hal-hal yang Membingungkan, Hal-hal yang Dipelajari

Gde Aryantha Soethama

Gde Aryantha Soethama

Dikenal sebagai wartawan kawakan, penulis esai dan cerpen. Bukunya Bolak Balik Bali ditetapkan sebagai buku nonfiksi terbaik oleh Pusat Bahasa (2006). Kumpulan cerpennya Mandi Api meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award (2006). Tahun 2016 diberi penghargaan Kesetiaan Berkarya oleh Kompas.

Next Post

Gunung Agung: Hal-hal yang Membingungkan, Hal-hal yang Dipelajari

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

“Manusia Tikus”, Gen Z yang Terjebak di Kolong Kasur

by Petrus Imam Prawoto Jati
June 17, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

ADA satu istilah yang lagi rame di China sana, shǔ rén alias “manusia tikus”. Bagi sidang pembaca yang belum tahu,...

Read more

Kriteria dan Syarat Sosok Pemimpin di Suku Baduy

by Asep Kurnia
June 17, 2025
0
Tugas Etnis Baduy: “Ngasuh Ratu Ngayak Menak”

KRISIS kualitas kepemimpinan nasional sedang terjadi dan melanda secara dahsyat, moralitas dan tingkat keamanahan seorang pemimpin yang terpilih menunjukan kurva...

Read more

Han Kang dan Kolase Enigmatik Novel Vegetarian

by Lintang Pramudia Swara
June 16, 2025
0
Han Kang dan Kolase Enigmatik Novel Vegetarian

BEGITU enigmatik dan diabolis, saya rasa Han Kang memberi tawaran segar di kancah sastra dunia. Sejak diumumkan sebagai pemenang Nobel...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Piagam Gumi Delod Ceking untuk Pariwisata Berkelanjutan 

Piagam Gumi Delod Ceking untuk Pariwisata Berkelanjutan

June 16, 2025
Pesta Perilisan Buku “(Se-)Putar Musik” dari Beatriff: Ruang Produksi Pengetahuan yang Lebih Inklusif

Pesta Perilisan Buku “(Se-)Putar Musik” dari Beatriff: Ruang Produksi Pengetahuan yang Lebih Inklusif

June 15, 2025
Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

June 5, 2025
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Bicara-bicara Atas Nama Air di Desa Panji Buleleng
Khas

Bicara-bicara Atas Nama Air di Desa Panji Buleleng

MENJAGA hutan desa, tidak cukup dengan hanya berkoar—atau mengajak sesama mari menjaga hutan dan air; untuk hidup yang sedang berlangsung,...

by Sonhaji Abdullah
June 17, 2025
Tidak Ada Petruk dalam Drama Gong Lawas Banyuning Singaraja di Pesta Kesenian Bali 2025
Khas

Tidak Ada Petruk dalam Drama Gong Lawas Banyuning Singaraja di Pesta Kesenian Bali 2025

TIDAK ada Petruk dalam Drama Gong Banyuning, Singaraja, yang bakal pentas di Pesta Kesenian Bali (PKB) 2025. Tentu saja. Yang...

by Komang Puja Savitri
June 16, 2025
Yan Mintaraga, Seniman Pinggir Taman Kota Singaraja
Persona

Yan Mintaraga, Seniman Pinggir Taman Kota Singaraja

SETIAP Minggu pagi, Taman Kota Singaraja menjelma menjadi panggung kecil bagi berbagai aktivitas. Ada anak-anak berlarian, ibu-ibu berbincang sambil menemani...

by Arix Wahyudhi Jana Putra
June 16, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Teman Sepanjang Perjalanan | Cerpen Putu Gede Pradipta

Teman Sepanjang Perjalanan | Cerpen Putu Gede Pradipta

June 15, 2025
Sajak-Sajak Angga Wijaya | Radio Tidak Kumatikan

Sajak-Sajak Angga Wijaya | Radio Tidak Kumatikan

June 15, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [19]: Mandi Kembang Malam Selasa Kliwon

June 12, 2025
Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

June 7, 2025
Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

June 7, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co